Apresiasi untuk Menlu Bu Retno
Membuka tulisan ini, kita haturkan selamat atas keberanian Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
Yang begitu berani melakukan walk out atau keluar ruangan saat Dubes Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Gilad Erdan, bersuara di debat terbuka Dewan Keamanan PBB ihwal Palestina.
Apresiasi yang tinggi untuk Menlu Bu Retno, terbukti telah berkali-kali menyuarakan aspirasi masyarakat Indonesia untuk mendukung kemerdekaan Palestina.
Pada Selasa (23/1/2024), bahkan Menlu Retno dan ketua delegasi sejumlah negara lain langsung keluar ruangan saat wakil tetap Israel menyampaikan pernyataannya.
Sidang Dewan Keamanan ihwal Palestina-Israel dilakukan di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat, pada Selasa waktu setempat.
Di pertemuan itu, Menlu Retno menyampaikan penentangan keras Indonesia terhadap pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menolak pembentukan Palestina. Indonesia, menurut Retno, menegaskan tujuan akhir Israel itu jelas untuk menghapus Palestina dari peta dunia.
Karena itu, Indonesia tegas menentang pernyataan Benjamin Netanyahu.
Indonesia menyerukan gencatan senjata permanen. Selain itu Palestina harus segera diberi status keanggotaan penuh di PBB. Indonesia juga menuntut Israel bertanggungjawab atas genosida di Gaza.
Ketegasan Indonesia, yang disampaikan Menlu Retno di Sidang DK PBB, memantik rasa haru dan bangga. Beliau dengan lantang menyuarakan apa yang dirasakan masyarakat Indonesia terhadap genosida di Gaza.
Sejauh ini sejumlah negara tengah berupaya menyeret Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) terkait kekejian genosida di Gaza, Palestina.
Sedikitnya ada empat negara yang mengambil langkah taktis membawa Tel Aviv ke meja hijau. Yakni, Afrika Selatan, Bolivia, Chili, dan Malaysia. Afsel menjadi negara pertama yang menyeret Tel Aviv.
Indonesia, secara moril dan politis tentu saja mendukung langkah tegas tersebut. Namun, secara hukum bangsa kita tidak bisa ikut menggugat lantaran dasar gugatan itu mengacu Konvensi Genosida. Adapun Indonesia bukan negara yang meratifikasi konvensi terkait.
Sedangkan Afrika Selatan telah mengajukan tuntutan hukum terhadap Israel di Pengadilan Internasional. Tuntutan itu berisi penilaian bahwa Israel telah melakukan kejahatan genosida terhadap warga Palestina di Gaza setelah hampir tiga bulan pemboman tanpa henti.
Dalam permohonannya ke pengadilan per Jumat (19/12/2023), Afrika Selatan membuktikan jika tindakan Israel di Gaza sebagai genosida karena telah menghancurkan sebagian besar kelompok nasional, ras dan etnis Palestina. Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa membandingkan kejahatan Israel di Gaza dan Tepi Barat dengan rezim apartheid di masa lalu.
PBB Tak Berdaya
Meski Afsel dan sejumlah negara telah menyeret Israel ke Mahkamah Internasional, sejumlah pihak memprediksi keputusan pengadilan internasional bakal diabaikan. Hal itu bukan tanpa alasan. Selama ini beberapa kali Resolusi PBB untuk gencatan senjata diabaikan Israel.
Negeri Zionis tetap saja melakukan genosida terhadap warga Palestina. Bahkan, bantuan kemanusiaan yang datang dari pelbagai negara ditahan di pintu perbatasan. Alasannya, Israel tidak mengizinkan. Akibatnya, warga Palestina menderita kelaparan. Krisis kemanusiaan tengah mengancam Palestina.
Mengacu laporan Palestinian Central Bureau of Statistics aka PCBS, lebih dari 25 ribu warga sipil Palestina terbunuh akibat genosida yang dilakukan Zionis Israel. Di hari ke-108 hari sejak genosida dimulai, militer Israel dilaporkan telah membunuh sedikitnya 25.664 warga Palestina.
PCBS mencatat sedikitnya 25.295 korban jiwa berada di Jalur Gaza, sedangkan 369 korban jiwa lainnya terdapat di Tepi Barat. Korban anak-anak dilaporkan mencapai 12.345 jiwa.
Bahkan pada Kamis (25/1/2024), Zionis Israel menggencarkan serangan ke kamp pengungsi yang dimiliki PBB. Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) melaporkan, serangan itu menghantam lokasi yang menampung 800 orang mengungsi.
Lokasi itu berada di Khan Younis, kota Selatan Gaza yang saat ini diserang Israel. Bukan kali ini saja fasilitas UNRWA dihantam. Bahkan, sejumlah staffnya ikut tewas. Namun, PBB tidak berdaya. Genosida masih terus berlangsung, sampai hari ini.
Berani kah Indonesia Keluar dari PBB?
Badan-badan PBB seperti WHO, UNICEF juga tak berdaya melihat krisis kemanusiaan dan kematian belasan ribu jiwa anak-anak Gaza. Banyak yang berpendapat, PBB dan badan-badan di bawahnya tak bermanfaat dan sebaiknya dibubarkan saja.
