Home > Serba Serbi

Korupsi, Pungli, Dinasti dan Kegelisahan Gen Z Suarakan #KaburAjaDulu

Jika tak direspon baik, bisa jadi akan menciptakan persepsi negatif terhadap pemerintah dan kondisi Indonesia di mata dunia.
ICW melakukan aksi di kawasan Sarinah, Jakarta, pada Senin (9/12/2024) lampau.
ICW melakukan aksi di kawasan Sarinah, Jakarta, pada Senin (9/12/2024) lampau.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Sosial media riuh dengan suara “Kabur Aja Dulu”. Konten itu berisi keinginan masyarakat terutama anak muda dan Gen Z, yang ingin mencari kehidupan lebih baik di luar negeri. Konten-konten tersebut dibumbui tagar #KaburAjaDulu.

Fenomena ini muncul sebagai respons atas pelbagai isu dalam negeri. Mulai korupsi yang kian menggila, hukuman ringan bagi koruptor, tumbuh kembangnya dinasti di pelbagai daerah, pungutan liar alias pungli. Pun kebijakan pemerintah yang kurang berpihak, kesenjangan sosial, dan minimnya lapangan pekerjaan.

Berbagai unggahan dengan tagar #KaburAjaDulu sering berisi pengalaman dan tips belajar atau bekerja di luar negeri, hingga ajakan untuk hijrah ke negara lain.

Selain itu, tagar ini juga disertai keluhan warganet mengenai permasalahan di Indonesia. Banyak warganet yang merespons bahwa tren ini menjadi alarm bahwa pemerintah Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Bahkan, jika tidak direspon baik, bisa jadi akan menciptakan persepsi negatif terhadap pemerintah dan kondisi Indonesia di mata dunia. Apalagi, Pilkada yang diharapkan bisa menjadi sarana memilih pemimpin yang baik justru sebaliknya. Di daerah malah bermunculan dinasti dan raja-raja kecil.

Gen Z ataupun warga umum yang tidak segerbong dengan penguasa, bakal tersisihkan. Terutama dalam hal mendapat lapangan kerja. Integritas dan kualitas bukan lagi ukuran, tapi seberapa dekat dengan orang dalam: ini yang menjadi tolak ukur untuk mendapat pekerjaan atau sebuah proyek.

“Orang-orang pengen pindah ke luar negeri itu bukan karena di sana alamnya indah. Tapi karena sudah muak dengan kebijakan pemerintah, muak dengan pejabat korup, dan muak dengan pejabat yang banyak drama dan muak dengan ketidakadilan,” demikian cicitan warganet dengan akun @Regn di X.

“Gpp kabur aja, Indonesia sudah bobrok. Kasihan masyarakat,” kata warganet, akun @Inie** di X.

Guru Besar UI, Rhenald Kasali mengaku banyak mendengar suara kekecewaan dari masyarakat, khususnya pelaku usaha muda di start up di Indonesia.

Menurut Rhenald, usaha mereka kerap diganggu para preman. Aksi premanisme jelas menghalangi kreasi yang berpotensi tercipta dari sisi bisnis. Keadaan demikian, ujarnya, harus segera menjadi perhatian pihak berwenang. Sebab, jika terus dibiarkan bisa terus mengganggu iklim investasi.

"Orang kalau mau buka usaha sekarang, juga takut dengan preman. Preman bisa segel usaha kita, dan didiamkan. Ini tentu sangat mengganggu pikiran publik yang mau investasi. Asing juga tidak selalu ingin investasi di sini," kata Rhenald dalam video yang diunggah di media sosial miliknya, belum lama ini.

Ia melihat isu itu berdampak ke berbagai sektor. Paling terasa di sektor lapangan kerja. Tanpa investasi, lapangan kerja menjadi sangat terbatas. Alhasil, muncul fenomena anak-anak muda ingin berpetualang ke luar negeri. Terutama yang berusia antara 19-30 tahun. Situasi demikian mengundang beragam reaksi.

Ada pihak yang melihat para pemuda kurang nasionalis. Di sisi lain, ada yang mencoba memahami. Untuk pandangan kedua, dikarenakan setiap warga negara dinilai punya hak untuk mencari pekerjaan yang layak, dan pindah kemanapun mereka suka.

Rhenald mengaku didatangi seorang anak muda pendiri start up. Mereka berdiskusi. Dari cerita anak muda tersebut, ia mendapati informasi ada pihak-pihak yang meminta kickback (imbalan atau insentif keuangan) saat para pebisnis mau memulai usahanya.

"Mereka juga kecewa karena sekarang kalau mau jualan itu diminta kickback. Waduh, potongannya banyak. Dan mereka juga was-was, takut juga nanti kalau mereka ditangkap oleh KPK atau Kejaksaan karena dianggap menyogok. Jadi memang terdapat banyak tekanan disini," ujar Guru Besar Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi UI itu.

Kisah-kisah itu, bisa saja menambah runyam iklim investasi. Apalagi ada aksi premanisme yang menjadi penghalang. Akibatnya, meski pro-kontra, orang-orang mulai melihat daya tarik di luar negeri.

"Kanada mempunyai jalur untuk visa express, bagi orang yang mau kerja disana. Juga mereka menghindari percaloan dan lain sebagainya, jadi lebih mudah untuk tenaga-tenaga terampil," jelas Rhenald.

Dus, Jepang. Pemerintah negeri matahari terbit membuka pintu lebar-lebar bagi warga asing. Itu karena jumlah penduduk lokal di sana terus berkurang.

"Lalu juga kemudian negara di sekitar kita. Apakah itu Singapura, apakah itu negara-negara ASEAN yang bagus-bagus. Vietnam aja sekarang bagus, dan pasti butuh tenaga kerja. Demikian pula negara-negara Eropa lainnya," kata Rhenald.

Ia menilai Indonesia harus benar-benar serius menyikapi situasi ini. Jika tidak segera dibenahi, bisa kehilangan banyak tenaga terampil, juga para investor. Pasalnya kesempatan berusaha di belahan dunia lain, terbuka lebar.

Praktik pungli di masyarakat memang sangat kental terjadi, yang pelakunya juga tidak lain adalah kelompok masyarakat itu sendiri. Maka tidak heran ketika warganet menyebut Indonesia sebagai negara pungli karena menggantungkan hidup pada aksi-aksi ilegal sedemikian.

Republika

× Image