Tangkap Serampangan saat Aksi Unras, Anak-Anak di Bawah Umur Alami Trauma

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Aksi serentak Unras atau unjuk rasa di berbagai daerah, telah memakan korban jiwa sebanyak 10 orang.
Mereka yang meninggal dunia berasal dari berbagai daerah dan lintas profesi, mulai driver ojek online, mahasiswa, sampai staf DPRD. Selain banyaknya korban jiwa, banyak juga masyarakat yang ditangkap.
Namun, dalam proses penangkapan itu, polisi dinilai terburu-buru dan bertindak gegabah.
Tim Hukum Suara Aksi (THSA) mengungkap, anak-anak yang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang Polda Jawa Tengah selama menangani unjuk rasa di Semarang 29-31 Agustus 2025 mengalami trauma.
THSA mencatat, dari 400-an orang yang ditangkap Polda Jateng pada periode itu, sebagian besar jutsru korban salah tangkap.
Anggota THSA, Fandy Achmad Chairuddin, mengungkap, sebagian dari korban salah tangkap oleh Polda Jateng adalah anak-anak yang masih berstatus sebagai pelajar.
Fandy memastikan, mereka secara serampangan dicokok hanya karena tengah melintas dan nongkrong di sekitar Jalan Pahlawan.
Ia menegaskan, setelah ditangkap, anak-anak ditahan lebih dari 1×24 jam tanpa ada pendampingan hukum. Hal itu memberikan dampak pada kondisi psikis mereka.
"Ada salah satu korban salah tangkap di bawah umur, saat ditemui tim hukum, memperlihatkan perilaku takut, linglung, ngomong-ngomong sendiri, dan tertekan di ruangan Polda Jawa Tengah," ungkap Fandy saat memberikan keterangan pers, Rabu (3/9/2025).
Fandy menambahkan, sebelumnya anak tersebut tidak bersikap demikian.
"Dari hasil pemeriksaan psikolog, anak ini terlihat linglung, tidak nyambung, dan saat ditanyai dia takut salah menjawab karena takut dipukuli petugas. Ada dugaan dia mengalami kekerasan saat ditangkap kepolisian," ujarnya.
Anggota THSA lain, Rio Agam Prasetya, menyoroti anak-anak yang ditangkap dan dibebaskan, tapi dikenakan wajib lapor sebanyak dua kali dalam sepekan.
Selain tak memiliki pijakan hukum, Rio menilai hal itu menyulitkan anak dan keluarganya. Sebab tak semuanya yang ditangkap merupakan warga Kota Semarang.
"Anak-anak korban penangkapan juga masih sangat trauma; hanya bertemu polisi saja takut, apalagi harus ke Mapolda Jateng," kata Rio.
Ia menambahkan, sejumlah keluarga anak-anak terkait telah meminta agar wajib lapor dilaksanakan di Polres. Namun permintaan tersebut ditolak Polda Jateng.
"Hal ini juga mengganggu aktivitas sehari-hari dan pendidikan anak apabila harus menyediakan waktu wajib lapor dua kali dalam seminggu," ucapnya.
Anggota THSA lainnya, Kahar Muamalsyah, menyoroti proses pendataan dan wajib lapor yang diterapkan Polda Jateng kepada mereka yang sempat ditangkap dan kemudian dibebaskan.
"Pendataan itu tidak ada dalam KUHAP, yang ada adalah pemeriksaan. Pemeriksaan berhak didampingi oleh penasihat hukum atau advokat, tapi kenyataannya sampai terakhir pun advokat tidak diizinkan untuk mengakses," ujarnya.
Kahar, yang juga koordinator Jateng Corruption Watch, mengatakan, wajib lapor biasanya dikenakan kepada tahanan kota atau tersangka yang ditangghkan penahanannya.
"Sedangkan anak-anak (yang sempat ditangkap Polda Jateng) ini, tidak ada status apapun. Mereka disuruh pulang; apakah mereka ini saksi atau tersangka, itu tidak pernah disampaikan. Makanya tidak dasar hukum jelas kenapa mereka harus wajib lapor," kata Kahar.
Ia menambahkan, kalaupun yang dibebaskan berstatus sebagai saksi, kepolisian harus menjelaskan status kasusnya: penyelidikan atau penyidikan.
Termasuk apakah sudah dilakukan gelar perkara atau belum. Menurutnya, semua hal itu harus dijelaskan kepada masyarakat.
"Itu hak masyarakat mengetahui bahwa kinerja kepolisian itu transparan, tidak sembunyi-sembunyi, dan tidak main belakang," ujar Kahar.
Sepengetahuan THSA, mereka yang tertangkap dan sudah dibebaskan dikenakan wajib lapor sebanyak dua kali dalam sepekan.
Belum diketahui sampai berapa lama mereka diharuskan melakukan wajib lapor.
Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto mengungkapkan, pihaknya menangkap 327 orang selama peristiwa kerusuhan di Kota Semarang pada 29-30 Agustus 2025.
Republika