Hal ini muncul akibat sikap standar ganda mereka antara Ukraina dan Gaza.
Dalam keterangannya, Juru Bicara Brigade Al Qassam, Abu Ubaidah, menegaskan genosida di Gaza telah membuka topeng kemunafikan Barat.
Sikap PBB yang dikomandoi Amerika, dinilai kerap kali berstandar ganda. Bahkan, meski staf PBB, dokter sampai jurnalis pelbagai media tewas, tapi sampai detik ini tak ada sanksi apapun untuk Israel.
Sikap standar PBB terhadap genosida Gaza, memantik suara-suara agar Indonesia berani keluar dari PBB.
Aksi walkout Menlu Retno dilakukan bentuk protes keras Indonesia terhadap genosida. Namun, jika selama ini sikap Indonesia tidak menghentikan genosida, tak pula melahirkan sanksi apapun bagi Israel, apakah Indonesia berani keluar dari PBB? Toh, beberapa kali resolusi PBB telah diabaikan Israel.
Sidang-sidang DK PBB seakan formalitas. Berbulan-bulan sidang, tapi setiap hari Israel masih menggempur Palestina dan menyebabkan hilangnya banyak nyawa.
Bahkan, rumah sakit, tempat ibadah, kamp pengungsian juga dibombardir.
Pertanyaannya kemudian: apa fungsi PBB selama ini bagi warga Gaza? Untuk mendorong bantuan kemanusiaan saja tak mampu. Maka tak mengherankan jika muncul suara agar Indonesia keluar dari PBB.
Sebagai pengingat, pada 31 Desember 1964 Presiden Soekarno pernah menyatakan ketidakpuasan terhadap PBB. Soekarno mengancam keluar dari PBB. Dan pada 7 Januari 1965, saat Malaysia diterima sebagai anggota tak tetap Dewaan Keamanan PBB, Indonesia benar-benar keluar dari PBB.
Pernyataan keluarnya Indonesia dari PBB disampaikan melalui surat Menteri Luar negeri, Dr. Subandrio. Dalam surat itu ditegaskan Indonesia secara resmi keluar dari PBB pada 20 Januari 1965. Lantas, mungkin kah sebagai bentuk protes terhadap genosida Gaza, membuat Indonesia kembali keluar dari PBB?
Keluar atau tidaknya Indonesia nanti, Pemerintah perlu melakukan langkah taktis dan efektif untuk benar-benar menghentikan kejahatan kemanusiaan di Gaza. Terlebih bulan depan kita akan memasuki bulan Ramadhan. Tak membayangkan jika di bulan suci, pembantaian masih terjadi.
Saat ini saja sudah banyak yang apatis terhadap sikap PBB. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di pelbagai negara. Terutama karena lemahnya peran terhadap sanksi untuk Israel. Satu-satunya harapan ada pada negara-negara Islam, OKI. Tapi harapan itu juga kecil.
Tumpuan Harapan di Pundak Indonesia
Meski begitu, Indonesia masih punya potensi besar menjadi mercusuar untuk menjadi pemain inti dalam menghentikan genosida di Gaza. Indonesia juga menjadi harapan bagi warga Palestina.
Ini menjadi beban sekaligus tantangan bagi Indonesia ke depan. Kiranya, usai Pilpres mendatang, siapapun presidennya kelak, besar harapan agar posisi Menlu tetap dipegang Bu Retno. Yang sudah terbukti begitu apik memainkan peran Indonesia dalam kancah geopolitik global.
Ada prediksi Israel hampir kehabisan amunisi dan dana perang. Yang mungkin akan mengakhiri pembantaian genosida dengan sendirinya. Tapi menunggu mereka kehabisan dana bukan lah solusi permanen. Harus ada langkah taktis yang benar-benar bisa menekan mereka, sekaligus melindungi Palestina.
Di sisi lain, harapan besar masyarakat juga bertumpu pada NU dan Muhammadiyah, sebagai garda terdepan penjaga Indonesia. Diharapkan, kedua ormas besar ini bisa ikut mengambil langkah taktis dan efektif menghentikan genosida di Gaza. Melalui pelbagai diplomasi atau langkah apapun.
Seperti penentangan para Kiai terdahulu yang berhasil menggagalkan pemerataan makam Nabi, melalui Komite Hijaz. Yang kemudian hari lahir lah NU menjadi gerakan Muslim Indonesia, yang kini menjadi garda terdepan bangsa bersama Muhammadiyah.
Dalam estimasi Gulf Institute, kala itu 95 persen bangunan berusia 1.000 tahun-an telah dihancurkan Pemerintah Arab Saudi, dalam 20 tahun terakhir.
Para Kiai terdahulu menentangnya, hingga makam Nabi batal diratakan. Kini, selain Pemerintah, kiprah para Yai kembali dinanti untuk menghentikan genosida.
Shalallahu alaa Muhammad.
(Rudi Agung)