Home > Opini

Pangkas Anggaran di Tengah Kabinet Gemuk

Meminta berhemat, tapi menambah SDM baru, jelas tak elegan di hadapan publik.
Prabowo dan Gibran usai mengumumkan jajaran Wamen di Kabinet Merah Putih.
Prabowo dan Gibran usai mengumumkan jajaran Wamen di Kabinet Merah Putih.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Senin, 21 Oktober 2024, Presiden Prabowo melantik para menteri yang tergabung dalam Kabinet Merah Putih. Saat itu, ada 48 menteri dan enam pejabat setingkat menteri yang dilantik.

Seiring waktu, ada penambahan kabinet dengan bertambahnya wakil menteri. Sehingga total ada 48 menteri, 56 wakil menteri dan 7 pejabat setingkat menteri dalam Kabinet Merah Putih.

Kabinet ini tercatat sebagai kabinet paling gemuk sejak era Perjuangan Kemerdekaan, Orde Baru hingga Reformasi. Perbandingan jumlah kabinet ini bisa disimak di situs Setkab.

Di susunan menteri Kabinet Merah Putih, Prabowo-Gibran menambah jumlah kementerian koordinator, lalu memecah sejumlah kementerian. Akibatnya kabinet ini dianggap sebagai: kabinet paling gemuk.

Gemuknya kabinet dinilai dampak dari revisi UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang disahkan pada September 2024. Akibatnya jumlah kementerian bisa menjadi tak terbatas.

Kalau membandingkan negara lain, Kabinet Merah Putih bisa dianggap sebagai salah satu terbesar di dunia. Selain 48 menteri, 56 wakil menteri, ada pula staf khusus, dan berbagai lembaga non kementerian.

Bahkan, pemerintah malah menambah pejabat baru dengan melantik Deddy Corbuzier sebagai staf khusus Menhan. Porsi gemuk kabinet, otomatis berdampak pada pembengkakan anggaran. Misalnya gaji, tunjangan, fasilitas, sampai biaya operasional tetek bengek lain.

Apalagi memaksa menambah stafsus, yang manfaatnya ke masyarakat tak bisa dirasakan langsung secara siginifikan. Bisa saja berdalih penambahan tenaga SDM diimbangi penghematan kala rapat, kerja daring, dan semisalnya. Tetap saja tak sebanding. Tambah SDM, anggaran akan tambah berlipat-lipat.

Di hadapan publik juga tak elegan. Meminta pihak lain berhemat, tapi diri sendiri justru menambah hal yang tidak krusial untuk negara. Yang bahkan justru menambah anggaran baru.

Barangkali bisa dievaluasi lagi, dirampingkan. Sebab, perampingan kabinet bukan berarti menurunkan kinerja. Bahkan, kabinet yang ramping justru bisa meningkatkan efektivitas keputusan.

Perampingan stafsus tidak berdampak apapun. Toh, era-era kabinet sebelumnya tak banyak stafsus tapi pemerintahan tetap berjalan. Bahkan kalau perlu SDM lain juga dirampingkan.

Perbandingannya, bisa berkaca pihak swasta yang sangat efisien atau membandingkan yang sejenis: dengan bercermin pada kabinet negara lain. Sejumlah negara yang ingin menghemat anggaran, berani memangkas jumlah kabinet dan memberhentikan pegawainya. Dan, mereka berhasil hemat.

Argentina, misalnya. Di bawah nahkoda Milei, negaranya Messi itu mampu mengatasi krisis ekonomi.

Milei berani memangkas jumlah kementerian dari 18 tersisa delapan. Selain itu, sebagai konsekuensinya. memberhentikan 30 ribuan pegawai di pemerintahan. Lalu, menyetop beragam proyek infrastruktur, menghentikan sebagian besar subsidi untuk pemerintah daerah.

Contoh lainnya, Vietnam. Mereka juga akan memangkas kementerian sampai memberhentikan pegawai. Tujuannya, menghemat dana yang diproyeksikan bisa hemat sekitar Rp 70-an triliun.

