Ketika Guru Dilaporkan, Kiai Dilecehkan

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Dunia pendidikan Indonesia serasa diguncang gempa. Para pendidik serasa bukan lagi sosok yang dibutuhkan. Bukan lagi sosok yang dimuliakan.
Guru dilaporkan, sang Kiai direndahkan. Dua tragedi ini terjadi hampir berdekatan.
Kepala SMAN 1 Cimarga Kabupaten Lebak, Banten, Dini Fitria dilaporkan polisi karena menampar anak didiknya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Dini dilaporkan orang tua siswa kelas XII bernama Indra Lutfiana Putra (17 tahun) karena tak terima putranya dipukul.
Buntut tindakan kekerasan itu, membuat Kepsek Dini sempat dinonaktifkan pemerintah setempat.
"Kami berharap hari Rabu (15/10) semua siswa kembali melaksanakan KBM di sekolah," kata Plt Kepala Bidang SMA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Banten, Adang Abdurrahman, dilansir Republika, pada Selasa (14/10/2025). Kasus dugaan kekerasan itu membuat ratusan siswa SMAN 1 Cimarga mogok belajar.
Penonaktifan Kepsek Dini menurut Dindikbud Banten karena mereka memprioritaskan siswa di SMAN 1 Cimarga kembali mengikuti KBM secara normal. Apalagi siswa kelas 12 menghadapi persiapan ujian untuk persyaratan masuk ke perguruan tinggi.
Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Dini Fitria dan salah satu siswa kelas XII, Indra Lutfiana Putra, saling menyampaikan permintaan maaf setelah proses mediasi yang difasilitasi Gubernur Banten Andra Soni.
Dini mengakui ada kekhilafan saat menegur siswa yang kedapatan merokok di sekitar sekolah, dan menegaskan tidak ada niat untuk menyakiti muridnya.
“Tidak ada guru yang ingin mengenai muridnya. Hari itu terjadi begitu saja, refleks. Bagaimanapun, seorang guru kepada muridnya itu adalah bentuk kasih sayang,” kata Dini, Rabu (15/10/2025).
Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Banten memediasi langsung antara Dini dan Indra yang sebelumnya terlibat dalam insiden peneguran.
Hasilnya, keduanya saling memaafkan dan sepakat melanjutkan proses pendidikan dengan suasana yang kondusif. “Alhamdulillah, kami sudah saling memaafkan. Keputusan gubernur sangat tepat karena dengan kebijakan ini anak-anak sudah kembali ke sekolah. Dunia pendidikan tidak boleh berhenti hanya karena kesalahpahaman,” ujarnya.
Dini menjelaskan, sebagai kepala sekolah yang juga pendidik, ia merasa berkewajiban menegakkan disiplin di lingkungan sekolah.
Menurutnya, pelanggaran seperti merokok di sekitar sekolah tidak bisa dibiarkan agar tidak menjadi kebiasaan di kalangan siswa.
“Saya memang konsisten menegakkan kedisiplinan, baik di dalam maupun di luar kelas. Saat itu saya merasa sedang menjalankan tugas, karena kepala sekolah juga guru. Apa pun yang saya lihat sebagai bentuk penyimpangan, saya merasa perlu menegur,” katanya.
Ia mengakui dalam proses peneguran sempat terselip emosi. “Hanya saja mungkin diwarnai dengan kekhilafan. Saya akui dan saya minta maaf,” ujar Dini.
Kebijakan penonaktifan sementara yang diterapkan Pemprov Banten, lanjutnya, merupakan langkah sementara untuk menenangkan situasi di sekolah pascaaksi mogok siswa.
“Kebijakan ini bukan hukuman, tapi upaya agar proses belajar mengajar kembali normal. Hak-hak saya sebagai kepala sekolah tidak dikurangi,” katanya.
Dini berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi seluruh warga sekolah agar komunikasi dan pembinaan karakter siswa dilakukan dengan cara yang lebih bijak.
“Intinya, kami baik-baik saja. Ini hubungan antara murid dan guru. Saya berharap semuanya bisa kembali normal seperti semula,” ujarnya.
Ia berujar, waktu di sekolah yang terbatas harus dimanfaatkan sebaik mungkin membentuk karakter dan disiplin siswa. “Kami hanya punya waktu dari jam tujuh pagi sampai setengah empat sore untuk membina mereka. Itu waktu berharga untuk membentuk anak-anak agar berdisiplin dan beretika,” ujar Dini.
Kronologi
Permasalahan bermula dari aksi mogok belajar ratusan siswa SMAN 1 Cimarga pada Senin (13/10). Mereka memprotes tindakan Kepala Sekolah Dini Fitria yang diduga menampar salah satu siswa kelas XII, Indra Lutfiana Putra, karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Terkait proses KBM, Adang menjelaskan jika saat ini siswa SMAN 1 Cimarga tetap mengikuti pembelajaran meski secara online. KBM secara online juga dibenarkan salah satu guru SMAN 1 Cimarga, Yuyun. Menurutnya, KBM online dilakukan sejak Senin (13/10) dengan mata pelajaran sesuai dengan jadwal.
"Kami minta semua siswa kembali belajar dan untuk permasalahan kepala sekolah yang dinonaktifkan kini tengah dilakukan pemeriksaan," kata Adang menegaskan.
Ketua Komite Sekolah Kosim Ansori mengatakan pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan orang tua siswa dan meminta anak-anaknya untuk kembali melakukan KBM di sekolah.
"Kita cukup prihatin dengan kondisi ini. Kami bersama Dindikbud Banten, orang tua siswa dan sekolah berusaha menyelesaikan permasalahan ini. Apalagi kepala sekolah sudah dinonaktifkan," katanya.
