Mahkamah Kehormatan Dewan Diminta Follow Up Penonaktifan Sahroni Cs

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Desakan publik mendesak pemecatan sejumlah legislator Senayan yang dianggap ‘toxic’, mendapat respon dari pimpinan DPR RI.
Mahkamah Kehormatan Dewan pun diminta untuk menindaklanjuti penonaktifan Sahroni dan sejumlah anggota parlemen terkait.
Follow up dilakukan agar penonaktifan itu bisa segera diproses sebagaimana mestinya. Permintaan itu disampaikan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad.
Dasco mengklaim, saat ini ada sejumlah anggota DPR yang telah dinonaktifkan partai politiknya masing-masing. Sebagai tindak lanjut, pimpinan DPR telah menulis surat kepada pimpinan MKD untuk berkoordinasi dengan mahkamah partai politik yang bersangkutan.
"Itu untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan," kata Dasco, saat konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jumat (5/9/2025).
Ia menjelaskan, penonaktifan yang dilakukan sejauh ini baru berdasarkan keputusan partai masing-masing anggota yang dinilai bermasalah.
Untuk itu, perlu tindak lanjut dari MKD agar penonaktifan itu bisa ditindaklanjuti.
"Karena penonaktifan itu kan belum dengan proses (MKD). Nah ini sudah (sedang) diproses. Kemudian kita minta MKD juga berkoordinasi dengan mahkamah partai masing-masing untuk melakukan proses sesuai dengan kebutuhan yang ada," jelasnya.
Meski demikian, ia menyatakan, anggota DPR yang telah dinonaktifkan tidak akan menerima hak keuangannya. Hal itu telah sesuai keputusan rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi yang digelar pada Kamis (4/9/2025).
Diketahui, terdapat sejumlah anggota DPR yang telah dinonaktifkan partainya masing-masing karena dinilai tidak peka dengan kondisi masyarakat.
Anggota DPR itu adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai Nasdem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN, serta Adies Kadir dari Partai Golkar.
Sejauh ini tinggal PDIP yang belum menjawab respon publik untuk memecat kadernya yang dinilai meresahkan masyarakat.
Perludem Cium Kejanggalan Penonaktifan Sahroni Cs
Sebelumnya, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini mempertanyakan istilah penonaktifan yang digunakan terhadap anggota DPR RI dinilai bermasalah.
Istilah nonatif, menurut Perludem, tidak ada diaturan, termasuk dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
"Coba kita cermati Undang-Undang MD3, Undang-Undang nomor 17 tahun 2014. Disitu sebenarnya istilah yang digunakan nonaktif itu istilah yang sangat politis jadi tak termasuk istilah hukum ya," kata Titi saat dikonfirmasi pada Selasa (2/9/2025).
Berdasarkan Pasal 239 UU MD3 terdapat tiga istilah yaitu pemberhentian antarwaktu, pergantian antarwaktu, dan pemberhentian sementara.
Titi merasa para anggota DPR yang dinonaktifkan lebih layak dikenakan pemberhentian antar waktu (PAW). Berikutnya pemberhentian antar waktu akan dilanjutkan dengan penggantian antar waktu.
"Pemberhentian antar waktu itu hanya bisa dilakukan kalau dia mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan. Nah diberhentikan itu banyak faktor, karena melanggar mode etik sumpah janji jabatan, tidak mengikuti tugas-tugas sebagai anggota DPR tiga bulan berturut-turut," ujar Titi.
Titi juga menerangkan istilah pemberhentian sementara cuma digunakan bagi anggota DPR yang melakukan tindak pidana.
Dalam kondisi demikian, dilakukan pemberhentian sementara yang berstatus sebagai terdakwa.
Apalagi berkaca pada UU MD3, istilah nonaktif secara spesifik cuma ditujukan bagi pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
“Nonaktif itu hanya muncul satu kali di Undang-Undang MD3, dan itu spesifik hanya untuk pimpinan MKD, yang diadukan ke MKD sehingga kemudian status pimpinannya itu di nonaktifkan sementara," ujar Titi.
Republika