Home > Mancanegara

Gencatan Senjata Tak Mampu Cukupi Kebutuhan Dasar, Warga Gaza Frustasi

Pembukaan kembali penyeberangan perbatasan tidak membawa kelegaan tetapi rasa frustrasi.
Masih banyak anak-anak Gaza yang menderita dan kelaparan. (Daysofpal)
Masih banyak anak-anak Gaza yang menderita dan kelaparan. (Daysofpal)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Hampir sebulan setelah gencatan senjata berlaku di Gaza, penduduk mengatakan pembukaan kembali penyeberangan perbatasan yang telah lama ditunggu-tunggu tidak membawa kelegaan, melainkan justru rasa frustrasi.

Sebab, pendudukan Israel mengizinkan masuknya barang-barang mewah sambil membatasi pasokan makanan penting, obat-obatan, dan bahan bakar.

Penduduk setempat menggambarkan pasar-pasar tersebut dipenuhi barang-barang seperti kopi, coklat, minuman ringan, dan barang-barang tidak penting lainnya.

Produk-produk yang hanya sedikit orang mampu membelinya dan tidak banyak membantu memenuhi kebutuhan dasar untuk bertahan hidup bagi penduduk, yang telah mengalami kelaparan dan kekurangan selama berbulan-bulan.

Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, pendudukan Israel diwajibkan berdasarkan perjanjian gencatan senjata untuk mengizinkan 600 truk per hari masuk ke wilayah kantong tersebut.

Kenyataannya, hanya sekitar 145 truk yang masuk, kurang dari seperempatnya, dan sebagian besar mengangkut barang-barang komersial dan non-esensial.

Data yang ditinjau otoritas setempat menunjukkan dari truk yang masuk, 220 truk mengangkut berbagai barang konsumen, 82 truk mengangkut pakaian, dan 23 truk mengangkut perlengkapan rumah tangga.

Namun, hanya empat truk mengangkut perlengkapan medis dan enam truk mengirimkan bahan bakar.

Direktur Kantor Media Pemerintah di Gaza, Ismail al-Thawabta, menyebut pendudukan Israel secara sengaja mengelola krisis kemanusiaan melalui manipulasi ekonomi.

"Pendudukan Israel menciptakan ilusi aktivitas komersial yang normal, sementara kenyataan di lapangan tetap buruk," ujar al-Thawabta kepada kantor berita Safa, dinukil Selasa.

"Yang kita saksikan bukan pencabutan blokade, melainkan pergeseran dari kelaparan langsung ke pengelolaan kelaparan melalui perdagangan," tambahnya.

Ia mengatakan bahwa kontrol Israel atas jenis, jumlah, dan waktu barang yang masuk ke Gaza termasuk "kebijakan sistematis yang dirancang untuk merampas sumber daya penopang hidup warga sipil sambil membanjiri pasar dengan barang-barang yang tidak diperlukan."

"Ini bukan perilaku acak," tambahnya, seraya menambahkan bahwa "Ini bentuk perang ekonomi yang disengaja, kelaparan akibat perdagangan. Pendudukan Israel melarang apa yang menopang kehidupan dan mengizinkan apa yang tidak memberi gizi."

Al-Thawabta memperingatkan kebijakan tersebut bentuk hukuman kolektif dan melanggar hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa, yang melarang penggunaan makanan dan obat-obatan sebagai senjata perang.

Ia menggambarkan pembatasan yang sedang berlangsung sebagai “genosida gerak lambat yang dikelola melalui alat-alat ekonomi dan perdagangan,” yang dimungkinkan oleh “keheningan internasional yang tidak dapat dibenarkan.”

"Tidak akan ada peningkatan indikator ketahanan pangan atau pengurangan angka kelaparan dalam kondisi seperti ini," ujarnya, seraya menekankan bahwa kelaparan masih meluas di seluruh wilayah Gaza, dengan anak-anak, perempuan, dan orang sakit menanggung beban krisis ini.

Meskipun gencatan senjata ditandatangani pada 10 Oktober di bawah mediasi AS, Qatar, Mesir, dan Turki, implementasinya masih terhenti.

Al-Thawabta mengatakan perlambatan yang disengaja oleh Israel di penyeberangan menunjukkan Israel menggunakan kontrol perdagangan sebagai senjata melanjutkan tindakan hukumannya terhadap 2,4 juta penduduk Gaza.

Pejabat kemanusiaan memperingatkan kecuali aliran barang-barang penting meningkat secara dramatis, situasi Gaza yang sudah buruk dapat berubah menjadi keruntuhan kemanusiaan skala penuh.

Yang ditangani bukan dengan bom, tetapi dengan pengendalian roti, bahan bakar, dan obat-obatan yang terencana.

