Home > Serba Serbi

Kisah Bertutur Dayak Wehea Kalimantan: Legenda Dua Gerhana (2)

Setelah tahu yang dimakan itu daging anaknya, Matahari meninggalkan Bulan.
Hedoq, Masyarakat Adat Dayak Wehea. (aman.or.id)
Hedoq, Masyarakat Adat Dayak Wehea. (aman.or.id)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM - Tepat tengah hari setelah daging yang menjadi lauk dan sayur itu matang, rombongan yang bekerja di ladang datang datang ke pondok untuk makan siang.

Nasi beserta daging siap dihidangkan, tetapi karena pondok itu terlalu kecil maka mereka makan bergantian. Sehingga ada sebagian yang diluar pondok sambil menunggu giliran.

Usai Matahari makan lebih dulu kemudian menghampiri istrinya dan bertanya.

“Apa yang kamu jadikan sayur untuk lauk ini, enak sekali. Saya juga menemukan daging, dari mana kamu mendapatkan daging ini,” tanya Matahari.

“Loh kamu juga yang menyuruh saya memasak daging hari ini,” jawab Bulan.

Kebingungan muncul di benak Matahari. Ia bilang, “Saya sama sekali tidak pernah menyuruh kamu masak daging! Saya menyuruh kamu masak ikan yang saya letakkan di kayu samping pondok.“

Di tengah kebingunganya, Matahari merasa heran seakan ia kehilangan anak perempuanya, lantas kembali bertanya kepada bulan, “Dimana anak kita?” tanya Matahari.

Tak ingin disalahkan, Bulan pun menjawab, “Bukankah kamu yang berkali–kali bilang potong anak kita untuk dimasak menjadi lauk. Kalau kamu memang ingin melihat, itu ada tulang sisa dari tubuh anak kita di pinggir dapur,” ujar Bulan.

Seakan disambar geledek. Betapa terkejutnya Matahari mendengar jawaban Bulan. Dengan perasaan campur aduk, Matahari bergegas ke dapur untuk memastikan perkataan istrinya, Bulan.

Matahari seketika shick, saat melihat sisa tulang dan kepala anak mereka yang ada di dapur.

Matahari kemudian kembali ke Bulan, “Mengapa kamu tega potong anak kita,” ujar Matahari menahan amarahnya.

Bulan tak tinggal diam, dan membalas, “Bukankah kamu yang suruh. Saya sudah tanya ke kamu, apa yang akan kita buat untuk lauk dan sayur hari ini, dan kamu berkali–kali bilang ‘untuk potong anak kita, itu sudah cukup untuk makan hari ini’.”

Suami istri kemudian berseteru. Pertengkaran Matahari dan Bulan didengan para Emta, baik yang sedang makan atau yang masih menunggu giliran.

Para Emta yang sudah makan memastikan, ”Jadi yang kami makan ini daging anak kalian?” tanya Emta, dengan nada kaget.

Para Emta yang masih makan di atas podok berlarian melompat keluar dari pondok. Begitu juga Emta yang di bawah pondok ikut berlarian setelah tahu bahwa makanan yang akan mereka makan itu daging dari anaknya Matahari dan Bulan.

Para Emta yang telah terlanjur memakan daging anak dari Matahari dan Bulan ini kelak menjadi Emta jahat yang bisa makan sembarang, termasuk daging manusia. Mereka juga menajdi penyebar ilmu hitam seperti santet. Adapun para Emta yang berada di bawah pondok yang tidak ikut makan daging, tetap menjadi Emta yang baik.

Matahari yang terlanjur murka kepada Bulan mengambil panci lalu menumpahkan semua sayur yang masih panas ke wajah Bulan. Sayur berisi daging yang panas itu langsung mengenai tubuh Bulan, sehingga kulitnya melepuh hingga mengelupas.

Dalam kondisi emosi, Matahari keluar dari pondok dan langsung terbang naik ke langit meninggalkan Bulan yang meringis menahan sakit setelah ditumpahi sayur panas.

Sebelum berangkat naik ke langit Matahari berkata:

“Memang kamu istriku dan aku tidak bisa lagi mencari istri selain kamu. Kamu pun tidak bisa mencari suami selain aku. Kita bisa berkumpul lagi, tapi ada waktunya. Jadi kita tidak bisa berkumpul setiap saat. Jalau kamu bisa mengejar aku suatu hari nanti , maka kita akan bisa berkumpul lagi, saat kita sudah sama– sama rindu. Tapi kita akan terpisah lagi,” ujar Matahari sambil terbang ke angkasa meninggalkan Bulan.

Bulan tidak banyak menjawab perkataan Matahari, hanya kata “iya”, yang bisa diucapkan sembari menahan perih luka bakarnya. Sepeninggal Matahari, Bulan berusaha membersihkan luka yang dia alami.

Hari demi hari luka Bulan kian membaik. Akan tetapi ada bagian luka di belakang tubuh bulan yang tidak terjangkau, disitulah masih terasa sakit, mulai membusuk dan berulat.

Dari kejauhan, seekor burung perungguk mendengar suara tangisan. Suara itu ternyata berasal dari isak tangis Bulan.

Burung Perungguk bertanya, “Mengapa kamu menangis, wahai Bulan?”

“Aku ditinggal suamiku,” jawab Bulan seraya menceritakan kejadian perih yang dialami.

Setelah bercerita, Bulan meminta Burung Perungguk.

“Ada sisa luka yang berulat di belakangku ini. Bisakah kamu bantu aku membersihkannya, luka ini terasa sakit sekali,” ujar Bulan.

“Bisa, bisa, bisa,” jawab Perungguk. Dengan semangat Perungguk mulai membersihkan dan mencungkil ulat yang bersarang di punggung Bulan.

Selanjutnya Perungguk rutin datang ke pondok untuk mengobati luka Bulan hingga akhirnya tidur disana dan tidak mau pulang lagi. Sehingga seolah–oleh sudah siap menikahi Bulan.

Bulan berkata kepada Perungguk, “Wahai Perungguk, aku bukanlah hak kamu. Aku sudah ditakdirkan bersama Matahari, tidak ada yang bisa bersamaku selain Matahari. Karena hanya kami berdua di dunia ini yang bisa terlepas dari hidup yang hanya sekali. Tidak ada di dunia ini yang bisa hidup berkali–kali kecuali kami,” kata Bulan.

Ding Lung, Masyarakat Adat Dayak Wehea, Desa Nehas Liah Bing.

× Image