Home > Mancanegara

Warga Palestina yang Mengungsi Ubah Kuburan Jadi Hunian

Genosida Gaza memasuki hari ke-720: puluhan tewas semalam dalam pembantaian baru Israel.
Warga Gaza mengubah pemakaman menjadi hunian. 
Warga Gaza mengubah pemakaman menjadi hunian.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Meskipun ada gencatan senjata di Gaza, bencana kemanusiaan semakin parah. Tanpa tempat berlindung yang aman dan tanah untuk kembali, banyak keluarga pengungsi mendirikan tenda dalam kuburan.

Sebab itulah satu-satunya ruang kosong yang tersedia. Di Gaza, menurut laporan Days of Palestine, tempat seluruh lingkungan telah menjadi puing-puing.

Puluhan ribu warga Palestina yang mengungsi kini mencari perlindungan di satu-satunya ruang terbuka yang tersisa, kuburan. Di seluruh kota Khan Younis di selatan, keluarga-keluarga mendirikan tenda di antara batu nisan, mengubah pemakaman menjadi kamp darurat.

Tempat peristirahatan terakhir yang dulunya suci bagi orang mati kini telah menjadi tempat berlindung bagi mereka yang masih hidup. Bukan karena pilihan, melainkan karena keputusasaan belaka.

"Kuburan ini memang bukan untuk orang hidup," kata seorang warga yang mengungsi. "Tapi sekarang, inilah satu-satunya tempat kami bisa bertahan hidup."

Keluarga-keluarga tinggal di antara nisan-nisan, tidur di atas tanah dan lempengan beton. Tidak ada air, tidak ada listrik, dan tidak ada privasi, yang ada hanyalah perjuangan untuk bertahan.

Para orang tua menggambarkan pengalaman itu sebagai keruntuhan psikologis yang perlahan.

Trauma perang, kata mereka, diperparah rasa sakit menyaksikan anak-anak mereka tumbuh besar dikelilingi kematian. "Bagi para orang tua, beban emosionalnya sangat berat," kata seorang ayah dua belas anak yang mengungsi dari utara.

"Kami harus membesarkan anak-anak kami di antara batu nisan. Sungguh tak tertahankan."

Perempuan lain menggambarkan ironi pahit dari realitas baru mereka.

"Kuburan, yang dulunya ruang suci bagi orang wafat, kini menjadi saksi bisu krisis kehidupan. Di Gaza, bahkan tanah untuk orang mati telah menjadi tempat perlindungan terakhir bagi yang masih hidup."

Bangsa yang Terlantar

Menurut perkiraan PBB, hampir 1,9 juta warga Palestina, sekitar 90 persen dari populasi Gaza, telah mengungsi sejak perang Israel dimulai.

Banyak keluarga terpaksa mengungsi, bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, karena pemboman dan perintah evakuasi paksa membuat mereka kehilangan tempat berlindung yang aman.

Tempat penampungan yang penuh sesak di selatan tidak lagi mampu menampung arus pengungsi.

Menyewa lahan beberapa meter persegi saja untuk mendirikan tenda menjadi sangat mahal bagi keluarga yang telah kehilangan rumah, tabungan, dan mata pencaharian mereka.

Badan PBB untuk pengungsi Palestina memperkirakan lebih dari 61 juta ton puing kini menyelimuti Gaza, dengan seluruh permukiman terhapus dari peta.

Keluarga-keluarga mencari sisa-sisa tempat berlindung, air, atau sesuatu untuk membangun kembali kehidupan mereka di reruntuhan, seringkali hanya menemukan debu dan kesunyian.

Gencatan Senjata Tanpa Bantuan

Meski gencatan senjata yang rapuh telah diberlakukan sejak 10 Oktober, bencana kemanusiaan ini tetap akut. Israel terus memberlakukan pembatasan ketat terhadap masuknya bantuan, menyebabkan pasokan makanan, bahan bakar, dan medis menjadi sangat langka.

Pada hari Rabu, Mahkamah Internasional memerintahkan Israel mengizinkan aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza, dengan memutuskan Israel tidak dapat menggunakan kelaparan sebagai metode peperangan. Namun, dampak putusan tersebut belum terasa di lapangan.

Sebagian besar konvoi bantuan terbatas di bagian tengah dan selatan Jalur Gaza melalui penyeberangan Karem Abu Salem (Kerem Shalom), sementara Gaza utara hampir seluruhnya terputus.

