Genosida Zionis: Pemukim Israel Tingkatkan Serangan di Tepi Barat

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Zionis Israel masih terus melakukan genosida terhadap warga Palestina. Bahkan, desa-desa Palestina di Ramallah timur menghadapi peningkatan tajam serangan pemukim Israel.
Serangan ini menurut penduduk dan kelompok hak asasi manusia termasuk bagian dari kampanye sistematis untuk menggusur paksa masyarakat lokal di bawah perlindungan pasukan pendudukan Israel.
Dikenal karena lahan pertanian dan padang rumputnya yang luas, desa-desa ini telah menjadi target utama para pemukim, terutama sejak Oktober 2023.
Eskalasi para pemukim telah mengubah daerah yang sebelumnya tenang menjadi titik api kekerasan.
Menurut Komisi Perlawanan Tembok dan Permukiman, dilaporkan Days of Palestine, Jumat (8/9/2025), sembilan warga Palestina telah dibunuh pemukim di Tepi Barat tahun ini. Tujuh di antaranya dari Ramallah timur.
Pada bulan Juli saja, tiga orang terbunuh di wilayah itu, termasuk dua pemuda dari al-Mazra'a ash-Sharqiya yang tewas saat mempertahankan kota terdekat, Sinjil.
Banyak penduduk desa-desa ini yang memiliki kewarganegaraan ganda, terutama Amerika, tetapi hal itu tidak menghalangi kekerasan pemukim.
“Para pemukim menyerang tanpa rasa takut atau mempertimbangkan kewarganegaraan asing,” kata anggota dewan lokal berkewargaan negara AS, Abdul-Samad Abdul-Aziz.
"Bahkan setelah seorang warga negara Amerika, Saif Allah Maslat, terbunuh, AS hanya mengeluarkan pernyataan samar tanpa mengutuk kejahatan tersebut."
Abdul-Aziz meyakini Amerika Serikat terlibat, dengan mengatakan bahwa duta besar saat ini lebih ekstrem daripada menteri-menteri sayap kanan Israel.
Ia juga melaporkan para pemukim menyerang kawasan industri kota tersebut, yang dihuni 800 pekerja. Para pemukim berupaya membakar pabrik-pabrik dan mengintimidasi investor Palestina, terutama yang memiliki hubungan dengan pihak asing.
Kekerasan tersebut diyakini didorong kelompok-kelompok pemukim ekstremis seperti "Hilltop Youth", yang aktivitasnya telah meningkat sejak Oktober.
Kelompok ini dikenal sebagai gerakan ekstremis pemukim Israel yang menduduki puncak bukit di Tepi Barat dan kerap menyerang warga Palestina serta merampas harta benda mereka.
Abdullah Abu Rahma dari Komisi Perlawanan mengatakan keberhasilan mereka dalam menggusur 33 komunitas Badui di daerah tersebut telah memicu serangan lebih lanjut terhadap desa-desa terdekat.
Peneliti permukiman Ahmad Hanayti yakin serangan-serangan itu terencana.
"Para pemukim menargetkan desa-desa yang penduduknya lebih mungkin beremigrasi," ujarnya, seraya menambahkan, "Ini bukan acak; ini tekanan strategis."
Hanayti mencatat setelah mengusir komunitas Badui yang lebih kecil melalui kekerasan dan pelecehan, para pemukim sekarang berfokus pada desa-desa yang lebih padat penduduknya, menggunakan rasa takut sebagai senjata untuk memperluas kehadiran mereka.
“Ini bukan tindakan yang terisolasi,” tegasnya, seraya menambahkan, “Para pemukim adalah bagian dari sistem yang lebih luas yang bekerja sama dengan pasukan pendudukan untuk menggusur warga Palestina dan mengambil alih tanah mereka.”
Meskipun ada tekanan dari Israel, warga tetap teguh pada pendirian mereka: "Kami tidak akan pergi. Ini tanah kami, dan kami akan mempertahankannya."
Kabinet Israel Akan Duduki Gaza dan Usir Warga
Kabinet Keamanan Israel pada hari Jumat menyetujui rencana komprehensif untuk menduduki Kota Gaza dan mengusir penduduknya sebagai persiapan untuk memaksakan realitas pemukiman militer baru.
Menurut sumber-sumber Israel, Kabinet telah memberi wewenang kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yisrael Katz untuk memberi persetujuan akhir terhadap rencana militer dan memulai operasi “pembersihan” ekstensif yang menargetkan penduduk di dalam kota.
Pernyataan dari kantor Netanyahu mengungkapkan rencana tersebut bertujuan menerapkan kontrol keamanan penuh Israel atas Kota Gaza. Rencana itu menguraikan niat yang jelas untuk mengosongkan Kota Gaza dari penduduknya.
Setelah itu, pengepungan militer Israel akan diberlakukan secara penuh, dan siapa pun yang tersisa di kota tersebut akan dianggap sebagai “target militer.”
Organisasi-organisasi hak asasi manusia memperingatkan rencana ini menandakan pemindahan paksa permanen, menandai preseden sejarah berbahaya yang dapat menjadi "Nakba baru" bagi rakyat Palestina.
Sengketa Internal dan Kecaman Internasional
Meskipun disetujui, rapat Kabinet diwarnai oleh perbedaan pendapat internal yang intens, terutama dari Kepala Staf Herzi Halevi (disebut sebagai Eyal Zamir), yang memperingatkan bahwa penyerbuan Kota Gaza akan membahayakan baik tentara maupun tahanan Israel.
Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong memperingatkan bahwa kendali Israel atas Gaza merupakan pelanggaran hukum internasional yang nyata, dan menyerukan pembukaan segera koridor kemanusiaan.
Tiongkok juga mengecam keputusan Israel untuk menduduki dan menggusur penduduk Gaza, sementara Kementerian Luar Negeri Turki mengecam keputusan perang baru Israel di tengah genosida yang sedang berlangsung.
Adapun Hamas menanggapi dengan mengatakan rencana Israel itu bagian kudeta terhadap negosiasi yang sedang berlangsung. Hamas meyakini Netanyahu berusaha melayani kepentingan politik pribadi dan melanjutkan proyek pemindahan paksa dan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza.
Dalam perkembangannya, keluarga-keluarga tahanan Israel yang ditahan di Gaza mengecam keras pemerintah, menuduhnya “menelan mentah-mentah putra-putra mereka.”
Mereka menilai keputusan Kabinet tersebut "menipu dan tak termaafkan," dan mengklaim keputusan tersebut sebagai langkah gegabah yang memperumit krisis dan mengurangi peluang untuk mengamankan kepulangan orang-orang yang mereka cintai.
Mereka mendesak masyarakat Israel untuk segera mengambil tindakan guna menghentikan apa yang mereka sebut sebagai "momentum berbahaya" pemerintah.
Sekaligus menekankan bahwa satu-satunya solusi realistis mencapai kesepakatan pertukaran tahanan yang komprehensif, bukan terjerumus ke dalam perang dan kehancuran lebih lanjut.
Mila