Home > Kolom

Proyek Pendidikan

Dulu, para pengambil kebijakan benar-benar merancang pendidikan untuk kemajuan bangsa. Bukan untuk proyek. Bukan untuk kepentingan politik praktis. Bukan untuk coba-coba.
Ilustrasi, sekolah tertinggal. (AI)
Ilustrasi, sekolah tertinggal. (AI)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Musim libur tiba, tapi orangtua tak menyambutnya dengan gembira. Bukan, bukan karena hari liburnya kurang panjang.

Melainkan kondisi ekononomi yang kian babak belur.

Tapi, yang paling menyedihkan lagi soal gonta gantinya kebijakan dalam dunia pendidikan. Sekali lagi, setiap ganti menteri, ganti kebijakan. Ganti kurikulum. Anak-anak Indonesia seperti kelinci percobaan.

Belum selesai kebijakan satu, datang lagi yang baru. Yang seringkali cuma berganti nama, berganti istilah. Substansinya sama. Tapi membuang banyak uang negara.

Yang menjengkelkan, kebijakan itu merugikan siswa, guru dan orangtua.

Tiga elemen ini selalu menjadi korban. Siswa bingung dengan aturan yang gonta ganti, guru lebih-lebih lagi dibuat capek soalan administrasi. Ikut lagi bimtek itu, bimtek ini untuk sosialiasi dan penerapan kebijakan baru.

Orangtua? Tak kalah ruginya. Ada saja aturan-aturan diubah, baru sebentar paham tau-tau diubah lagi. Begitu terus selama 15 tahun terakhir. Ganti menteri ganti kebijakan. Ganti kurikulum.

Terbaru, wacana pendidikan 13 tahun. Yang konsekuensinya, tahun depan anak yang mau masuk SD harus punya ijazah PAUD atau TK.

Padahal tak semua orangtua mampu menyekolahkan anaknya di jenjang itu. Bahkan tak semua daerah punya PAUD dan TK negeri. Pendidikan terbaik di negara maju pun tak ada yang menerapkan hal tersebut.

Selain itu, ada pula pembagian tiga kategori pendidikan. Pertama, Sekolah Unggulan Garuda yang berstandar nasional dan dikelola Kemendiktisaintek. Kedua, Sekolah Reguler dikelola Kemendikdasmen dan Kemenag. Yang sudah berjalan puluhan tahun ini.

Ketiga, Sekolah Rakyat untuk masyarakat menengah ke bawah dikelola Kemensos.

Pembagian kategori ini jelas akan menciptakan kasta dalam pendidikan. Termasuk potensi diskriminasi dalam lulusan dan saat masuk ke jenjang berikutnya. Banyak pihak menentang rencana ini.

Banyak juga yang berkelakar: “Capek-capek Ki Hadjar Dewantara berjuang memeratakan pendidikan. Kenapa kita justru menciptakan kasta pendidikan.” Sebelumnya kita bernafas lega karena sudah tidak ada lagi sekolah unggulan dan favorit, kenapa sekarang malah diciptakan kasta baru lagi.

Saat ini pendidikan benar-benar menjadi ruang kelinci percobaan, jadi sarang proyek tak berkesudahan. Masyarakat seakan dipaksa menerima kebodohan yang dipelihara.

Output Pendidikan Jauh dari Harapan

Dunia pendidikan hanya fokus uji coba berbagai model, berbagai kebijakan. Tapi lihat saja outputnya: Siswa membaca tapi tak paham apa yang dibaca, tak mampu berhitung cermat perkalian-pembagian, siswa berprestasi tak diapresiasi. Tapi siswa joget-joget gemoy jadi konsumsi viral.

Angka pengangguran pun melonjak.

Mengutip data BPS (2025), jumlah pengangguran di Indonesia melesat jadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Angka ini meningkat 83,45 ribu orang, dibanding Februari 2024.

Lulusan SMK menyumbang tingkat pengangguran terbanyak dengan 8 persen. Lulusan SMA menyumbang tingkat pengangguran terbanyak kedua dengan 6,35 persen.

Ouput kampus tak kalah mirisnya: pengangguran terbanyak justru dari tingkat sarjana. Disusul diploma. Lulusan perguruan tinggi (D4, S1, S2, S3), menyumbang tingkat pengangguran sebanyak 6,23 persen.

Mereka yang bekerja pun banyak sekali tak sesuai jurusan atau latar pendidikannya saat kuliah. Yang lebih miris, lantaran minimnya peluang kerja, para sarjana bahkan magister beralih jadi ojol.

Benar-benar di luar bidang pendidikan dan harapan mereka.

Sengkarut pendidikan tak hanya dari sistemnya. Tapi kasus-kasus dugaan korupsi juga menyelimuti.

Terbaru, dugaan korupsi di pusaran chromebook Rp 9,9 triliun. Sampai Kejagung mencekal mantan Menteri Pendidikan Nadiem pergi ke luar negeri. Belum lagi kasus-kasus dugaan jual beli kursi sekolah negeri: mulai belasan sampai puluhan juta.

Banyak yang curiga, sistem Indonesia sengaja didesign untuk dirusak. Diacak-acak. Kebodohan dipelihara, kemiskinan dipelihara. Yang semua hanya untuk kepentingan suara, kelak, saban ajang Pemilu.

Begitu seterusnya.