Kehidupan, atau apa yang tersisa darinya, terus berlanjut di antara makam-makam.

Di Gaza, perbedaan antara hidup dan mati telah kabur. Pemakaman telah menjadi tempat berlindung, rumah telah menjadi kuburan, dan bertahan hidup itu sendiri telah menjadi sebuah tindakan perlawanan. Seperti yang dikatakan seorang warga dengan lirih, sambil duduk di samping nisan yang retak:

"Kita tidak lagi takut mati. Kita hidup bersamanya sekarang."

Di Tenda-tenda Darurat, Penderitaan Pengungsi Tak Henti

Penderitaan warga Palestina di Jalur Gaza semakin parah setiap harinya, karena penduduk menghadapi tantangan yang hampir mustahil untuk mendapatkan bahkan kebutuhan paling dasar: air, makanan, dan tempat tinggal.

Di kamp-kamp darurat Az-Zawayda, di Gaza tengah, setiap tenda menyimpan kisah kehilangan dan perjuangan bertahan hidup.

Keluarga-keluarga berdesakan di tempat penampungan kecil dan rapuh yang nyaris tak muat untuk anggota keluarga mereka.

Memasak dilakukan di atas kompor buatan tangan yang berbahan bakar potongan kayu, pengganti gas yang berbahaya namun penting, yang sebagian besar masih terhalang masuk ke Jalur Gaza.

Meski sejumlah kecil gas telah masuk melalui saluran terbatas, sebagian besar keluarga tidak menerima apa pun.

"Kami bergantian memasak karena tidak ada cukup kayu atau gas," kata seorang ibu yang terlantar, berdiri di samping panci yang tertutup jelaga. "Kami lupa bagaimana rasanya makan makanan yang normal."

Perjuangan sehari-hari juga mencakup air, kebutuhan paling vital. Dengan infrastruktur Gaza yang hancur, keluarga-keluarga mengantre berjam-jam di bawah terik matahari hanya untuk mengisi beberapa ember.

Air yang sama digunakan untuk minum, mencuci pakaian, dan mandi.

"Tidak ada mesin cuci di sini," kata perempuan lain. "Kami mengisi galon dengan tangan dan menggosok pakaian kami di atas batu. Melelahkan memang, tapi apa pilihan kami?"

Kebersihan hampir mustahil dijaga. Karena produk-produk kebersihan tidak tersedia selama berbulan-bulan, para ibu mengatakan mereka tidak dapat merawat anak-anak mereka dengan baik.

"Kami terus-menerus khawatir infeksi dan penyakit," kata seorang ibu. "Bahkan menjaga kebersihan anak-anak kami pun menjadi perjuangan sehari-hari."

Sebagian besar penduduk kamp darurat Az-Zawayda tidak punya tempat untuk kembali.

Rumah mereka telah hancur total atau berada di wilayah yang kini dikuasai pasukan Israel, di sepanjang wilayah yang disebut penduduk sebagai "garis kuning".

Sebagian lainnya tidak mampu membayar biaya perjalanan ke utara, di mana pemboman dan kerusakan masih meluas.

"Kami terjebak," kata seorang pengungsi. "Kami tidak bisa kembali, kami tidak bisa maju, kami hanya berusaha bertahan hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi ini."

Pemerintah Kota Gaza menggambarkan situasi tersebut sebagai "realitas bencana", yang membenarkan bahwa lebih dari 80% infrastruktur kota telah hancur dalam dua tahun pemboman Israel yang tiada henti.

Juru bicara pemerintah kota, Hosni Muhanna, mengatakan serangan Israel telah menghancurkan 56 sumur air dan merusak puluhan lainnya.

Empat waduk utama hancur total, dan lebih dari 110.000 meter jaringan air hancur, memutus akses air bersih bagi ratusan ribu penduduk.

"Penghancuran infrastruktur Gaza sistematis," kata Muhanna. "Ini bukan hanya tentang bangunan; ini tentang melumpuhkan kemampuan hidup penduduk."

Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNRWA) memperingatkan bahwa bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza hanyalah “setetes air di lautan” dibanding dengan kebutuhan besar penduduknya.

Dalam pernyataan terbarunya, badan tersebut menekankan kebutuhan mendesak membuka semua penyeberangan dan mengizinkan masuknya bantuan tanpa batas.

Badan tersebut memperingatkan bahwa blokade yang sedang berlangsung dan pembatasan akses kemanusiaan yang ketat memperburuk krisis yang sudah parah.

