Home > Mancanegara

Idul Adha di Gaza Diiringi Dentuman Bom, Pengusiran dan Rentetan Kematian

Tak ada penyembelihan kurban, tak ada daging segar, menurut PBB, 96 persen ternak dan 99 persen unggas di Gaza telah mati.
Warga menshalati korban zionis yang terus memborbardir Gaza. (Wafa)
Warga menshalati korban zionis yang terus memborbardir Gaza. (Wafa)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Sembilan warga sipil tewas pada Sabtu dalam dua serangan udara Israel yang menargetkan Jabalia di Gaza utara, dan Deir al-Balah di bagian tengah Jalur Gaza.

Koresponden Kantor Berita Palestina WAFA melaporkan, pesawat tempur Israel mengebom rumah keluarga Abdullah di Jabalia. Akibat serangan itu menewaskan enam warga sipil dan menyebabkan korban lainnya hilang di bawah reruntuhan. Itu terjadi di momen Idul Adha.

Dalam serangan terpisah, tiga warga sipil tewas setelah pasukan Israel menyerang sebuah tenda yang menampung orang-orang terlantar di daerah Al-Bassa, Deir al-Balah.

Selain melakukan pengemboman, tentara Zionis Israel pada Sabtu memerintahkan evakuasi paksa puluhan ribu warga sipil di Gaza utara. Sumber-sumber lokal mengatakan perintah evakuasi menargetkan lingkungan Abdul Rahman di barat laut Kota Gaza dan lingkungan Al-Nahda di kamp pengungsi Jabalia.

Penduduk daerah ini sebelumnya adalah warga sipil yang mengungsi dari Gaza utara ke selatan pada awal perang genosida, sebelum diizinkan kembali untuk sementara waktu.

Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), hingga 28 Mei 2025, sebanyak 81% wilayah Gaza telah dinyatakan sebagai zona militer Israel atau ditempatkan di bawah perintah evakuasi.

OCHA menambahkan, sejak dimulainya kembali agresi Israel pada 18 Maret, tentara telah mengeluarkan 31 perintah evakuasi, yang mencakup sekitar 229,4 kilometer persegi Gaza, perintah yang masih berlaku.

Jutaan Warga Dipaksa Mengungsi

Laporan terkini dari Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menyatakan sedikitnya 1,9 juta orang, atau hampir 90% dari populasi Gaza, telah mengungsi selama agresi. Banyak dari mereka mengungsi berulang kali, dan beberapa terpaksa mengungsi sepuluh kali atau lebih.

Blokade Zionis sepenuhnya menghancurkan kemampuan Gaza memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Menurut PBB, 96 persen ternak dan 99 persen unggas di Gaza telah mati.

Selain itu lebih dari 95 persen lahan pertanian Gaza sebelum perang tidak dapat digunakan, rusak parah atau tidak dapat diakses di dalam zona militer Israel.

Hampir seluruh populasi yang berjumlah lebih dari 2 juta orang telah diusir dari rumah mereka, dan sebagian besar harus pindah beberapa kali untuk menghindari serangan Israel.

Kemeriahan Idul Adha lewat takbir yang dikumandangkan di seluruh Gaza, bertepatan suara dentuman bom Zionis. Idul Adha yang semestinya penuh kebahagiaan, kurban, dan makanan, kini hampa bagi jutaan warga Palestina di Jalur Gaza.

Tradisi menyembelih hewan kurban nyaris tak terlihat di wilayah yang kini dipenuhi tenda pengungsian dan reruntuhan bangunan. Meski begitu, mereka tetap menjalankan shalat Ied di antara reruntuhan.

Mengutip WAFA, jumlah korban tewas di Jalur Gaza telah mencapai 54.772, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, sejak dimulainya agresi Israel pada Oktober 2023. Setidaknya 125.834 lainnya juga terluka.

Sumber-sumber medis mengonfirmasi bahwa dari total korban, sebanyak 4.497 warga sipil telah tewas dan 13.793 orang terluka sejak 18 Maret 2025, ketika pendudukan Israel melanjutkan agresinya di Jalur Gaza setelah melanggar perjanjian gencatan senjata.

Sumber menyatakan bahwa 95 warga sipil yang terbunuh dan 304 orang yang terluka dibawa ke rumah sakit di Gaza selama 24 jam terakhir. Jumlah korban masih belum lengkap, karena banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan, tidak dapat diakses oleh ambulans dan kru penyelamat.

Kantor Media Pemerintah di Gaza mengatakan bahwa jumlah jurnalis yang mati syahid di Jalur Gaza telah meningkat menjadi 225 orang sejak Oktober 2023.

