Home > Serba Serbi

Kisah Bertutur Dayak Wehea Kalimantan: Legenda Dua Gerhana (1)

Legenda ini dikisahkan dari generasi ke generasi.
Hedoq, Masyarakat Adat Dayak Wehea. (aman.or.id)
Hedoq, Masyarakat Adat Dayak Wehea. (aman.or.id)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM - Masyarkat Adat Dayak Wehea di Kampung Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kaltim punya cerita rakyat yang dikisahkan generasi ke generasi.

Salah satunya legenda awal mula terjadinya gerhana Matahari dan bulan.

Mengutip dari website resmi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, aman.or.id, dikisahkan dahulu kala Matahari dan Bulan pasangan berwujud manusia. Mereka bernama Dea Pey sosok pria, dan bulan sosok wanita bernama Welueng Long.

Menurut cerita, Matahari dan Bulan tinggal di bumi dan memiliki seorang anak perempuan yang masih kecil. Hingga musim tanam padi tiba, Matahari dan Bulan mulai membersihkan lahan yang akan digunakan menanam padi, mulai menebang pohon sampai membakar.

Ketika mulai menanam padi, Matahari berkata pada Bulan, “Bulan, aku akan panggil teman–teman untuk membantu kita menanam padi besok. Malam ini saya cari ikan untuk besok. Jadi, kamu tetap di rumah bersama anak kita.”

Maka tinggalah Bulan bersama putrinya, adapun Matahari pergi mencari ikan dan memanggil teman–temanya. Masih menurut kisah yang sama, teman–teman Matahari itu para Emta atau Nabi dalam kepercayaan Dayak Wehea.

Di pagi hari, Matahari mendatangani mendatangi teman–temanya untuk mengajak mereka membantu menanam padi di ladang miliknya. Mereka pun bersedia membantu Matahari.

Teman–teman Matahari bukan sembarang manusia. Mereka adalah ahli spiritual yang dalam istilah Dayak Wehea dikenal dengan sebutan Emta.

Setelah bertemu teman–temanya, Matahari kembali melanjutkan perjalanan untuk pergi memancing ikan di sungai untuk konsumsi mereka bersama saat esok menanam padi.

Ketika memancing, Matahari hanya mendapat satu ekor ikan gabus yang cukup besar. Meski begitu, itu dirasa cukup untuk memenuhi bekal makan bersama. Matahari segera pulang ke pondok dengan membawa ikan gabus tersebut.

Ikan gabus itu diletakan di atas kayu di samping pondok mereka.

Keesokan paginya, Matahari memberi tahu istrinya, “Bulan, ini sayur untuk kita makan siang nanti.”

“Nanti ada orang–orang yang akan membantu kita siang ini.”

Bulan mengamini ucapan Matahari. Saat yang sama, Matahari memberi tahu Bulan agar tidak perlu datang ke ladang, cukup di pondok dan memasak untuk mereka.

Tak lama berselang, rombongan Para Emta datang membantu Matahari menanam padi. Mereka langsung berangkat bersama ke ladang, dimulai membersihkan dan menanam benih padi.

Menjelang siang, Bulan berencana memasak untuk makan siang Matahari dan Para Emta.

Usai memasak nasi, Bulan berencana memsak lauk , tetapi bingung dengan lauk yang harus dimasak. Kemudian dari kejauhan bertanya kepada suaminya.

“Dea..!!! Apa yang menjadi lauk dan sayur kita siang ini?” tanya Bulan.

“Oohhh iya, itu ada ikan di atas kayu samping pondok yang aku dapat tadi malam. Jadi, tolong kamu potong untuk sayur dan lauk kita hari ini,” jawab Matahari.

Setelah mendengar balasan dari suami, Bulan terdiam. Di dalam pendengaran Bulan, suaminya berkata “Tolong potong anak kita untuk sayur.”

Beberapa menit berpikir, Bulan kembali memanggil suaminya.

“Dea !!! Apa yang menjadi sayur kita untuk makan siang? Ini kita tidak punya sayur!” ujar Bulan.

Lantaran mulai kesal, Matahari membalas panggilan Bulan.

“Aduhhh!!! Saya sudah bilang ikan yang saya dapat tadi malam ada saya letakan di atas kayu di samping pondok kita. Jadi, itu kamu ambil dan potong untuk sayur kita siang ini,” balas Matahari.

Bulanpun mengiakan teriakan dari Matahari tadi.

Namun Bulan masih kebingungan karena menurut pendengaranya, Matahari masih mengucapkan kata–kata sama yaitu, “Potong anak kita untuk sayur dan lauk nanti”.

Bulan lama terdiam, tanpa terasa waktu makan siang mulai menjelang, tetapi makanan belum siap. Untuk ketiga kalinya Bulan memastikan pendengarannya lagi. Ia kembali memanggil suaminya.

“Waduh! tidak ada sayur ini. Apa yang akan kita bikin sayur, saya sudah bingung mencari sayur untuk kita makan siang ini, waktu juga sudah menjelang tengah hari.”

Matahari merespon teriakan Bulan dengan nada yang lebih keras.

“Aku sudah bilang tadi!!! Untuk berapa kali lagi aku bilang sama kamu, kami sudah capek dan semua orang sudah mulai lapar,” teriak Matahari, geram.

“Coba kamu potong ikan di atas kayu di samping pondok itu. Cari apa lagi kamu, kan ikan itu sudah cukup besar,” imbuh Matahari, masih menyimpan kekesalannya.

Bulan kembali mengartikan kata–kata Matahari bahwa, “Anak kita itu sudah cukup, coba kamu potong anak kita untuk makan siang hari ini. Jadi, kamu cari apa lagi.” Begitu pendengaran Bulan.

Usai mendenngar teriakan suaminya sang Matahari, Bulan memastikan dan meyakini untuk ketiga kalinya. Ia masih beranggapan suaminya meminta memotong anaknya, sesuai pendengaran Bulan. Maka, Bulan bergegas menghampiri anaknya di dalam ayunan, lalu menyembelihnya. Tulangnya kemudian dikumpulkan dan diletakan di pinggir dapur. Bersambung

Ding Lung, Masyarakat Adat Dayak Wehea, Desa Nehas Liah Bing.

× Image