Setiap Hari Israel Bunuh Dua Petugas Medis, Setiap Tiga Hari Bunuh Jurnalis

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Pendudukan Israel terus melakukan kejahatan sistematis terhadap warga sipil dan tenaga kemanusiaan serta medis.
Serangan dan pembunuhan zionis sebagai bagian dari genosida yang sedang berlangsung terhadap warga Palestina terus dilakukan sejak 8 Oktober 2023. Sampai kini, kebiadaban itu tidak berhenti. Genosida yang dilakukan penjajah Israel di Gaza telah di luar ambang batas kemanusiaan.
Data terbaru, yang dianggap "mengerikan" oleh Kantor Media Pemerintah Gaza, yang dilansir Days of Palestine pada Rabu (8/10/2025), menunjukkan Israel mengamputasi 13 anggota tubuh warga Palestina setiap dua hari dan membunuh rata-rata dua tenaga medis setiap hari.
Menurut data tersebut, perempuan dan anak-anak merupakan lebih dari separuh korban.
Kantor Media menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Israel melukai lebih dari 230 warga Palestina setiap hari dan membunuh satu jurnalis setiap tiga hari serta satu petugas pertahanan sipil setiap lima hari.
Israel juga menyebabkan enam orang lumpuh atau kehilangan penglihatan setiap dua hari, di tengah serangan berkelanjutan terhadap fasilitas kesehatan dan infrastruktur sipil di wilayah kantong yang terkepung tersebut.
Kantor tersebut mencatat Israel melancarkan lebih dari satu serangan militer per hari terhadap sistem kesehatan, termasuk rumah sakit, ambulans, dan pusat bantuan.
Akibatnya menyebabkan hampir runtuhnya sektor kesehatan, yang sekarang beroperasi kurang dari 15% dari kapasitasnya.
Angka-angka ini indikator yang jelas dari tindakan genosida sistematis, sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
Yakni, menggambarkan genosida sebagai “tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama.”
Penargetan berulang kali terhadap pekerja medis dan kemanusiaan menunjukkan upaya yang disengaja oleh Israel untuk menghancurkan fondasi kehidupan dan kelangsungan hidup rakyat Palestina.
Termasuk pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa Keempat, yang mewajibkan kekuatan pendudukan untuk melindungi personel dan fasilitas medis selama masa konflik.
Lebih jauh lagi, praktik amputasi sistematis dan penargetan terhadap anak-anak, wanita, dan mereka yang terluka bagian dari pola perilaku yang tersebar luas yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma dari Mahkamah Kriminal Internasional.
Penjajah zionis Israel tanpa rasa kemanusiaan tega mengkriminalisasi tindakan penyiksaan, cedera tubuh yang serius, dan perlakuan tidak manusiawi.
Selain itu, blokade yang sedang berlangsung di Gaza, yang telah berlangsung selama lebih dari 17 tahun, merupakan bentuk hukuman kolektif yang dilarang berdasarkan Pasal 33 Konvensi Jenewa Keempat.
Blokade ini membatasi masuknya makanan, obat-obatan, dan bahan bakar, yang menyebabkan kelaparan yang telah merenggut nyawa ratusan warga sipil, termasuk 154 anak-anak sepanjang tahun ini saja.
Meskipun ada banyak sekali bukti dan laporan lapangan yang konsisten, masyarakat internasional masih belum memiliki sikap tegas dan efektif terhadap kejahatan ini.
Sehingga melanggengkan kebijakan impunitas yang telah dinikmati Israel selama beberapa dekade.
MSF: Infrastruktur Kesehatan Gaza Makin Parah
Organisasi kemanusiaan medis internasional Médecins Sans Frontières (Dokter Lintas Batas) telah memperingatkan infrastruktur layanan kesehatan di Jalur Gaza telah mengalami kerusakan parah akibat genosida Israel yang sedang berlangsung, yang dimulai pada 7 Oktober 2023.
Dalam pernyataan yang dirilis pada hari Rabu, Pejabat MSF, Aitor Zabal-Gogía Zekua, mengatakan bahwa para tenaga medis di Gaza mengalami kesulitan yang sama seperti penduduk sipil lainnya dalam apa yang ia gambarkan sebagai "genosida yang berkelanjutan."
"Kami telah kehilangan 15 rekan kerja kami selama dua tahun terakhir. Ini sangat menghancurkan bagi kami," kata Zabal-Gogia.
Ia menjelaskan sistem kesehatan di Gaza telah hancur total, dengan beberapa rumah sakit tidak berfungsi sama sekali dan yang lainnya hancur sebagian dan tidak dapat diakses oleh pasien.
“Sedikit rumah sakit yang masih beroperasi terpaksa beroperasi di luar fasilitas utama mereka dan benar-benar kehabisan tenaga,” tambahnya.
Koordinator tanggap darurat MSF mencatat bahwa rumah sakit kesulitan menghasilkan listrik, mengakses air bersih, serta mengamankan klorin, bahan bakar, dan makanan bagi pasien.
Ia menggambarkan situasi tenaga kesehatan sebagai "sangat melelahkan," karena menghadapi serangan terus-menerus dan kondisi kerja yang memburuk.
Pada 26 September, MSF mengumumkan penangguhan operasinya di Kota Gaza karena meningkatnya pemboman Israel.
