Julaibib RA: Sahabat Nabi Tak Dipandang Dunia, Tapi Dipilih Surga

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Nama Sayyidina Julaibib Radiallahu Anhu (RA), mungkin tak semasyhur kisah Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, atau kisah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Namun, di balik sosoknya yang sederhana dan tampak tak berdaya, tersimpan kisah luar biasa tentang keimanan, ketulusan, dan cinta sejati kepada Rasulullah.
Dalam catatan Shirah, Sayyidina Julaibib RA dikenal sebagai seorang Sahabat miskin yang tidak diketahui nasabnya, tak memiliki keluarga, harta, atau kedudukan. Tapi Rasulullah justru mengangkat derajatnya dengan kasih sayang dan doa yang menembus langit.
Sejak lahir, beliau tidak mengetahui siapa kedua orangtuanya dan tidak mengetahui nasabnya. Bagi masyarakat di zaman itu orang yang tidak memiliki nasab jelas sebagai suatu aib.
Sayyidina Julaibib memiliki tampilan fisik bisa dibilang buruk rupa, sehingga karena buruk rupanya jarang ada orang mau mendekatinya.
Meski begitu, beliau orang yang sangat bertaqwa kepada Allah dan Rasulnya, juga salah satu prajurit perangnya Nabi Muhammad. Walau banyak orang mengucilkan tapi tidak dengan Nabi.
Sahabat yang Tak Dikenal Asal Usulnya
Menurut riwayat dalam Musnad Ahmad dan penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, Sayyidina Julaibib RA adalah penduduk Madinah (Yatsrib) yang hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Beliau tidak diketahui siapa ayah dan ibunya, bahkan suku mana ia berasal.
Di tengah masyarakat Arab kala itu, keturunan dan nasab adalah kebanggaan besar. Maka, seseorang tanpa suku dianggap rendah. Wajah beliau hitam, tubuhnya pendek dan bungkuk, dan pakaiannya yang lusuh membuatnya sering dijauhi.
Bahkan Abu Barzah Al-Aslami, salah satu tokoh Bani Aslam, pernah berkata:
“Jangan biarkan Julaibib masuk ke antara kita. Jika dia berani, aku akan mengusirnya.”
Namun di mata Rasulullah, kehormatan seseorang bukan pada rupa dan keturunan, tetapi pada iman dan akhlaknya.
Kasih Sayang Rasulullah kepada Julaibib RA
Suatu hari Rasulullah menegur Julaibib dengan lembut, “Wahai Julaibib, tidakkah engkau ingin menikah?”
Dengan rendah hati, Julaibib menjawab, “Siapa yang mau menikahkan putrinya dengan orang seperti aku, ya Rasulullah?”
Tiga kali Nabi menanyakan hal sama dalam tiga hari berbeda. Hingga akhirnya, Rasulullah menggandeng tangan Julaibib dan membawanya ke rumah salah satu pemimpin Anshar.
Nabi berkata, “Aku ingin meminang putri kalian.”
Sang ayah dan ibu begitu bahagia karena mengira Nabi lah calon menantunya.
Namun Rasulullah menjelaskan, “Bukan untukku. Aku pinang putrimu untuk Julaibib.”
Kaget dan berat hati, sang orang tua sempat menolak. Namun putri mereka yang salehah berkata tegas, “Apakah kalian akan menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, aku ridha jika beliau yang memintanya.”
Gadis itu kemudian membaca QS. Al-Ahzab ayat 36. “Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin dan mukminah, bila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka masih memiliki pilihan lain atas urusan mereka.”
Doa Rasulullah pun mengiringi sang gadis:
“Ya Allah, limpahkanlah kebaikan kepadanya dengan kelimpahan yang penuh berkah. Jangan Engkau jadikan hidupnya payah dan bermasalah.”
Pejuang yang Syahid di Medan Perang
Tak lama usai pernikahan, Sayyidina Julaibib ikut berperang bersama Rasulullah. Beliau tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan segera diperoleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di jalan-Nya.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah, sangat memberi perhatian untuk para Sahabatnya usai peperangan. Biasanya Rasul menanyakan siapa saja yang syahid dalam peperangan itu.
Dalam salah satu pertempuran (diriwayatkan Sunan An-Nasa’i dan Musnad Ahmad), setelah peperangan usai, Nabi bertanya kepada para Sahabat:
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”
Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.”
Rasulullah kemudian berkata lirih, “Tetapi aku kehilangan Julaibib.”
Para Sahabat segera mencari, dan mereka menemukan Julaibib gugur di antara tujuh musuh yang telah ia kalahkan. Rasulullah mengangkat jasadnya dengan tangan beliau, memeluknya dan berkata penuh haru:
“Dia bagian dariku, dan aku bagian darinya.”
Sayyidina Julaibib dimakamkan dengan tangan Nabi sendiri, tanpa kemewahan, tapi dengan kemuliaan yang tak ternilai di sisi Allah.
Kisah Julaibib RA menyimpan pesan yang begitu dalam bagi umat Islam modern saat ini: Nilai seseorang bukan dari rupa dan harta, tetapi dari keimanan dan ketakwaannya kepada Allah.
Rasulullah pun menghargai manusia dari sisi spiritual, bukan status sosial. Cinta sejati adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana ditunjukkan istri Julaibib yang taat kepada perintah Nabi.
Selain itu, kesederhanaan dan kerendahan hati bisa mengantarkan pada derajat mulia di sisi Allah. Pengorbanan di jalan Allah adalah puncak kehormatan seorang mukmin.
Julaibib RA, Sosok Kecil yang Dimuliakan Allah
Dalam pandangan dunia, Julaibib hanya seorang miskin tak berdaya. Tapi di pandangan Allah, beliau pahlawan dan kekasih surga.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa ukuran kemuliaan bukanlah kekayaan, nasab, atau jabatan, melainkan iman, amal saleh, dan keteguhan hati dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam HR. Muslim. “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.”
Taufik Hidayat, diolah dengan bantuan AI