BPS: Gini Ratio Kaltim Naik Tipis, Ketimpangan Tetap Rendah

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Kalimantan Timur, yang diukur dengan Gini Ratio, menunjukkan sedikit peningkatan pada periode Maret 2025.
Demikian disampaikan Kepala BPS Provinsi Kaltim, Yusniar Juliana, dalam keterangan resminya, Senin (28/7/2025). “Angka ini tercatat sebesar 0,312, naik 0,002 poin dibanding dengan Gini Ratio September 2024 yang berada di angka 0,310,” jelasnya.
Yusniar menjelaskan Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,316, naik 0,001 dibanding Gini Ratio September 2024 yang sebesar 0,315.
Peningkatan juga terjadi di perdesaan. Yusniar menambahkan bahwa Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,287, naik 0,005 dibanding Gini Ratio September 2024 yang sebesar 0,282.
Meski terjadi kenaikan, distribusi pengeluaran di Kaltim masih dalam kategori ketimpangan rendah berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia.
Sebagai informasi, jika gini ratio 0 (nol), artinya ketimpangan pendapatan merata sempurna, setiap orang atau kelompok menerima pendapatan yang sama.
Sebaliknya, jika gini ratio satu, ketimpangan pendapatan timpang sempurna, yakni pendapatan hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok, sementara yang lainnya tidak sama sekali.
Dengan kata lain, semakin tinggi nilai gini ratio, semakin tinggi tingkat ketimpangan. Artinya, jurang ketimpangan pendapatan masyarakat semakin lebar. Kondisi tersebut dapat berkolerasi dengan tingkat kemiskinan.
Pada Maret 2025, persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di Kalimantan Timur adalah sebesar 21,76 persen.
Jika dirinci per wilayah di daerah perkotaan, angkanya tercatat sebesar 21,53 persen. Untuk daerah perdesaan, angkanya sebesar 22,87 persen.
“Mengindikasikan distribusi pengeluaran pada Maret 2025 masih tergolong dalam kategori ketimpangan rendah,” imbuhnya.
Dengan demikian, baik di perkotaan maupun perdesaan, ketimpangan pengeluaran di Kalimantan Timur termasuk dalam kategori rendah menurut kriteria Bank Dunia.
Kemiskinan di Kaltim Turun
Sebelumnya, persentase penduduk miskin di Kalimantan Timur pada Maret 2025 tercatat sebesar 5,17 persen. Angka ini menurun 0,34 persen poin dibanding September 2024, dan turun 0,61 persen poin dibandingkan Maret 2024.
”Jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 sebesar 199,71 ribu orang, menurun 12,2 ribu orang terhadap September 2024 dan menurun 21,63 ribu orang terhadap Maret 2024,” papar Yusniar, pada Jum’at (25/7/2025).
Jika dirinci berdasarkan wilayah, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2025 sebesar 4,16 persen, menurun dari 4,41 persen pada September 2024.
Sedangkan di wilayah perdesaan maret 2025 , tercatat sebesar 7,48 persen, turun dari 8,00 persen pada September 2024.
Dibanding September 2024, jumlah penduduk miskin Maret 2025 perkotaan menurun sebanyak 6,1 ribu orang dari 118,19ribu orang pada September 2024 menjadi 112,04 ribu orang pada Maret 2025.
Pada periode sama, jumlah penduduk miskin perdesaan menurun sebanyak 6,1 ribu orang dari 93,69 ribu orang pada September 2024 menjadi 87,63 ribu orang pada Maret 2025.
Garis Kemiskinan Maret 2025 tercatat sebesar Rp866.193/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp611.584 (70,61 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp 254.609 (29,39 persen).
BPS juga mencatat, rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin di Kalimantan Timur pada Maret 2025 adalah 5,24 orang. Dengan demikian, rata-rata Garis Kemiskinan per rumah tangga mencapai Rp 4.538.851 per bulan.
Angka Kemiskinan Nasional jadi Sorotan
Adapun angka kemiskinan secara nasional, sebagaimana diwartakan Republika, Kamis (12/6/2025) silam, angka kemiskinan di Indonesia kian menjadi sorotan.
Ini terjadi menyusul revisi garis kemiskinan dari Bank Dunia yang menunjukkan lonjakan jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai sekitar 195 juta jiwa atau 68 persen dari total populasi.
Berkaca dari data tersebut, tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat Indonesia tercatat mengalami kenaikan.
Data terbaru BPS mencatat, per September 2024 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan gini ratio sebesar 0,381. Angka tersebut mengalami peningkatan 0,002 poin dibanding gini ratio Maret 2024 sebesar 0,379.
BPS menjelaskan alasan belum mengadopsi garis kemiskinan Bank Dunia terbaru yang menggunakan purchasing power parity (PPP) 2021 dalam penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin ekstrem Indonesia pada Maret 2025.
Sebagai informasi, Bank Dunia belum lama ini memperbarui garis kemiskinan internasional yang menjadi standar tingkat kemiskinan ekstrem, dari 2,15 dolar Amerika Serikat/AS (PPP 2017) menjadi 3 dolar AS per kapita per hari.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono, menjelaskan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 masih menggunakan standar 2,15 dolar AS (PPP 2017).
Meski begitu, Ateng memastikan bahwa BPS telah menyesuaikan metodologi penghitungan dengan penyempurnaan dari Bank Dunia, termasuk penggunaan spatial deflator.
“Kami menyesuaikan metodenya, tapi PPP-nya kami masih tetap (PPP 2017), karena ini terkait dengan RPJMN 2025-2029, agar berkesinambungan untuk mengevaluasinya. Sementara World Bank kan baru rilis pada Juni yang lalu,” kata Ateng.
Sampai saat ini, Indonesia memang belum secara resmi mengadopsi PPP 2021 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional. Namun, BPS akan terus mengikuti perkembangan metodologi global, khususnya terkait pengukuran kemiskinan ekstrem.
“Kami masih menggunakan 2,15 dolar AS (PPP 2017) agar memperbandingkan dengan periode atau tahun-tahun sebelumnya,” kata Ateng.
Taufik Hidayat