Kementerian dan lembaga Vietnam yang akan dipangkas dari 30 tersisa 22. Selain itu, pemangkasan juga dilakukan di sektor pelayanan publik. Termasuk pegawai negeri, polisi, militer, pekerja media, juga bakal dipangkas. Ratusan ribu pegawai diberhentikan atau diberi opsi pensiun dini.

Begitu pula Pakistan, dan negara lainnya.

Artinya, kalau itikadnya untuk penghematan anggaran, mereka berani membuktikannya dengan memulai langkah awal dari dalam tubuhnya sendiri: memangkas kementerian dan memberhentikan pegawainya. Termasuk opsi menghentikan dana pensiun.

Hentikan Anggaran Pensiun DPR, Rampingkan Kabinet

Setiap anggota DPR yang tak lagi menjabat akan mendapat uang pensiun seumur hidupnya. Kalau sudah wafat, uang itu diberikan pada istri sah dan anaknya. Acuannya, merujuk UU 12/1980.

Tak hanya DPR tapi juga anggota dan ketua Lembaga Tinggi Negara. Yakni, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung. Mereka dapat pensiun. Seumur hidupnya.

Tiga Lembaga Tinggi Negara, ini bekerja jauh lebih lama dibanding DPR yang hanya lima tahun dalam satu periode. Artinya, hanya kerja lima tahun dapat pensiun seumur hidup. Bukankah ini pemborosan?

Belum lagi kalau ada anggota DPR hasil PAW di tengah jalan, yang tak utuh bekerja lima tahun. Mereka tetap mendapat kucuran uang pensiun sampai diwariskan ke anaknya. Enak sekali bukan?

Menghemat anggaran negara dengan opsi menghentikan dana pensiun DPR adalah pilihan logis. Mereka sering mengklaim sebagai wakil rakyat, selaiknya saat ini momentum tepat untuk menunjukannya pada masyarakat melalui kerelaan tak lagi dapat uang pensiun.

Meski logis, opsi ini sepertinya mustahil diwujudkan.

Opsi berikutnya, seperti negara lain. Merampingkan kabinet. Namun, dalam praktik politik kekinian, opsi ini juga mustahil. Sebab, penambahan jumlah kementerian dianggap sebagai praktik bagi-bagi jatah koalisi dan tim sukses. Secara telanjang atau terselubung.

Selama ini pemangkasan anggaran APBN dan APBD 2025 sebesar Rp 306,69 triliun, diklaim untuk menjaga stabilitas fiskal dan mendorong pelayanan publik lebih optimal. Klaim lainnya, pemerintah mau menutup celah korupsi. Sekaligus memperbaiki kualitas belanja negara, termasuk dana operasional menteri.

Tapi klaim sekadar klaim. Sama seperti dulu, menaikan gaji pejabat ditujukan agar tidak korupsi. Faktanya, korupsi justru semakin subur.

Saat ini Pemerintahan Prabowo dihadapkan kondisi dilematis. Negara butuh penghematan, tapi kabinet malah gemuk. Ini paradoks. Di sisi lain, kalau merampingkan kabinet, terbuka ancaman guncangan politik.

Pilihannya memang sulit. Tapi belajar dari orang-orang terdahulu: sebelum meminta orang lain melakukan sesuatu, baiknya kita yang lakukan dulu. Begitupun dalam konteks pemerintahan. Sebelum meminta yang lain hemat, tubuh di dalamnya perlu berhemat dulu.

Mungkin, merampingkan kabinet dan menghapus uang pensiun DPR, bisa menjadi teladan yang baik. Apalagi kalau ditambah kebijakan perampasan aset koruptor untuk menambal kas negara. Kemudian menghapus kebijakan tax amnesty bagi pengemplang pajak raksasa.

Rakyat pun otomatis mendukung. Andai pun ada gejolak politik, rakyat akan selalu berada di belakang Presiden Prabowo. Tapi mungkin kah sang Jenderal berani merampingkan kabinet dan menghentikan kebijakan pensiun bagi DPR? Apakah berani merampas aset koruptor dan mengejar pengemplang pajak perusahaan jumbo?

Shalaalallahu alaa Muhammad.

Rudi Agung

× Image