Koalisi Global 32 Negara Bakal Menuju Gaza dengan Berjalan Kaki

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Sebuah langkah global yang belum pernah terjadi sebelumnya: koalisi serikat pekerja, kelompok hak asasi manusia, dan gerakan solidaritas dari 32 negara lebih telah meluncurkan "Pawai Global ke Gaza".
Kampanye ini, mengutip Palestinian Information Center (26/5/2025), bertujuan untuk memasuki Jalur Gaza dengan berjalan kaki. Prakarsa ini menanggapi krisis kemanusiaan yang mengerikan di Gaza.
Sampai kini Israel sudah hampir 20 bulan telah menyebabkan lebih dari dua juta warga Palestina berada di ambang kelaparan.
Presiden Koalisi Internasional Melawan Pendudukan Israel Saif Abu Kishk, menyatakan pawai tersebut bertujuan menghentikan genosida yang dilakukan Israeli occupation forces atau pasukan pendudukan Israel (IOF), memberikan bantuan kemanusiaan segera, dan tekanan untuk pencabutan total blokade.
Lebih dari 10.000 orang, sebagian besar dari negara-negara Barat, telah menyatakan minatnya untuk berpartisipasi. Kelompok kerja telah dibentuk di seluruh dunia untuk mengelola logistik dan penjangkauan media dalam berbagai bahasa.
Tujuan Utama Pawai
Pawai “Global March to Gaza” mendesak sejumlah tuntutkan, antara lain:
Menghentikan genosida. Yakni mengakhiri pembunuhan sistematis Israel terhadap warga Palestina dan penggunaan kelaparan sebagai senjata.
Mengirim bantuan mendesak dengan mendorong masuknya segera makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar ke Gaza. Terutama melalui penyeberangan Rafah, tempat ribuan truk bantuan telah diblokir.
Menghancurkan Pengepungan, dengan menuntut koridor kemanusiaan permanen dan pencabutan blokade tanpa syarat.
Selain itu, mengungkap kejahatan Zionis, dengan menggerakkan masyarakat sipil global untuk menantang kebungkaman internasional dan menekan pemerintah untuk bertindak.
Kemudian Mendesak tindakan hukum terhadap individu dan negara yang terlibat dalam pelanggaran hukum internasional.
Pengacara asal Jerman Melanie Schweizer menekankan sifat damai dari pawai tersebut, dan menggambarkannya sebagai upaya masyarakat sipil yang terinspirasi oleh aksi solidaritas internasional yang bersejarah. Para peserta, yang semuanya sukarelawan, mendanai sendiri keterlibatan mereka.
Rute dan logistik
Para peserta akan berkumpul di Kairo mulai 12 Juni, kemudian menuju Al-Arish dan berjalan kaki menuju perbatasan Gaza.
Koalisi telah membagi para peserta ke dalam kelompok-kelompok regional untuk mengatasi kendala bahasa dan logistik. Kelompok tersebut berencana berkemah di perlintasan Rafah sebagai bentuk tekanan damai untuk membuka perbatasan dan membiarkan bantuan masuk.
"Jika warga Gaza dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan tanpa makanan atau obat-obatan, kami dapat melewati jalan gurun untuk mendukung mereka," kata Abu Kishk.
Penyelenggara telah menghubungi kedutaan besar Mesir dan secara resmi meminta kerja sama dari pemerintah Mesir, menekankan dukungan terhadap upaya Mesir untuk menghentikan genosida.
Bebaskan 3.000 Truk Bantuan yang Terdampar
Pawai ini juga bertujuan membebaskan 3.000 truk bantuan yang terdampar di perbatasan. Abu Kishk mengatakan bahwa bantuan ini—makanan, obat-obatan, dan bahan bakar—sangat penting untuk mencegah kematian massal akibat kelaparan di Gaza.
Prakarsa ini juga berkoordinasi dengan kelompok-kelompok seperti Overland Convoy to Break the Siege (Sumoud) dan Freedom Flotilla Coalition.
Dukungan dan Akuntabilitas Internasional
Juru bicara delegasi Irlandia, Karen Moynihan, menjelaskan bahwa inisiatif tersebut tidak menyalahkan Mesir, tetapi mencari kerja sama untuk mengintensifkan tekanan terhadap Israel.
