Pesut Mahakam Terancam Punah, Degradasi Ekosistem dari Limbah Tambang

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Ancaman kepenuhan populasi pesut Mahakam (Orcaella brevirostris), semakin nyata. Saat ini keberadaannya hanya tersisa sekitar 62 ekor.
Penurunan populasi pesut Mahakam, dinilai Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq sebagai peringatan terkait krisis ekologi yang tengah dihadapi Sungai Mahakam.
Dalam pernyataan pada Jumat (4/7/2025), Menteri Hanif mengingatkan populasi pesut Mahakam—mamalia air tawar endemik Indonesia yang masuk dalam kategori satwa terancam punah—kini hanya tersisa sekitar 62 ekor.
“Angka ini bukan sekadar data statistik. Ini indikator kuat degradasi ekosistem yang memerlukan perhatian dan tindakan segera,” tegas Menteri Hanif.
Pesut Mahakam termasuk subpopulasi langka dari lumba-lumba Irrawaddy yang hanya hidup di Sungai Mahakam.
Dengan tubuh berwarna abu-abu, tanpa moncong, serta perilaku sosial yang kompleks, spesies ini menjadi simbol kekayaan hayati dan identitas budaya masyarakat Kaltim.
Namun, pesut kini berada di ambang kepunahan akibat kombinasi pencemaran limbah tambang dan domestik, tabrakan dengan kapal tongkang, serta praktik perikanan ilegal seperti penggunaan setrum dan bom ikan.
Ia menegaskan ancaman terhadap pesut Mahakam mencerminkan tekanan sistemik terhadap ekosistem sungai.
Penurunan populasi pesut menunjukkan keberlanjutan Sungai Mahakam sebagai sumber kehidupan bagi ribuan spesies dan masyarakat lokal kini berada dalam titik genting.
Pernyataan itu disampaikan usai peninjauan langsung ke kawasan Danau Mahakam—habitat utama pesut yang kian terfragmentasi—di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kamis (3/7).
“Pelestarian pesut Mahakam melampaui kepentingan satu spesies; ini adalah upaya vital menjaga keseimbangan ekologis Sungai Mahakam yang menopang kehidupan ribuan spesies dan masyarakat lokal,” ujarnya.
Konservasi pesut Mahakam menjadi bagian dari agenda prioritas nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan BPLH dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.
Untuk itu, diperlukan pendekatan kolaboratif dan lintas sektor yang menyatukan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, akademisi, masyarakat adat, dan LSM dalam kerangka kerja yang sinergis dan berbasis aksi nyata.
“Konservasi tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan sinergi dari hulu ke hilir, dari perumusan kebijakan hingga aksi nyata di lapangan. Partisipasi aktif masyarakat, khususnya generasi muda, sangat krusial dalam menemukan solusi yang berkelanjutan,” tegas Hanif Faisol Nurofiq.
Republika