Yang membuat miris, anggaran pendidikan pun kena pangkas. Kemendikdasmen dari Rp 33,5 triliun jadi Rp 25,47 triliun. Kemendiksaintek dari Rp 56 triliun jadi Rp 42,3 triliun.

Negara seakan abai terhadap pendidikan. Kita lebih memprioritaskan makan yang juga tak luput dari kasus-kasus keracunan dan gagal bayar. Kita lebih fokus pada infratruktur sesaat yang akhirnya mangkrak.

Infrastruktur pun masih jauh dari praktik pemerrataan. Di kota-kota besar, mobil-mobil mewah berjejer menuju laman sekolah. Saat sama, masih ada guru dan siswa yang harus melewati jembatan reot, melintas sungai-sungai untuk menuju sekolah.

Kondisi ini diperparah dengan pemangkasan anggaran. Kalau anggaran pendidikan saja tega dipangkas, konsekuensinya bantuan pendidikan berkurang. Fasilitas sekolah tak bisa upgrade, kualitas guru menurun, pengajaran juga bisa menurun.

Orasi generas emas sangat kontradiktif. Yang ada justru generasi cemas.

Selain anggaran dan kualitas sistem, kita juga masygul dengan integritas pendidikan saat ini.

Pada April 2025, KPK merilis Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2024. Hasilnya, masalah integritas bukan hanya dari sekolah, tapi juga kampus.

Di sekolah, menurut data KPK, 69 persen guru terlambat hadir. 64 persen tidak hadir tanpa alasan. Lalu di kampus, sebanyak 96 persen dosen telat hadir dan 96 persen dosen tidak hadir tanpa alasan.

KPK juga mengungkap perilaku koruptif. Pengadaan tanpa transparansi di sekolah 75 persen, di ka,pus 87 persen. Nepotisme pengadaan di sekolah 40 persen, pungli penerimaan siswa baru 28 persen, penyalahgunaan dana BOS 12 persen, dan pemotongan dana BOS 17 persen.

Di sekolah, 78 persen siswa mencontek dan 98 persen mahasiswa berbuat serupa. Di sekolah praktik plagiarisme 6 persen, di kampus 43 persen.

Proyek Menggirukan Bernama Pendidikan

Silakan amati, kasus-kasus penangkapan pejabat dan kepala daerah seringkali bermuara dari tiga dinas ‘basah’: Dinas PU, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan. Pun kasus korupsi skala nasional yang sering melibatkan sektor pendidikan.

Proyek-proyek pendidikan memang menggiurkan. Dari pengadaan, perawatan sekolah, pembangunan gedung sekolah baru, penerimaan siswa baru, dana BOS, sampai ATK.

Berulang saban tahun. Dari tahun ke tahun.

Di saat sama, masih banyak guru-guru yang tulus, di pedalaman, di daerah, di pelosok, yang mengajar dengan segala perjuangan dan pengorbanan. Berjalan kaki, menyusur sungai, mengaungi jembatan rusak.

Tetapi, gajinya menyedihkan sekali. Masih ada yang hanya ratusan ribu per bulan. Terutama honorer. Itupun dibayar rapel per tiga bulan. Jurang kontadiktif di dunia pendidikan makin menganga.

Selain proyek-proyek, seringnya berganti sistem pendidikan, mencerminkan konsistensi penerapan sistem kapitalisme sekuler. Fokusnya: sekadar mencetak calon pekerja untuk pasar dan tuntutan industri. Yang itupun gagal. Lulus kuliah malah banyak yang bingung mau kerja dimana.

Masih sangat jauh dari mimpi mencetak para ahli ilmu beradab dan berakhlak untuk kemajuan Indonesia.

Survei KPK di atas menyoroti kanker peserta dalam eskosistem pendidikan dan tata kelola pendidikan. Indeks integritas 2024 hanya memiliki skor 69,50 yang masuk kategori korektif.

Dengan kata lain harus ada pembenahan serius dari hulu ke hilir.

Antara lain: harus ada peta jalan panjang sistem pendidikan Indonesia. Harus ada pemerataan pendidikan di perkotaan dan pedesaan. Perlu aturan mengikat seperti GBHN terdahulu, Garis Besar Haluan Negara. Yang konsen terhadap pendidikan. Yang tak bisa diubah dalam jangka menengah dan panjang.

Meski berganti menteri, meski berganti rezim. Lepaskan kepentingan politik dari dunia pendidikan. Dunia pendidikan Indonesia sudah sangat jauh tertinggal dari negara lain.

Padahal, dulu negara lain meminta guru-guru Indonesia mengajari mereka. Malaysia, contohnya. Dulu, ketika sektor pendidikan Indonesia sangat berjaya di Asia Tenggara. Dulu, di era 1960-an, pendidikan Indonesia jauh lebih maju dan berkualitas.

Dulu, para pengambil kebijakan benar-benar merancang pendidikan untuk kemajuan bangsa. Bukan untuk proyek. Bukan untuk kepentingan politik praktis. Bukan untuk coba-coba. Tapi menciptakan ilmuwan yang berakhlak, berkarakter dan berdaya guna demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.

Lantas, kapan masa kejayaan pendidikan Indonesia bisa terulang?

Barangkali, jawabannya, saat pendidikan punya roadmap yang jelas, terukur dan tidak mudah berubah-ubah meski rezim berganti. Saat pendidikan tidak lagi dijadikan proyek-proyek bancaan. Semoga masa itu akan datang kembali.

Shalaalahu alaa Muhammad

Rud Agung

× Image