Ia menambahkan bahwa tujuannya adalah untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas tindakan sengaja membuat lebih dari dua juta orang kelaparan dan untuk menghadapi keterlibatan global.
Upaya ini menyusul keputusan kontroversial Israel yang mengizinkan perusahaan swasta mengirimkan bantuan di Jalur Gaza—suatu pendekatan yang ditolak oleh PBB karena gagal memenuhi kebutuhan kemanusiaan dan mengaitkan bantuan dengan agenda politik dan militer.
Hamas Puji Gerakan Solidaritas Global yang Desak Hentikan Genosida
Melalui siaran persnya, Hamas memuji gerakan solidaritas global sembari menyerukan tekanan lebih intensif melalui semua cara yang tersedia.
Hamas, seperti dilaporkan Days of Palestine (27/5/2025), mendesak para pendukungnya untuk "bersuara menentang pendudukan dan dalam solidaritas dengan Jalur Gaza, Yerusalem, dan Masjid Al-Aqsa yang diberkahi."
Menurut Hamas, pendudukan terus melakukan agresi brutal terhadap Jalur Gaza. Zionis Isarel terus meningkatkan perang pemusnahan dan kelaparan terhadap warga sipil tak bersenjata, anak-anak, dan wanita selama 600 hari.
“Dalam pelanggaran terang-terangan terhadap semua norma dan hukum internasional dan mengabaikan semua resolusi PBB dan posisi negara-negara yang menolak kejahatannya dan menyerukan diakhirinya agresinya,” bunyi pernyataan itu.
Hamas telah mengeluarkan seruan protes di seluruh dunia yang dimulai hari Jumat, saat kelompok militan Palestina itu berupaya memobilisasi tekanan internasional terhadap serangan Israel yang kini telah berlangsung selama 600 hari.
Pada hari Selasa, Hamas juga menetapkan hari-hari mendatang, Jumat dan Sabtu, 30 dan 31 Mei, dan Minggu, 1 Juni, sebagai “hari-hari kemarahan global melalui demonstrasi, pawai, dan aksi duduk massal di semua kota dan alun-alun hingga genosida dan kelaparan terhadap warga sipil, anak-anak, dan wanita dihentikan.”
Hamas kembali menegaskan seruannya kepada “massa bangsa kita, rakyat bebas, rakyat yang memiliki hati nurani, badan-badan, dan lembaga-lembaga di dunia” untuk melanjutkan dan meningkatkan segala bentuk aktivisme melawan kejahatan berupa pemusnahan dan kelaparan.
Gerakan ini juga memperbarui seruannya kepada pemerintah di seluruh dunia untuk mengecam apa yang disebutnya sebagai kejahatan perang Israel dan mengambil "tindakan hukuman konkret yang mengharuskan pemerintah penjahat perang Benjamin Netanyahu menghentikan agresi brutalnya dan mendorongnya untuk bertanggung jawab atas kejahatannya terhadap kemanusiaan."
Seruan ini muncul di tengah memburuknya situasi kemanusiaan dan militer di Gaza.
Militer Israel melanjutkan serangan besar-besarannya pada 18 Maret setelah menarik diri dari perjanjian gencatan senjata sementara. Sejak saat itu, serangan udara dan darat Israel telah menewaskan lebih dari 3.800 orang dan melukai sekitar 11.000 orang, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Pada 18 Mei, Israel meluncurkan fase baru operasi militernya dengan nama “Gideon's Chariots,” yang mengintensifkan operasinya di seluruh Gaza.
Operasi yang dimulai Oktober 2023 itu telah mengakibatkan kerugian manusia yang sangat besar.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan kejahatan perang, telah menyatakan bahwa tujuan Israel adalah untuk menduduki seluruh Jalur Gaza.
Sejak 7 Oktober, lebih dari 175.000 warga Palestina dilaporkan tewas atau terluka, banyak di antaranya adalah wanita dan anak-anak.
Selain itu lebih dari 11.000 orang hilang. Pengeboman dan invasi darat yang tak henti-hentinya telah menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi, sehingga membuat penduduk Gaza semakin putus asa.
Yan Andri