Yahya Sinwar, Sang Perancang Taktik Operasi Badai Al Aqsa
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM - Yahya Sinwar telah resmi menjadi Pemimpin Politik Hamas, menggantikan mendiang Ismail Haniyeh. Sosok tegas yang disebut sebagai ‘teror bagi Israel’, ini sangat jarang muncul ke publik. Lantas, bagaimana sepak terjang Sinwar?
Dikutip dari Britannica, Yahya Sinwar dilahirkan pada 29 Oktober 1962, di kamp pengungsi Khan Younis, Jalur Gaza. Sinwar adalah arsitek awal sayap bersenjata Hamas dan dianggap sebagai salah satu aktor intelektual yang merancang taktik serangan 7 Oktober 2023 terhadap Israel. Hari yang disebut sebagai hari paling mematikan bagi zionis.
Sinwar lahir di kamp pengungsi Khan Younis dari orang tua yang telah mengungsi dari Ashkelon dalam Perang Arab-Israel 1948. Kamp itu penuh sesak dengan keluarga miskin, yang hidup dalam kondisi buruk dan bergantung pada Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk layanan dasar.
Di awal 1980-an, Sinwar mendaftar di Universitas Islam Gaza, ia mengambil studi tentang bahasa Arab membantu membentuk presentasi dirinya yang karismatik.
Sinwar masuk universitas saat banyak pemuda Palestina di Jalur Gaza melihat ke arah Islamisme untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina setelah puluhan tahun pan-Arabisme gagal melakukannya. Tahun 1982 Sinwar ditahan karena partisipasinya dalam sebuah organisasi, meski tidak ada tuduhan resmi.
Pada 1985, sebelum pembentukan Hamas, Sinwar membantu mengorganisasi Munaẓẓamat al-Jihad wa al-Daʿwah, atau Organisasi untuk Jihad dan Daʿwah. Yakni jaringan pemuda Islam yang bertugas mengungkap meningkatnya informan Palestina yang direkrut Israel dalam beberapa tahun terakhir.
Saat Hamas dibentuk tahun 1987, al-Majd dimasukkan ke dalam kader keamanannya. Tahun 1988 jaringan itu diketahui memiliki senjata, dan Sinwar ditahan Israel selama beberapa pekan. Tahun berikutnya, ia dihukum karena pembunuhan warga Palestina yang dituduh bekerja sama dengan Israel dan dijatuhi hukuman empat hukuman penjara seumur hidup.
Menghukum Pengkhianat
Selama dipenjara, Sinwar memiliki pengaruh yang kuat terhadap sesama tahanan. Bahkan Sinwar menggunakan taktik penyiksaan dan manipulasi dan bantuan dari koneksinya di luar penjara.
Sinwar berusaha menghukum sesama tahanan yang ia curigai sebagai informan dan pernah memaksa sekitar 1.600 tahanan melakukan mogok makan. Para informan pengkhianat itu disiksa di dalam penjara. Sinwar beranggapan mereka ikut andil bersama zionis melakukan pembunuhan warga Palestina.
Sinwar menghabiskan sebagian besar waktu luangnya mempelajari apa saja tentang musuh-musuhnya di Israel, membaca surat kabar Israel, dan fasih berbahasa Ibrani dalam prosesnya.
Ada sejumlah peristiwa transformatif dalam konflik Israel-Palestina yang terjadi selama puluhan tahun Sinwar di penjara. Pada awal 1990-an, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel menyimpulkan Kesepakatan Oslo, yang menetapkan proses perdamaian untuk pembentukan negara Palestina dengan imbalan pengakuan PLO atas hak Israel untuk eksis.
Proses itu tergelincir bom bunuh diri dan pembunuhan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pada tahun 1995 oleh seorang ekstremis Yahudi. Namun harapan mengembalikan proses ke jalurnya tetap ada selama beberapa tahun.
Secercah harapan itu meredup selama intifada Palestina kedua, dan pemilihan umum yang digelar tahun 2006, warga Palestina menyatakan kekecewaan mereka terhadap PLO dengan memberi sebagian besar suara kepada Hamas.
Sebagai akibat dari hasil itu, hubungan antara Israel dan Otoritas Palestina sementara (PA), yang telah dibentuk Kesepakatan Oslo, semakin memburuk.
Di tahun 2007, ketika pertikaian antar-faksi dalam PA membuat Hamas memegang kendali penuh atas Jalur Gaza, Israel dan Mesir memblokade wilayah itu. Hal itu menjadi panggung bagi beberapa konflik bersenjata antara Hamas dan Israel di tahun-tahun berikutnya.