Kembali ke Rumah Serupa Kembalinya Trauma

Tak ada lagi yang tersisa bagi orang-orang di sini. Salah satu ciri khas bagi ratusan ribu warga Palestina yang kembali ke Kota Gaza dan wilayah utara Jalur Gaza bukanlah lagi kehidupan; melainkan perjuangan berat untuk bertahan hidup.

Dalam konteks ini, bertahan hidup bukan berarti hidup. Melainkan bertahan.

Melainkan bernapas di tengah reruntuhan tempat yang dulunya rumah, setelah dua tahun pemboman tanpa henti yang meluluhlantakkan seluruh lingkungan dan meninggalkan tanah yang terluka dan sunyi.

Saat keluarga-keluarga kembali, banyak yang berjalan menyusuri jalan-jalan yang terkubur reruntuhan. Yang lain berkendara perlahan melewati rumah-rumah mereka yang dulu, kini hanya kerangka beton, atap runtuh, dan baja yang hancur.

Beberapa tidak menemukan apa pun selain jejak samar di tembok mereka dulu berdiri. Bagi banyak orang, bahkan gagasan mendirikan tenda darurat pun terasa mustahil; tidak ada tanah kokoh yang tersisa untuk mendirikannya.

Mereka yang berhasil sering kali melakukannya di tengah jalan, terus-menerus menghadapi risiko dari beberapa mobil yang melintas di reruntuhan.

Anak-anak berkeliaran di antara puing-puing, mencari serpihan masa lalu mereka, pot, tas sekolah, foto keluarga, apa pun yang dapat menghubungkan mereka dengan kehidupan yang sudah tak ada lagi.

Suara tangan kecil mereka yang bergerak di antara puing-puing adalah satu-satunya gerakan di kota yang terasa seperti mati.

Sepekan lebih setelah gencatan senjata, warga Palestina yang kembali ke Gaza tidak menemukan rumah mereka, melainkan kuburan kenangan mereka. Namun mereka kembali.

Terlepas dari kehilangan, terlepas dari kelaparan dan ketakutan, mereka menolak untuk dihapus dari tanah mereka. Bagi banyak orang, apa yang menanti mereka sungguh tak terbayangkan.

Jalan-jalan pesisir di utara kota dipenuhi ratusan orang, keluarga-keluarga berjalan dengan barang-barang yang sedikit yang berhasil mereka bawa selama pengungsian demi pengungsian.

Para ibu memeluk erat anak-anak mereka, para ayah menyeret koper-koper rusak, dan para lansia bersandar pada tongkat atau satu sama lain.

Sesampainya di permukiman mereka, guncangan menghantam mereka bagai tembok. Wilayah utara telah rata dengan tanah. Rumah, sekolah, masjid—semuanya rata dengan tanah, tak dikenali lagi.

"Setibanya di Sheikh Radwan," kata seorang ayah, "saya berharap menemukan rumah saya masih berdiri, tapi yang saya temukan sebaliknya. Semuanya rata dengan tanah. Saya bahkan tak bisa membedakan di mana rumah saya dulu berdiri. Puing-puing setiap rumah bercampur aduk. Kehancuran di sini sungguh tak terbayangkan."

Ia dan keluarganya duduk di antara reruntuhan, air mata mengalir pelan. "Kami kehilangan kenangan selama empat puluh tahun," katanya.

"Rumah ini tak dapat diperbaiki lagi. Tak satu pun pilar beton yang utuh. Bahkan batu-batunya pun hancur. Rasanya seperti bom nuklir menghantam tempat ini."

Bagi banyak keluarga, kehancuran tersebut membuat mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit: tetap tinggal di tengah reruntuhan atau kembali ke selatan ke kamp-kamp yang penuh sesak, di mana makanan, air, dan perawatan medis sangat langka.

Namun, terlepas dari segalanya, sebagian besar memilih tetap tinggal, membangun kembali kehidupan mereka di atas tanah yang sama yang telah mengubur masa lalu mereka.

Listrik, air bersih, dan layanan kesehatan hampir tidak ada. Jalan-jalan masih tertutup puing-puing rumah, dan sekolah-sekolah yang dulunya bergema dengan tawa anak-anak kini hanya tinggal tulang belulang.

Namun di tengah semua ini, ada sesuatu yang tak terputus, keterikatan yang kuat pada tanah, pada hak untuk hidup di tempat generasi-generasi sebelumnya pernah hidup.

Mila

Image
Republika Network

Sekitarkaltim.ID -

× Image