Proyek Lamban Balikpapan

Terjadi lagi, proyek lamban di Kota Balikpapan. Kalau dulu, proyek penanganan banjir DAS Ampal, di Balikpapan Selatan.
Kini, giliran proyek pembangunan rumah sakit di Balikpapan Barat.
Dua-duanya sama besar anggarannya: jumbo. Kalau proyek DAS Ampal, nilainya Rp 136 miliar. Proyek ini menyedot perhatian publik. Sebab, dilaporkan ke Polda Kaltim dan KPK.
Tapi, laporannya tak ada kejelasan. Kasusnya menghilang. Seperti minyak yang menguap.
Kini giliran proyek rumah sakit. Padahal kontraktor pelaksana telah diberi tambahan waktu selama 180 hari kalender sejak Januari 2025. Seharusnya, proyek ini dijadwalkan tuntas akhir tahun 2024 silam.
Rumah Sakit Umum Balikpapan Barat dirancang jadi fasilitas layanan kesehatan tipe C dengan kapasitas 134 tempat tidur. Rumah sakit itu akan dibangun lima lantai.
Proyek ini dibangun di atas lahan reklamasi seluas 1,5 hektare. Sebagian besar lahannya berada di area yang terdampak air pasang. Anggarannya juga besar.
Tahap pertama pembangunan dikucur melalui cuan APBD 2024 sebesar Rp 106 miliar.
Pemerintah Balikpapan merencanakan cuan lanjutan sekitar Rp 60 miliar untuk tahun 2025. Namun akibat belum terserap, anggaran itu tercatat sebagai Sisa Lebih Perhitungan Anggaran alias Silpa.
Padahal proyek ini sangat dinantikan masyarakat.
Sampai kini di Balikpapan Barat, belum ada rumah sakit. Warga Balikpapan kerap mengandalkan RSUD Kanudjoso, milik Pemprov Kaltim, dan RSUD Gunung Malang milik Pemkot Balikpapan.
Mandeknya proyek ini mengusik Parlemen. Jelang penghujung Juli 2025, dari informasi yang diterima pihak Parlemen Balikpapan, pengerjaan fisik belum mengalami peningkatan siginifikan.
DPRD menerima laporan akhir proyek baru berjalan sekitar 12 persen. Itu pun di Januari silam.
Belum ada laporan terbaru, tapi Parlemen memastikan progresnya lamban. DPRD Balikpapan berencana akan memanggil pihak terkait dalam waktu dekat. Belum diketahui kapan pastinya.
Tapi, banyak yang pesimis. Sia-sia dipanggil kalau ujungnya juga tak jelas. Seperti kasus proyek DAS Ampal.
Jangankan dipanggil Parlemen, dilaporkan KPK saja tak ada kejelasannya.
Padahal, dalam rentang tahun 2021–2023, ada 312 aduan tindak pidana korupsi di Kaltim yang diterima KPK. Pengaduan terbanyak justru dari Balikpapan. Bukan dari Samarinda, yang notabene Ibu Kota Kaltim.
Jumlahnya 141 aduan. Sebagian besar terindikasi tindak pidana korupsi. Namun, tak ada satupun yang tuntas. Alih-alih adanya penetapan tersangka. Entah mengapa.
Mungkin belum cukup bukti. Kalaupun begitu, harusnya pihak terkait yang menelisik.
Tak perlu menanti pelapor memberi bukti. Apa kerja mereka kalau sudah ada laporan, ada ada indikasi, tapi tak didalami?
Sebab, selama ini kasus-kasus yang mencuat di Balikpapan, seakan seperti main sulap.
Muncul, membesar, menghilang. Begitu terus berulang-ulang. Polanya sama. Seakan mudah ditebak kemana ujungnya.
Saat berbincang dengan Sekjen MAKI, Komaryono, ia pun mengaku heran.
MAKI sendiri menjadi salah satu pelapor kasus dugaan korupsi penanganan banjir DAS Ampal. Beberapa tahun silam.
Ia seakan menyerah. Kasusnya, hilang.
Di tengah gencarnya Kejaksaan Agung mengungkap kasus-kasus koruptor jumbo nasional, banyak yang berharap: kapan giliran daerah diobarak-abrik? Kapan giliran Balikpapan?
Sudah terlalu lama membiarkan ‘permainan’ hingga membentuk zona nyaman. Raja-raja kecil di daerah, dinasti-dinasti di daerah makin subur. Semakin makmur. Dan tak lagi malu: memamerkan kekayaaan.
Berbeda dengan nasib rakyat, yang sudah berlelah-lelah mencari nafkah, masih dicekik aneka pajak. Hasil pajaknya pun dirampok para koruptor. Alamak.
Shalaallahu alaa Muhammad.
Rudi Agung