Kenapa Lecehkan Pesantren?

Sangat jarang menemukan para santri marah. Tapi, hari-hari belakangan amarah mereka tiba-tiba membuncah. Batas bawah telah diterabas. Kiai dan pesantren diusik, tanpa alasan jelas.
Pimpinan Wilayah Ikatan Pesantren Tebuireng- PW IKAPETE DKI dan sekitarnya, menerbitkan seruan aksi. Mengajak kepada seluruh alumni Pesantren Tebuireng dan sekitarnya untuk hadir dalam seruan aksi bela Kiai, Santri dan Pesantren.
Aksi itu akan dilakukan pagi ini, Rabu 15 Oktober 2025 pukul 09.00. Mereka akan menggelar unjuk rasa mulai pukul 09.00 WIB dengan dresscode: sarungan. Sasaran aksinya gedung Trans7.
Tak hanya santri yang marah. Publik pun murka terhadap tayangan Trans7 yang dinilai melecehkan Kiai dan pesantren. Lewat liputan tanpa coverbothside, narasi provokatif, klip-klip video penggalan, mereka meloloskan tayangan dengan framing sebuah fitnah yang amat keji.
Apalagi sosok Kiai bersajaha yang sangat dihormati dan dijadikan rujukan banyak kalangan, justru dijadikan framing keji lewat potongan klip tanpa konteks yang utuh dan berimbang.
Justru lebih cenderung provokatif, mengandung fitnah, pelecehan dan mencederai validitas kebenaran. Tayangan itu jelas bukan produk jurnalistik, tapi tudingan yang sangat mengerikan.
Saya khawatir, ini bukan hanya kelalaian. Tapi kesengajaan.
Tak ada yang mau berlaku bodoh untuk sengaja menyudutkan Kiai dan pesantren tanpa tujuan jelas. Tanpa coverbothside, tanpa informasi berimbang.
Bahkan, sekelas media-media Zionis harus berpikir ratusan kali. Mereka tahu, pesantren adalah benteng terakhir bangsa ini. Tahu pula, para Kiai adalah cahaya bagi benteng itu.
Tetapi, kenapa Trans7 nekat melakukannya? Apa motifnya? Siapa pemesannya, siapa aktor di baliknya?
Sebetulnya, salah apa sih pesantren terhadap Trans7, hingga tanpa angin dan hujan lalu mengusiknya? Suasana negeri yang adem tiba-tiba menjadi panas.
Para santri pun langsung meramaikan jagat sosial media. Menaikan tagar Boikot Trans7 hingga menjadi trending utama.
Suasana makin memanas ketika buzzer-buzzer makin konyol dengan mendukung framing keji Trans7 dan lancang menghina dina pesantren dan Kiai. Di ruang terbuka.
Bahkan, pihak-pihak yang tak suka pesantren memanfaatkan momentum. Tanpa adab dan etika, mereka ikut—ikut menghina Kiai dan pesantren. Masyarakat pun terpolarisasi, karena sebuah tayangan keji yang diloloskan Trans7.
Ada pula yang meminta agar pesantren ditutup saja. Mengerikan sekali.
Apa kita lupa sejarah dan sumbangsih para Kiai, santri dan pesantren terhadap bangsa ini, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Bagaimana peran mereka di masa perlawanan terhadap penjajahan.
Di era penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan. Selain wadah mencari ilmu, para Kiai di pesantren juga menjadi pemimpin perjuangan dan perlawanan utama melawan penjajah.
Saat ini, di zaman modern pun pesantren melanjutkan sumbangsihnya mendidik generasi bangsa agar memiliki banyak ilmu: agama, bahasa, sastra, bela diri sampai materi umum lainnya. Pesantren telah membuktikan sebagai pemasok pemimpin negeri ini, tak terkecuali para kaum intelektual.
Ajaibnya, ketika ada tayangan drama seorang pria jongkok di hadapan wanita untuk melamar, dianggap romantis. Tapi saat santri berjongkok menghormati guru yang mencurahkan ilmunya, dianggap feodalis.
Ketika seseorang mendapat amplop fee dari sebuah iklan televisi, dianggap prestasi jualan. Tapi ketika orangtua memberi amplop kepada guru yang mengajari ilmu dan adab anaknya, dianggap mata duitan.
Moralitas berstandar ganda yang sangat memilukan.
Pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang sempurna. Kritik harus terus digaungkan untuk kebaikan bersama. Tetapi fitnah, pelecehan dan tudingan keji terhadap pesantren dan Kiai adalah kejahatan. Tak cukup dituntaskan dengan kata maaf. Apalagi berkedok produk jurnalistik.
