Home > Kolom

Saya Bukan Santri, Tapi Ikut Sakit Hati

Pesantren telah mencetak insan-insan unggul yang kemudian menjadi tokoh-tokoh nasional dan internasional.
Lirboyo, salah satu pesantren tertua di Indonesia. (Lirboyo.net)
Lirboyo, salah satu pesantren tertua di Indonesia. (Lirboyo.net)

Saat menyaksikan video dari tayangan Trans7 tentang pesantren, saya kaget sekali. Tayangan seperti itu bisa lolos? Narasinya provokatif sekali.

Saya kurang begitu paham dengan dunia pesantren, sebab tak pernah mengenyam pendidikan di sana. Tetapi melihat tayangan Trans7, hati saya ikut terasa sakit.

Catatan sejarah sering kita baca bagaimana pesantren membangun dan menjaga peradaban bangsa ini. Betapa besarnya peran ulama atau kyai dan santri dalam melawan penjajahan dan komunisme.

Bagaimana pesantren mencetak insan-insan unggul yang kemudian menjadi tokoh-tokoh nasional dan internasional. Kok tega melecehkan pesantren dan ulama atau kyai seperti itu?

Awalnya, saya kira hanya sebuah konten dari akun yang ingin viral. Tapi ketika disimak berulang, ternyata itu video dari tayangan Trans7 yang viral di media sosial.

Kok bisa tv nasional meloloskan tayangan begitu? Hati saya bertanya-tanya. Kalau sekadar kelalaian, ini cukup meragukan. Ruang redaksi, apalagi televisi tentu sangat ketat sebelum menayangkan sesuatu.

Tapi kenapa tayangan tersebut bisa lolos pengawasan? Pertanyaan ini tentu saja hanya bisa dijawab insan-insan yang ada di Trans7. Apakah sengaja atau tidak, hati mereka lebih tahu.

Meski misalnya, bahkan video itu diambil dari videografer amatir, pasti tetap ada proses pengawasan. Proses pertimbangan apakah laik tayang atau tidak.

Sebagai seorang yang pernah mengemban Ilmu Komunikasi, sedikit banyak agak tahu bagaimana proses suatu tayangan di televisi boleh disiarkan atau tidak.

Banyak rambu-rambu dalam sebuah penayangan.

Perkara ini bukan hal sepele. Dampak yang dirasakan di sosial media, netizen terpecah belah. Ada yang mengajak memboikot Trans7, ada pula yang mendukung tayangan itu.

Bahkan ikut menghina pesantren dan ulama. Harga diri pesantren dan ulama diinjak-injak sedemikian rupa di sosial media. Kebanyakan dari akun privat. Saya jadi takut: kenapa bangsa ini begini?

Tega sekali mereka menghina tokoh agama dan lembaga pendidikan keagamaan sekelas pesantren. Saya takut hal ini sebuah gerakan sistemik.

Dampaknya bukan saja bagi kalangan pesantren, tapi juga bagi umat Muslim dan bangsa ini secara umum. Adab kita di ruang terbuka, di sosial media, begitu lancang menghina pesantren dan ulamanya.

Ini bukan soal pesantren saja. Tapi ini sudah merambah pada akhlak kolektif kita.

Kenapa bangsa ini begitu mudah menghina dina ulama? Ulama tetap perlu dikritik, tapi kritikan sangat berbeda dengan pelecehan dan penghinaan.

Dan tayangan itu, beserta akun-akun pendukungnya jelas sekali sudah menginjak harga diri pesantren dan ulama. Jangan sampai hal ini bisa mengular lebih besar dan menganggu stabilitas harmonisasi nasional.

Untuk meredam amarah publik, sebaiknya pihak aparat segera menuntaskan perkara ini. Apalagi PBNU telah melaporkannya.

Ini bukan saja tentang harga diri pesantren dan ulamanya, tapi ini tentang akhlak kolektif dan keharmonisan bangsa. Yang tentu saja tak cukup dengan kata maaf.

Semoga aparat dan pihak terkait bisa segera meredam situasi ini.

Mengusut pihak terkait agar mempertanggung jawabkannya di hadapan hukum. Usut juga siapa aktor di balik lolosnya tayangan ini.

Bagi kalangan pesantren semoga tetap menjaga kesejukan jiwa, tidak terpancing narasi-narasi provokatif.

Satu hal yang patut kita ingat, huruf Alif sampai Ya, kita tahu dari para ulama. Ayat-ayat Al Quran dan Hadits, kita tahu juga dari mereka.

Meski tidak melulu kita tahu ilmu agama dari pesantren. Tapi guru-guru saat kecil kita belajar mengaji, mereka lahir dari dunia pesantren.

Sebagai Muslim, kita semua punya kewajiban menjaga harga diri pesantren dan ulamanya.

Termasuk menjaga marwah lembaga pendidikan keagamaan manapun. Mengkritik yang perlu dikritik, meluruskan yang perlu diluruskan.

Tapi tidak menghina, merendahkan, atau melecehkan. Apalagi sampai tega membuat narasi jahat yang berkebalikan dengan kenyataan.

Kita semua, bangsa ini, punya hutang budi besar pada pesantren dan para ulamanya.

Prabowo, penikmat sejarah

Image
Republika Network

Sekitarkaltim.ID -

× Image