RUU Baru Israel Bisa Eksekusi Mati Tahanan Palestina

Di sisi lain, Isarel terus menekan tahanan warga Palestina. Knesset Israel semakin dekat dengan pemungutan suara rancangan undang-undang yang mengesahkan hukuman mati bagi tahanan Palestina.

Para pembela hak asasi manusia memperingatkan tindakan tersebut hanyalah upaya melegalkan apa yang telah lama dilakukan oleh pendudukan Israel: pembunuhan tahanan Palestina di dalam penjara dan pusat penahanan.

Rancangan Undang-undang tersebut, yang diajukan partai Jewish Power sayap kanan yang dipimpin Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir, disetujui pada hari Ahad oleh Komite Keamanan Nasional Knesset dalam pembacaan pertamanya.

Sekarang akan dibawa ke sidang pleno untuk diperdebatkan dan diambil suara lebih lanjut pada sesi mendatang.

Kelompok hak asasi manusia dan faksi Palestina telah mengecam undang-undang tersebut sebagai eskalasi yang berbahaya dan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.

Hamas mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa langkah tersebut “mencerminkan sifat fasis pendudukan Israel” dan merupakan “upaya untuk melegitimasi eksekusi dan likuidasi di dalam penjara.”

Gerakan tersebut menyerukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi hak asasi manusia untuk segera campur tangan dan mengirim komite internasional untuk memeriksa penjara-penjara Israel, terutama setelah terungkapnya pelanggaran di kamp penahanan Sde Teiman.

Kantor Media Tahanan Palestina juga mengecam RUU tersebut, menyebutnya sebagai “kejahatan perang yang melembagakan kebijakan eksekusi yang telah dipraktikkan pendudukan Israel selama beberapa dekade dengan berbagai dalih.”

Ia memperingatkan Undang-undang tersebut “ancaman langsung terhadap nyawa ribuan tahanan Palestina” yang sudah menghadapi penyiksaan sistematis, kelalaian medis, dan pembunuhan di luar hukum.

Para pengamat mencatat bahwa dorongan Israel untuk memformalkan hukuman mati bukanlah kebijakan baru tetapi kelanjutan dari pola kekerasan lama terhadap tahanan.

Catatan sejarah mendokumentasikan banyak kasus tahanan Palestina yang dieksekusi dengan darah dingin jauh sebelum kerangka hukum apa pun ada.

Sebagaimana dilansir Days of Palestina, sejarah terdahulu tak akan dilupakan rakyat Palestina.

Pada tahun 1970 Sameh Abu Hasballah, anggota Front Populer untuk Pembebasan Palestina dari kamp pengungsi Nuseirat di Gaza, dieksekusi setelah berminggu-minggu disiksa di Penjara Pusat Gaza.

Pasukan Israel dilaporkan menutup mata dan memborgolnya sebelum membawanya ke daerah terpencil di sebelah barat kamp, di mana dia ditembak mati di depan para saksi.

Pada tahun 1988, di tengah protes para tahanan di penjara gurun Ketziot (Negev), petugas Israel menyerbu sel-sel penjara, menewaskan Asaad al-Shawa dan Bassam al-Samoudi setelah mereka menolak perintah kerja paksa.

Kesaksian dari para penyintas menggambarkan bagaimana seorang petugas menembakkan sepuluh peluru ke dada al-Shawa sebelum membunuh al-Samoudi di tenda terdekat.

Lebih dari 80 tahanan terluka dalam penyerbuan itu, sebuah kekejaman yang oleh pengamat hak asasi manusia digambarkan sebagai hal yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Perang Dunia II.

Tahun 2007, seorang tahanan lain, Mohammed al-Ashqar, tewas dalam penggerebekan brutal oleh unit khusus “Nahshon” Israel di penjara Negev yang sama.

Al-Ashqar ditembak di kepala saat pasukan menembakkan peluru tajam dan menggunakan gas air mata serta granat kejut terhadap tahanan, yang kemudian membakar tenda mereka.

Pembantaian yang Dilegalkan

Para kritikus berpendapat bahwa rancangan undang-undang baru Israel dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi praktik eksekusi di luar hukum yang sudah berlangsung lama ini.

“Pendudukan tidak pernah membutuhkan hukum untuk membunuh,” kata seorang pembela hak asasi Palestina, seraya menambahkan “Kini mereka hanya ingin membungkus pembunuhan dengan bahasa keadilan dan pencegahan.”

Seiring dengan meningkatnya tekanan koalisi sayap kanan Israel, para pejabat Palestina memperingatkan bahwa “undang-undang hukuman mati” akan menandai babak baru impunitas dan kekerasan.

Sekaligus mengubah penjara-penjara Israel dari tempat penahanan menjadi ladang pembantaian yang dilegalkan.

Mila

Image
Republika Network

Sekitarkaltim.ID -

× Image