Padahal selain dipagari kode etik jurnalistik, media pun memiliki pagar bernama: moral. Siapapun tahu, besarnya sumbangsih pesantren dan para Kiai bagi bangsa ini. Jauh sebelum Indonesia merdeka.
Lalu kenapa sekelas televisi nasional terang-terangan mengusik benteng terakhir bangsa?
Siapa aktor di balik tayangan itu? Siapa yang memesannya? Kata maaf tentu saja tidak cukup. Harus ada konsekuensi pertanggung jawaban lain dari penanggung jawab dan narator tayangan terkait.
Sangat menyakitkan rasanya ketika Kiai dan pesantren dilecehkan. Apalagi yang melakukannya media di Indonesia, bukan bukan tayangan media zionis yang ditayangkan dari tanah penjajah Israel.
Jutaan santri se-Indonesia, yang biasa santai, adem, tenang menyalin kitab kuning dan menghafal Alfiyah, tentu ikut tersulut amarah dan bergerak bersama ke ruang digital. Tagar #BoikotTrans7 pun melesat ke trending topic, hanya kurang empat jam.
Tentu saja, ini bukan sekadar tentang tata cara minum dan salim. Ini soal martabat. Ini marwah yang selalu terjaga. Di pesantren, adab minum sambil jongkok itu simbol kerendah hatian untuk selalu membumi, sebuah kesopanan, bukan humor untuk dijadikan celaan. Bukan dijadikan bahan fitnahan.
Media, yang punya tanggung jawab moral dan peran mencerdaskan bangsa, justru berubah menjadi pionir untuk melecehkan marwah Kiai dan pesantren. Netizen pun ikut-ikutan. Ini sangat mengerikan.
Jika saja redaksi Xpose mau belajar langsung ke pesantren, mereka akan belajar hal yang penting: jongkok itu bukan tanda kebodohan, tapi sebuah pendidikan agar tak sombong kepada bumi.
Belajar Mengenali
Media, seharusnya menjadi pionir untuk mendidik pemahaman terhadap tradisi atau budaya kelompok tertentu. Tak terkecuali tradisi pesantren yang tidak semua sama dengan budaya di kalangan masyarakat.
Ketika santri dan keluarganya menjunjung tinggi tradisi kekhidmatan kepada Kiai, masyarakat yang lahir dan besar di luar pesantren akan melihatnya dari sisi yang lain. Ada saja yang menganggapnya beda.
Begitupun tradisi budaya lain, seperti Rambu Solo’, budaya di Toraja atau tradisi Ngaben di Bali, dan lainnya. Bangsa ini amat beragam budaya dan tradisi sebagai warisan leluhur bangsa yang harus dijaga.
Bagi masyarakat luar mungkin terasa tak biasa, tapi sejak kecil kita dididik saling menghormati dan menjaga tradisi serta budaya manapun. Syukur-syukur mau ikut mempelajarinya, bukan menghinanya.
Maka, ketika di pesantren punya banyak tradisi yang tak semua mengalaminya, media seharusnya lebih memahami hal itu. Mempelajarinya dengan seksama, bukan bermain framing dengan tuduhan keji.
Banyak tradisi yang jika dilihat sekilas, memang beda, semisal memberi uang pada Kiai.
Selain bentuk khidmat, itu praktik sambungan jiwa yang tidak bisa dipahami hanya dengan logika linier terbatas. Apalagi hanya dilihat sekilas.
Ihwal tradisi sungkem, masyarakat atau santri tengah menyambung energi batin dengan Kiai yang mereka yakini membawa berkah bagi kehidupan diri dan keluarganya. Keyakinan inilah tak bisa disamaratakan.
Tetapi orang-orang modern pun tahu kehidupan itu dipandu pikiran bawah sadar. Itulah yang dalam ruang spiritual dan religius dikaitkan sebagai keyakinan.
Para santri dan keluarganya pun yakin dengan memberi harta ke Kiai, maka kehidupannya akan berkah.
Ini juga diajarakan agama manapun, siapa berbagi, ia akan menemukan ketenangan batiniyahnya. Bahkan bisa menghadirkan kesejahteraan.
Maka, dibutuhkan kepekaan sosial untuk menampilkan tayangan di media ihwal tradisi tertentu agar jangan sampai menimbulkan perpecahan. Kecuali, hal itu memang kesengajaan, sebuah pesanan.
Kepekaan sosial juga menjadi pengingat bagi siapapun agar menghormati sekecil apapun kontribusi kelompok tertentu, menjaga negeri ini untuk tetap damai.
Jangan lagi menjejali publik dengan tayangan yang mengusik tradisi manapun dengan framing keji menjijikan yang menyulut kegaduhan dan perpecahan.
Apa sih salah pesantren kepada Trans7? Apa sih salah Kiai terhadap Trans7?
Shalaalahu alaa Muhammad
Rudi Agung