Pembebasan Sinwar
Saat Sinwar dibebaskan tahun 2011, pintu perdamaian telah terbuka dan tertutup, dan ia belum menyaksikan optimisme era Oslo secara langsung.
Pembebasan Sinwar bagian dari pertukaran tahanan tingkat tinggi untuk Gilad Shalit. Shalit, seorang prajurit Pasukan Pertahanan Israel (IDF), telah diculik Hamas tahun 2006 saat di perbatasan.
Setelah beberapa kali gagal menjadi perantara kebebasan Shalit, Mesir dan Jerman mencapai kesepakatan untuk pembebasannya pada bulan Oktober 2011. Saudara laki-laki Sinwar, Mohammed, yang ditugaskan menjaga Shalit, bersikeras agar Sinwar disertakan dalam pertukaran tersebut.
Di hari sama ketika Shalit dibebaskan ke Israel, Sinwar termasuk di antara kelompok tahanan Palestina pertama yang dikembalikan ke Jalur Gaza. Ketika ia tiba, Sinwar sudah mengenakan ikat kepala hijau yang menjadi lambang sayap bersenjata Hamas.
Di bulan April 2012, beberapa bulan setelah pembebasannya, Sinwar terpilih sebagai anggota biro politik Hamas di Jalur Gaza. Ia memanfaatkan pengalamannya sebagai pemimpin penjara dan memperoleh reputasi di dalam Hamas karena menyatukan faksi-faksinya untuk berkompromi.
Sinwar menyerukan kepada para militan untuk menangkap warga Israel, yang mendorong Amerika Serikat untuk menambahkan Sinwar ke dalam daftar teroris global yang ditetapkan secara khusus pada tahun 2015.
Serangan 7 Oktober 2023
Retorika Sinwar yang berapi-api berbicara kepada para militan garis keras, dan sejarahnya sebagai tangan besi membuat mereka percaya bahwa ia akan melaksanakan ancamannya. Dalam salah satu penampilan publik pertamanya, Sinwar mengatakan kepada sekelompok pemuda Gaza:
"Lewatlah sudah masa ketika Hamas membahas pengakuan Israel. Pembahasan sekarang adalah tentang kapan kita akan menyapu bersih Israel."
Dalam beberapa tahun pertama sebagai pemimpin, Sinwar bersikap tenang dan melakukan pendekatan pragmatisnya terhadap pembuatan kesepakatan. Beberapa bulan setelah Sinwar mengambil alih kendali, Hamas membuat kesepakatan rekonsiliasi dengan PA, dan untuk pertama kalinya sejak 2007, Hamas menyerahkan kendali sebagian besar Jalur Gaza kepada PA untuk waktu yang singkat.
Di rapat umum tahun 2022 saat merayakan ulang tahun berdirinya Hamas, Sinwar menyerukan kepada setiap orang agar bersiap bangkit seperti badai membela Al-Aqsa, jika Israel tidak menyelesaikan kesepakatan membebaskan tahanan Palestina.
Sinwar mengumpulkan orang banyak, dan berpidato: "Kami akan datang kepada Anda dalam banjir yang menderu, dalam roket tanpa akhir, dan dalam banjir tentara yang tak terbatas jumlahnya. Kami akan datang kepada Anda dengan jutaan orang kami, satu gelombang demi gelombang."
Pada tanggal 7 Oktober 2023, Hamas, dalam sebuah serangan yang dijuluki "Operasi Banjir Al-Aqsa," memimpin serangan paling dahsyat terhadap Israel sejak kemerdekaannya. Itu dimulai dengan rentetan sedikitnya 2.200 roket hanya dalam 20 menit, menyediakan perlindungan bagi sedikitnya 1.500 militan yang menyusup ke Israel di puluhan titik sepanjang perbatasan yang dijaga ketat.
Hamas menyerang dengan menggunakan bahan peledak, buldoser, dan paralayang. Mereka tidak hanya menyerang pos-pos militer tetapi juga membunuh keluarga-keluarga di dalam rumah mereka dan para peserta festival musik luar ruangan.
Dalam beberapa jam, sekitar 1.200 orang tewas dan sekitar 240 lainnya disandera. Serangan itu menambah trauma dan dianggap hari paling mematikan bagi orang Yahudi sejak Holocaust. Serangan itu menunjukkan ciri khas taktik Sinwar, dan penyanderaan yang menjadi alat pertukaran tahanan.
Britannica/ Yan Andri