Sayuti Melik, Kolumnis Sang Pengetik Naskah Proklamasi
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM - Takkan pernah jenuh menjejak para tokoh bangsa. Terlebih tokoh Kemerdekaan, yang berjasa amat besar bagi perjalanan republik ini. Seperti sosok kolumnis, yang mengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Mohamad Ibnu Sayuti yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik.
Tanggal 17 Agustus 1945 pukul 03.00 WIB, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo menyusun naskah proklamasi di ruang makan Laksamana Muda Tadashi Maeda. Usai ditulis tangan oleh Soekarno, naskah proklamasi itu, diserahkan kepada Sayuti Melik, untuk diketik.
Sayuti Melik seorang perintis kemerdekaan yang mengalami beberapa zaman. Dari Era Kemerdekaan sampai Orde Baru.
Buku Seri Pengenalan Tokoh: Sekitar Proklamasi Kemerdekaan, yang ditulis Amurwani Dwi Lestariningsih dkk (2011), menjejak rekam perjuangan Sayuti Melik.
Ia aktif dalam pergerakan dan perjuangan kebangsaan. Dilahirkan di Desa Kadilobo, Rejodani, Sleman, Jogja, 25 November 1908. Ayahnya Partoprawiro dikenal dengan Dulmaini, seorang Pamong Praja tingkat desa. Adapun ibunya bernama Sumilah, pedagang kain di pasar.
Sebelum mengetik naskah proklamasi, Sayuti duduk bareng Bung Karno, Bung Hatta, Sukarni, Achmad Soebardjo. Peserta rapat lainnya terpisah, duduk agak jauh dari mereka.
Dalam proses penyusunan naskah, yang banyak membahas kala itu Bung Hatta dan Achmad Soebardjo, sedangkan Bung Karno menulis pembicaraan mereka.
Nah coretan tangan Bung Karno itu kemudian menjadi konsep awal naskah Proklamasi Kemerdekaan.
Selanjutnya, naskah itu didiskusikan para pemuda dan tokoh-tokoh senior. Selanjutnya, Sayuti menelurkan ide agar Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani naskah proklamasi itu atas nama bangsa Indonesia.
Ide itu disepakati seluruh peserta rapat. Setelah itu Bung Karno memintanya Sayuti mengetik naskah proklamasi. Ia segera mengetik teks Proklamasi di ruangan lain dengan mengubah beberapa kata.
Salah satunya mengubah: Wakil-wakil Bangsa Indonesia, menjadi: Atas Nama Bangsa Indonesia.
Lalu ditambahkan: Soekarno-Hatta. Usai diketik, naskah kemudian dibacakan di depan rapat, disetujui, dan ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta. Naskah resmi teks Proklamasi yang diketik Sayuti Melik dibacakan Bung Karno tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, pukul 10.00 WIB.
Rekam Jejak Sayuti
Sayuti, bukan sekadar pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan. Sebelum mengemban tugas mulia itu, ia juga dikenal sebagai aktivis pergerakan, jurnalis, kolumnis, dan asisten pribadi Bung Karno. Sayuti juga tercatat sebagai anggota susulan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota MPRS dan DPRS mewakili Angkatan '45, dan anggota MPR/DPR pada Pemilu 1971 dan Pemilu 1977 yang berasal dari Golkar.
Sayuti memiliki istri bernama Surastri Karma Trimurti yang lebih dikenal S. K. Trimurti, tokoh Pers Nasional. Ia punya dua orang putra, bernama Musafir Kurma Budiman dan Heru Baskoro.
Menguti situs Ensiklopedia Kemdikbud, Sayuti Melik tercatat dalam sejarah Indonesia yang aktif dalam bidang politik dan jurnalistik.
Sayuti memulai pendidikannya di Sekolah Ongko Loro (setingkat SD) di desa Srowolan sampai kelas IV dan diteruskan sampai lulus mendapatkan ijazah di Jogja. Tahun 1920-1924 ia melanjutkan ke Sekolah Guru di Solo.
Namun, beberapa bulan sebelum studinya selesai, ia ditangkap polisi rahasia Belanda sehingga dikeluarkan dari sekolah. Saat itu, Sayuti baru berusia 17 tahun dan penangkapan itu tak meredam semangatnya untuk belajar sendiri dengan semboyan: Belajar Sambil Berjuang.
Sebagai aktivis dan tokoh kemerdekaan, Sayuti beberapa kali mengalami pahitnya hidup dalam jeruji besi. Sayuti Melik juga dinilai sebagai tokoh yang berperan dalam kemajuan bidang jurnalistik di Indonesia.
Pada tahun 1977, Sayuti mendapat Piagam dalam bidang Jurnalistik dari Persatuan Wartawan Indonesia. tahun 1982, ia menyabet penghargaan Satya Penegak Pers dari PWI Pusat.
Sayuti Melik meninggal dunia di Jakarta pada 27 Februari 1989, di usia 80 tahun. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan.
Rudi Agung