Investigasi Media Israel: Tentara Zionis Tewaskan Puluhan Tawanan Israel

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Salah satu media terbesar di Israel, Haaretz, menyoroti langkah blunder tentara IDF dalam melakukan operasi pembebesan sandera.
Berdasarkan investigasi media itu, tentara Zionis justru menyebabkan 20 sandera tewas akibat operasi IDF, sebagaimana dilansir Anadolu, pada Jumat (30/5/2025). IDF justru membunuh warga mereka sendiri.
Operasi militer IDF telah membahayakan sedikitnya 54 sandera Israel di Gaza.
Laporan Haaretz menyebut, selama 601 hari perang sejak 7 Oktober 2023, aksi militer Israel, termasuk serangan udara, berujung pada kematian sandera baik secara langsung atau "dieksekusi oleh penyandera lantaran operasi militer dekat dengan keberadaan mereka."
Haaretz juga melaporkan, saat ratusan serangan udara berupaya dihindari lantaran khawatir atas keselamatan sandera, IDF tetap mengotorisasi serangan-serangan udara dalam 'jarak aman' sekitar beberapa ratus meter dari zona sandera ditahan.
"Lebih banyak serangan udara dilancarkan, lebih besar risikonya," kata seorang sumber militer kepada Haaretz.
Adapun pejabat militer lainnya, mengakui, "Di mana tidak ada informasi tentang sandera, serangan udara dilancarkan."
Menurut data Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) pada Jumat pekan lalu, lebih dari 172.000 orang telah mengungsi di Gaza dalam seminggu terakhir karena serangan Israel yang intens dan pengepungan.
Tentara Israel terus melakukan serangan brutal terhadap Gaza sejak Oktober 2023, mengabaikan seruan internasional untuk gencatan senjata, yang menyebabkan lebih dari 53.900 warga Palestina tewas, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.
Gisha Desak IDF
Pada 30 Mei 2025 media Israel, Haaretz, organisasi hukum dan hak asasi manusia (Gisha) Israel meminta agar IDF mengizinkan satu-satunya anak Dr. Alaa al-Najjar yang masih hidup untuk keluar dari Jalur Gaza.
Gisha menilai hal itu satu-satunya jalan untuk mendapatkan perawatan medis yang mendesak.
Menurut Gisha, seorang anak Palestina berusia 11 tahun, yang sembilan saudara kandungnya tewas dalam serangan IDF, menderita cedera dada dan beberapa patah tulang, beberapa di antaranya terbuka.
Pada Jumat lalu, serangan udara Israel di Khan Yunis menewaskan sembilan anak al-Najjar, melukai putranya yang berusia 11 tahun, Adam, dan suaminya, Hamdi.
Gisha mengimbau agar Adam dan ayahnya menerima perawatan medis yang mendesak di luar negeri, mengingat keduanya masih menderita cedera yang mengancam jiwa akibat serangan tersebut.
Menurut organisasi tersebut, Adam menderita cedera di dadanya dan beberapa patah tulang di tubuhnya, beberapa di antaranya terbuka.
Gisha juga mengungkap bahwa Adam menderita kerusakan saraf dan memiliki banyak luka di sekujur tubuhnya. Hal ini memerlukan operasi yang mencakup pencangkokan saraf radial dan pemulihan jaringan saraf yang rusak.
"Sebagai akibat dari serangan tanpa henti dan bencana kemanusiaan yang telah Anda ciptakan di Jalur Gaza, ribuan orang yang terluka dan sakit membutuhkan layanan darurat," kata Gisha dalam desakannya kepada IDF.
"Mengingat penolakan Anda untuk mengizinkan mereka menerima perawatan medis di Tepi Barat dan Yerusalem, ribuan orang menunggu untuk meninggalkan Jalur Gaza dan pergi ke luar negeri."
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi tahu al-Najjar mereka bermaksud untuk mengevakuasi putra dan suami dokter tersebut, kata LSM tersebut, seraya menambahkan bahwa Malta dan Irlandia telah menyatakan kesediaan mereka untuk merawat pasien dari Gaza.
Gisha adalah organisasi Israel yang bertujuan melindungi kebebasan bergerak warga Palestina, khususnya penduduk Gaza. Gisha atau Legal Center for Freedom of Movement adalah organisasi nirlaba Israel yang didirikan tahun 2005. Gisha berarti "akses" dan "pendekatan" dalam bahasa Ibrani. Organisasi ini menggunakan bantuan hukum dan advokasi publik untuk mempromosikan hak-hak yang dijamin hukum internasional dan hukum Israel.
Sebagai bagian dari pekerjaan hukumnya, Gisha mewakili individu dan organisasi dalam proses administratif dan pengadilan Israel. Aktivitas hukum Gisha didasarkan pada hukum Israel, hak asasi manusia internasional, dan hukum humaniter.
Pembantaian Biadab
Kantor Berita AFP melaporkan, Zionis Israel melalukan pembantaian terhadap warga Gaza yang tengah menjemput makanan.
Mulanya, mereka menjemput makanan di pusat bantuan Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), yang dibentuk dengan dukungan Amerika Serikat. Penyintas menuturkan, mereka dipanggil datang ke lokasi bantuan, namun ditembaki pasukan Israel.
Kantor Media Pemerintah Gaza mengatakan sedikitnya 31 orang syahid akibat tembakan Israel dan 200 lainnya terluka di dekat distribusi bantuan di kota Rafah di Gaza selatan.
Satu orang juga syahid dan 32 lainnya luka-luka di pusat distribusi bantuan lainnya dekat Koridor Netzarim di Gaza tengah, kata pernyataan yang dipublikasikan di Telegram.
Secara total, 49 warga Palestina telah syahid dan lebih dari 300 orang terluka di sekitar pusat distribusi yang dikelola GHF di Rafah dan Koridor Netzarim sejak insiden mematikan pertama terjadi pada 27 Mei.
Sameh Hamuda, seorang pengungsi dari kota Beit Lahiya di Gaza utara, mengatakan dia telah berjalan kaki dari Kota Gaza dan menghabiskan malam bersama kerabatnya di sebuah tenda dekat Rafah sebelum menuju ke pusat bantuan saat fajar untuk menunggu di antara kerumunan orang.
"Mereka mulai membagikan bantuan, namun tiba-tiba drone quadcopter menembaki orang-orang, dan tank-tank mulai melepaskan tembakan keras. Beberapa orang tewas tepat di depan saya," kata pria berusia 33 tahun itu kepada AFP.
Republika