Home > News

Dampak Efisiensi, Industri Perhotelan Kaltim Hadapi Tantangan Serius

Tanpa dukungan fiskal memadai, hotel dan restoran masih belum dapat merasakan dampak positif dari pelonggaran izin.
Karyawan membersihkan salah satu kamar di hotel. 
Karyawan membersihkan salah satu kamar di hotel.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM –Industri perhotelan di Kaltim tengah menghadapi dampak signifikan akibat efisiensi anggaran. Penurunan pendapatan hotel mulai terasa, memengaruhi berbagai aspek operasional, termasuk pemangkasan tenaga kerja dan penyesuaian layanan.

Efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah berdampak langsung pada sektor pariwisata dan industri perhotelan.

Sebagai upaya menjawab tantangan ini, Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur menggelar acara Bincang-Bincang Pariwisata I 2025, Bertempat di 29 Coffee and Eatery, belum lama ini.

Dengan mengangkat tajuk Pariwisata yang Kuat di Tengah Efisiensi Anggaran Kolaborasi dan Inovasi, kegiatan ini mempertemukan pelaku industri pariwisata, akademisi, dan pemangku kebijakan.

Untuk bertukar gagasan dan merumuskan strategi menghadapi realitas baru.

Kepala Dinas Pariwisata Kaltim, Ririn Sari Dewi menekankan pentingnya sinergi lintas sektor untuk memperkuat ketahanan industri pariwisata.

Pihaknya menyadari efisiensi anggaran membawa dampak besar terhadap kegiatan MICE, yang selama ini menjadi salah satu sumber utama pendapatan hotel.

“Namun di balik tantangan ini, ada peluang berinovasi dan memperkuat kolaborasi lintas sektor,” ujarnya, lewat keterangan resminya, dikutip Rabu (11/6/2025). Inovasi dan Kolaborasi dalam promosi dinilai menjadi titik terang bagi industri hotel.

Banyak mitra pariwisata kini mengandalkan kekuatan media sosial untuk menarik wisatawan. Hal ini terbukti efektif, dengan peningkatan kunjungan hotel yang signifikan dari kampanye digital.

Event-event berskala Nasional di Kaltim seperti Dekranasda Nasional, dan East Borneo International Festival pada Juli mendatang diharapkan membawa dampak positif.

Dengan agenda skala nasional akan mampu menyedot ribuan peserta dari berbagai daerah, bahkan internasional. Hal ini berpotensi mendongkrak okupansi hotel-hotel di Kaltim.

Ancaman PHK di Sektor Perhotelan

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB Arzeti Bilbina prihatin terhadap meningkatnya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perhotelan. Menukil laman PHRI, ia mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna melindungi pekerja di sektor tersebut.

“Sektor perhotelan merupakan tulang punggung ekonomi, terutama di kawasan bisnis dan wisata. Ancaman PHK massal di sektor ini tidak hanya berdampak pada pekerja, tetapi juga pada perekonomian nasional,” ujar Arzeti dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (10/6/25).

Menurut survei Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Khusus Jakarta (BPD PHRI DK Jakarta), 96,7 persen hotel di Jakarta mengalami penurunan tingkat hunian pada triwulan pertama tahun 2025.

Sebanyak 66,7 persen responden menyebut penurunan tertinggi dari segmen pasar pemerintahan, seiring kebijakan pengetatan anggaran yang diterapkan pemerintahan Prabowo. Dampak dari perununan tingkat hunian itu, 70 persen pengusaha hotel dan restoran Jakarta berencana melakukan efisiensi dan PHK.

Diperkirakan pengusaha hotel akan mengurangi 10-30 persen dari total jumlah karyawan.

Arzeti menambahkan meskipun sektor perhotelan belum tercatat secara spesifik dalam data PHK, tapi tren peningkatan PHK di sektor padat karya dapat menjadi indikator awal adanya ancaman serupa di sektor perhotelan.

Ia menekankan pentingnya pemerintah segera melakukan pemetaan risiko dan memberikan stimulus kepada industri perhotelan yang terdampak.

“Kami mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif segera membentuk satuan tugas khusus yang fokus pada pencegahan PHK di sektor perhotelan. Selain itu, perlu ada program pelatihan ulang dan peningkatan keterampilan bagi pekerja yang terdampak,” tegas Arzeti.

Arzeti itu juga mengatakan, pemerintah harus proaktif dan responsif menghadapi tantangan ini. Jangan sampai kehilangan momentum untuk melindungi pekerja dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Gelombang PHK di Indonesia terus terjadi. Data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menyebut pada Januari hingga Februari 2025, sebanyak 40.000 pekerja telah mengalami PHK, dengan konsentrasi tertinggi di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Tangerang.

Sedangkan Kementerian Ketenagakerjaan mencatat per April 2025 jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 24.360 orang atau rata-rata 6.090 orang per bulan.

Jangan Omon-omon

Dalam laporan Republika, Pemerintah melalui pernyataan Mendagri telah mengizinkan pemerintah daerah untuk bisa kembali menyelenggarakan kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) di hotel dan restoran.

Pelonggaran kebijakan ini disambut baik pelaku usaha perhotelan di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang selama ini terdampak pembatasan belanja perjalanan dinas. Kendati begitu, pelaku industri menekankan izin ini tidak akan berarti jika tidak disertai kelonggaran anggaran dari pusat.

Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo, mengatakan meski larangan penggunaan hotel dicabut, realisasinya tetap akan sulit jika anggaran Pemda masih oleh kebijakan efisiensi belanja pemerintah.

"Ya kami menyambut baik izin itu. Tapi kami harapkan kebijakan ini bukan omon-omon (omong kosong). Pemerintah daerah bisa melaksanakannya karena sudah tidak ada larangan lagi, tapi kalau anggarannya dari pusat tidak dibuka, ya tetap tidak bisa," ujar Deddy, Senin (9/6/2025).

Menurut Deddy, hambatan utama yang dihadapi Pemda saat ini Inpres Nomor 125 tentang efisiensi belanja pemerintah, yang belum mengalami pelonggaran.

Tanpa adanya dukungan fiskal yang memadai, hotel dan restoran masih belum dapat merasakan dampak positif dari pelonggaran izin tersebut.

"Kami tidak minta banyak. Cukup beri ruang untuk kami hidup kembali. Kalau Pemda dibolehkan tapi tak punya anggaran, ya sama saja bohong," ucapnya.

Ia tak menampik sudah mulai ada reservasi dari beberapa instansi, namun skalanya masih sangat kecil. Deddy menduga kegiatan yang sudah mulai berjalan hanya bersumber anggaran sisa tahun sebelumnya.

Karena itu, PHRI DIY kembali menekankan agar pemerintah pusat tidak hanya berhenti pada pelonggaran izin administratif, tapi juga memberikan fleksibilitas anggaran. Tujuannya agar sektor perhotelan bisa bergerak dan mendukung perekonomian daerah secara keseluruhan.

Yan Andri

× Image