Dua-duanya Tak Dibenarkan
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyoroti kasus kepala sekolah diduga menampar murid yang ketahuan merokok. P2G dalam posisi melarang merokok dan kekerasan di lingkungan sekolah.
Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menyebut kejadian semacam ini tidak bisa dinormalisasi.
“Menurut kami, kekerasan di sekolah tidak bisa dibenarkan, begitupun merokok di lingkungan pendidikan, jelas tidak boleh dinormalisasi, keduanya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Satriwan kepada Republika, Rabu (15/10/2025).
Satriwan menegaskan kekerasan dalam bentuk apapun dilarang di lingkungan sekolah sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023.
Dalam aturan itu disebutkan warga sekolah baik guru maupun murid tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun.
Bentuk kekerasan menurut regulasi tersebut dalam Pasal 6 dan 7 disebutkan terdiri atas: Kekerasan fisik; Kekerasan psikis; Perundungan; Kekerasan seksual; Diskriminasi dan intoleransi; Kebijakan yang mengandung kekerasan; dan bentuk kekerasan lainnya.
Bahkan secara spesifik, kementerian pendidikan sudah mengeluarkan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah, khususnya di pasal 5 ayat 1 berbunyi: "Kepala sekolah, guru, peserta didik, dan pihak lain dilarang merokok di lingkungan sekolah."
Kasus ini sempat menjadi perhatian publik. Meski kekerasan tetap tidak diperbolehkan, namun orangtua melaporkan guru ke polisi, dinilai publik sebagai tindakan yang disesalkan.
Jauh berbeda dengan pendidikan zaman dahulu. Jika ada siswa kedapatan dihukum guru, orangtua pasti ikut mendukungnya. Bahkan, tak sedikit yang ikut memberi hukuman lanjutan pada anaknya.
Dampak dari kasus ini, sejumlah manager dan HRD perusahaan ramai-ramai membacklist siswa yang mogok sekolah karena mendukung temannya yang merokok di sekolah. Hal ini menjadi pembicaraan hangat di sosial media.
Stigma Negatif terhadap Pesantren dan Kiai Sangat Berbahaya
Usai kasus guru dilaporkan, publik juga dihebohkan dengan kasus penghinaan Kiai dan pesantren.
Diketahui, tayangan program "Xpose Uncensored" yang disiarkan stasiun televisi Trans7 memunculkan kontroversi. Siaran itu dinilai banyak kalangan telah melecehkan dunia pesantren, termasuk kaum kiai.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Assoc Prof Wawan Gunawan Abdul Wahid menegaskan, pesantren institusi pendidikan Islam yang berjasa besar dalam sejarah bangsa.
Kalaupun ada satu atau dua kasus, lanjutnya, tidak boleh hal itu kemudian menggeneralisasi seluruh pesantren.
Menurut akademisi UIN Sunan Kalijaga itu, ada sejumlah poin yang perlu dipahami dari polemik tayangan Trans7 tersebut.
Pertama, pesantren adalah tempat lahirnya para ulama. Hadis Rasulullah telah menyatakan, ulama adalah pewaris para nabi.
"Mempersoalkan pesantren sama dengan mempermasalahkan tugas mulia para ulama dan para nabi sekaligus," ujar Wawan Gunawan Abdul Wahid saat dihubungi Republika, Kamis (16/10/2025).
Karena itu, stigma yang disebarkan sebuah media massa terhadap pesantren akan sangat berbahaya jika tidak didasari prinsip verifikasi dan keadilan.
Wawan mengingatkan, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan tradisional, tetapi juga pusat pembinaan moral dan akhlak yang telah melahirkan banyak tokoh bangsa.
"Kedua, pesantren secara sosial-keagamaan berperan besar dalam mengisi perjuangan kemerdekaan serta mengisi pembangunan Indonesia," ucapnya.
Karena itu, Wawan menyesalkan narasi tayangan Trans7 ini yang seolah-olah mengaitkan satu kasus kriminal dengan keseluruhan pesantren secara umum. Pembingkaian seperti itu dapat menimbulkan persepsi negatif publik terhadap dunia pendidikan Islam.
Berujung ke Ranah Hukum
Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) resmi melapokan Trans 7 ke Direktorat Tindak Pidana Siber Mabes Polri pada Selasa (14/10/2025).
LPBH PBNU juga mengadukan Trans 7 ke Dewan Pers terkait tayangan televisi Xpose Uncencored Trans 7.
Wakil Sekretaris LPBH PBNU, Aripudin mengatakan, dalam tayangan program Xpose Uncencored di Trans 7 terdapat bentuk tindakan hukum yang fatal, kebablasan dan tidak beradab. Maka dalam perkara tersebut Trans 7 diduga telah melakukan ujaran kebencian dan penghinaan.
"Trans 7 (dalam program Xpose Uncencored) diduga telah menyebarkan informasi elektronik dengan sengaja yang sifatnya menghasut dan menimbulkan kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan agama," kata Aripudin, Rabu (15/10/2025).
Menurutnya apa yang ditayangkan Trans 7, masuk dalam Pasal 28 (2) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 perubahan kedua UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Aripudin menyampaikan bahwa Dewan Pers telah menerima aduan dari LPBH PBNU, tepatnya pengaduan dengan nomor aduan 2510026. Maka LPBH PBNU meminta Dewan Pers segera mengambil keputusan cepat demi keadilan dan tuntutan warga Nahdliyin terhadap Trans 7 yang telah menghina dan membuat narasi mengolok-olok kiai dan pesantren.
"Permohonan maaf saja tidak cukup dan langkah hukum merupakan upaya yang final bagi kami agar kejadian ini tidak terus terulang," ujar Aripudin.
Republika