Sejak 7 Oktober 2023, Israel telah melakukan genosida di Gaza, mengabaikan semua seruan dan perintah internasional dari Mahkamah Internasional untuk menghentikannya.

Genosida yang didukung Amerika Serikat, menyebabkan sebagian besar korban tewas dan terluka adalah anak-anak dan wanita, dan lebih dari 11.000 orang hilang. Ratusan ribu orang mengungsi, dan kelaparan merenggut banyak nyawa, termasuk anak-anak.

Kemunafikan Washington Terbongkar

Days of Palestine, pada Sabtu (7/6/2025) melaporkan dalam pengakuan mengejutkan yang mengungkap kontradiksi kebijakan luar negeri AS, mantan juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller telah mengonfirmasi bahwa Israel melakukan kejahatan perang di Jalur Gaza.

Pernyataannya, yang disampaikan dalam sebuah wawancara media setelah ia meninggalkan jabatannya, telah memicu badai kritik, yang menyoroti kebangkrutan moral dan akuntabilitas selektif pemerintah AS.

Tampil di podcast “Trump 100” melalui Sky News, Miller menyatakan, “Sudah pasti Israel melakukan kejahatan perang di Gaza,” ujarnya.

Ia menjelaskan pernyataan publiknya sebelumnya sejalan dengan kebijakan resmi AS, bukan keyakinan pribadinya. Meskipun pengakuan itu tampak berani di permukaan, para pengamat melihatnya sebagai upaya menit-menit terakhir untuk menjauhkan diri dari keterlibatan, yang disampaikan hanya setelah meninggalkan posisi berpengaruh.

Dalam upaya meredakan tekanan, Miller mengklaim kejahatan tersebut dilakukan prajurit perorangan, bukan sebagai masalah kebijakan negara.

Narasi ini, menurut para kritikus, sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab yang disengaja dan upaya terselubung untuk melindungi negara Israel dari label kekejaman sistematis.

Analis politik Dr. Hassan Mneimneh mengatakan, “Miller berusaha membersihkan catatannya. Namun dengan menyalahkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ia sengaja mengaburkan fakta tindakan Israel di Gaza kampanye militer yang disetujui negara—bukan serangkaian pelanggaran yang berdiri sendiri.”

Mantan Pejabat AS Cuci Tangan

Masa jabatan Miller ditandai pembelaan publik yang agresif terhadap tindakan Israel, sering kali menyangkal laporan kredibel dari badan dan media internasional yang mendokumentasikan kejahatan perang, termasuk penggunaan senjata yang dipasok AS terhadap sasaran sipil.

Kini, pembalikannya yang terlambat itu disambut dengan kemarahan publik.

Aktivis Prancis Arnaud Bertrand menulis, “Miller tahu kebenarannya, tetapi memilih untuk patuh. Ia tidak bisa membatalkan kebohongan selama berbulan-bulan hanya dengan satu kalimat.”

Bahkan, Profesor Oxford Alonso Gurmendi menambahkan, “Ia adalah juru bicara genosida. Sekarang keadaan sudah berubah, dia ingin turun dari kapal. Sudah terlambat.”

Peneliti Palestina Bashar Zaabi menanggapinya dengan dingin. Ia mengatakan, “Setiap hari Miller berdiri di podium itu sambil tersenyum sambil menyangkal kekejaman. Semua orang tahu. Biden tahu. Miller tahu. Harus ada pertanggungjawaban.”

Jurnalis Rana Ayyub dari The Washington Post ikut menanggapi pernyataan Miller. Ia bilang, “Tidak ada penebusan bagi Miller. Ia membantu membentuk narasi yang membenarkan genosida. Ia memungkinkan terbentuknya opini publik untuk menerima kematian warga Palestina sebagai kerusakan tambahan.”

Meskipun pengakuan Miller secara simbolis signifikan, para ahli hukum dan politik menekankan bahwa hal itu tidak membebaskan dirinya dan pemerintahan Biden dari keterlibatan apa yang disebut banyak orang sebagai genosida.

Selama masa jabatannya, Miller berulang kali menolak bukti terdokumentasi pelanggaran Israel—mengesampingkan kekhawatiran dari PBB, kelompok hak asasi manusia, dan jurnalis investigasi.

Masa jabatannya bertepatan dengan beberapa bulan paling mematikan bagi warga Palestina dalam sejarah terkini, di mana lebih dari 54.000 orang tewas atau terluka di Gaza, sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak.

Meskipun dokumentasinya sangat banyak, AS tetap melanjutkan transfer senjata, memveto resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata, dan melindungi Israel dari akuntabilitas internasional. Ini menjadikan Miller bukan sekadar juru bicara, tapi juga peserta aktif kampanye disinformasi yang lebih luas.

Yan Andri

× Image