“Kami tidak punya pilihan selain menghentikan kegiatan kami setelah pasukan Israel mengepung klinik kami,” kata Jacob Grange, koordinator darurat MSF, dalam pernyataan sebelumnya.
Selama 733 hari berturut-turut, pasukan pendudukan Israel terus melancarkan operasi militer berskala besar di Jalur Gaza.
Operasi militer dilakukan lewat serangan udara dan artileri yang meluas dengan menargetkan wilayah sipil. Akibatnya menewaskan ribuan orang, dan memperdalam bencana kemanusiaan.
MSF menegaskan kembali seruannya untuk perlindungan fasilitas dan personel medis. Sekaligus menekankan bahwa akses ke perawatan kesehatan sebagai hak kemanusiaan mendasar yang harus ditegakkan bahkan di masa konflik.
Pillay Kecam Rencana Trump: Bertentangan Deklarasi Mahkamah Internasional
Di sisi lain, Ketua Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB mengenai Wilayah Pendudukan Palestina, Navi Pillay, yang juga mantan hakim Afrika Selatan mengkritik tajam rencana 20 poin baru Presiden AS Donald Trump mengenai Gaza.
Ia mengecam karena mengecualikan warga Palestina dari pemerintahan transisi dan menegaskan kembali bahwa keputusan PBB mengenai genosida Israel di Gaza tetap tidak berubah.
Pillay (84), yang pernah menjabat sebagai Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan hakim di Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR) dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC), mengatakan rencana Trump secara langsung melanggar hukum internasional dan putusan PBB.
"Rencana ini bertentangan langsung dengan deklarasi Mahkamah Internasional," ujarnya, merujuk pendapat penasihat ICJ yang dikeluarkan 19 Juli 2024, yang menyatakan pendudukan Israel atas Gaza dan Tepi Barat adalah melanggar hukum dan harus diakhiri tanpa syarat.
Ia mencatat Israel telah mengabaikan resolusi Majelis Umum PBB tanggal 18 September 2024, yang menyerukannya untuk mematuhi putusan ICJ dalam waktu satu tahun.
Pillay, yang memimpin komisi penyelidikan PBB yang bulan lalu menyimpulkan bahwa Israel melakukan genosida di Gaza, menyatakan dalam sebuah wawancara dengan Middle East Eye pada hari Senin bahwa "kesimpulan komisi tersebut masih berlaku."
"Israel telah melakukan genosida dan terus melakukannya," ujarnya dalam podcast Expert Witness.
"Hanya karena ada seruan untuk genosida sekarang, bukan berarti temuan genosida akan hilang begitu saja," imbuh Komisioner PBB ini.
Pekan lalu, Trump meluncurkan rencana "perdamaian" yang kontroversial bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Proposal tersebut, secara luas dikecam sebagai "pemikiran kolonial", sangat menekankan kekhawatiran keamanan Israel dan membayangkan komite transisi yang dipimpin Trump sendiri dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair untuk mengawasi masa depan Gaza.
Pillay mengkritik usulan pengaturan transisi yang sepenuhnya mengesampingkan Palestina.
"Yang terpenting, Palestina bukan bagian dari ini. Mereka bukan hanya harus menjadi bagian, tetapi juga harus menjadi pengendali karena mereka mampu memerintah diri sendiri," ujarnya.
Dengan mengizinkan penjajah Israel mempertahankan "kendali keamanan yang signifikan" atas Gaza, ia memperingatkan, rencana tersebut akan "membatasi kemerdekaan Gaza dan pada akhirnya kedaulatan rakyat Palestina."
Sejak pengumuman rencana tersebut, pasukan Israel terus melanjutkan kampanye militer mereka di Gaza, menewaskan lebih dari seratus orang dalam beberapa hari terakhir.
Selama dua tahun terakhir, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina, hampir setengahnya perempuan dan anak-anak, menghancurkan sebagian besar rumah dan infrastruktur di wilayah kantong tersebut; dan membuat hampir seluruh dari 2,2 juta penduduknya mengungsi.
Pillay menekankan bahwa setiap proses politik yang kredibel harus melibatkan rakyat Palestina. "Rencana ini harus melibatkan rakyat Palestina. Tidak ada cara lain, dan seharusnya tidak ada cara lain," ujarnya.
Pernyataannya muncul saat 36 pakar hak asasi manusia PBB juga mengkritik rencana Trump karena gagal memastikan diakhirinya pendudukan Israel dan mengabaikan hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri, yang diabadikan dalam hukum internasional.
Komisi Pillay, yang beranggotakan pengacara hak asasi manusia Australia Chris Sidoti dan mantan Pelapor Khusus PBB Miloon Kothari, menerbitkan temuannya pada 16 September.
Komisi menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan empat dari lima tindakan yang dilarang berdasarkan Konvensi Genosida 1948. Bahwa para pemimpin Israel bertindak dengan niat menghancurkan warga Palestina di Gaza sebagai kelompok nasional dan etnis.
Laporan ini menggemakan temuan-temuan organisasi hak asasi manusia Palestina, Israel, dan internasional, tetapi tetap menjadi putusan hukum paling otoritatif yang dikeluarkan badan PBB hingga saat ini.
Komisi tersebut mendasarkan kesimpulannya pada investigasi ekstensif, menggunakan metode yang serupa dengan yang digunakan Mahkamah Internasional, yang saat ini sedang menangani kasus yang diajukan oleh Afrika Selatan yang menuduh Israel melakukan genosida.
Mila