Shalawatan, Shalawatan

Belakangan ini, beberapa dari kami punya kerinduan sama terhadap sosok Yai yang hidup tanpa sekat. Tanpa melihat pangkat. Tanpa memilih strata sosial.
Kerinduan itu tertuju pada sosok seorang guru yang egaliter, seperti orangtua. Juga, tempat berkeluh kesah para jamaah. Sering pula jadi tempat diskusi. Terutama soal politik. Kadang, geopolitik global.
Saya paling senang jika beliau berkisah sejarah. Beliau Kiai, tetapi menguasai banyak keilmuan.
Bukan saja agama, politik dan sejarah. Melainkan juga otomotif, ekonomi, hukum, keamanan, sosial, pendidikan, kesehatan. Seni, sastra, militer, sampai astronomi.
Bahkan, isu-isu nasional dan internasional juga sangat update. Kadang ada isu yang berkelindan hanya di kalangan wartawan, tapi beliau lebih paham substansi isunya.
Mengingatkan pada potret kisah-kisah ulama terdahulu.
Yang bukan saja menguasai satu atau dua bidang ilmu, tapi beragam. Nyaris di segala lini kehidupan. Sampai muncul pertanyaan liar: bagaimana cara belajarnya, ya?
Seperti kamus berjalan. Tema apa saja menguasai. Tidak pernah kehabisan kisah jika bersamanya. Saya serasa mengeruk lautan ilmu yang begitu dalam. Ilmu-ilmu yang sangat bergizi. Hadza min Fadhli Rabbi.
Bukan saja teori, tapi juga keindahan akhlaknya yang mengagumkan. Beliau seorang guru. Tetapi tidak pernah sekalipun menggurui. Bahkan, tak pernah menyalahkan. Padahal, jelas-jelas kita yang salah.
Beliau guru bagi banyak orang.
Saya bertanya pada salah satu santri beliau di Cirebon, Kang Ajat. Ia pun rindu, dan sama membuncahnya. Setahunan lebih tinggal di kediamannya. Diajak keliling beberapa kota.
Berkeliling dari gang-gang kecil, desa-desa, sampai ke rumah-rumah pejabat. Agendanya, silaturahmi, shalawatan dan yatiman: ngopi.
Saat ke rumah pejabat, beliau kerap memberi nasihat. Agar mereka selalu ingat, untuk: memikirkan umat, memberi manfaat bagi umat. Kadang kala, pejabat-pejabat itu disemprit. Dimarahi.
Kami yang melihatnya hanya saling tatap, senyum-senyum sendiri. Menahan tawa. Bagaimana pejabat yang besar di hadapan publik, berwibawa di layar kaca, lantas begitu ciut saat disemprit beliau.
Sempritan itu, yang sering kami dengar hanya ditujukan ke pejabat. Jarang sekali pada santri atau jamaahnya. Meski tato mereka dimana-mana.
Beliau memang dikenal merangkul siapapun. Dari kalangan manapun. Mulai anak-anak jalanan, preman, akademisi, wartawan, sampai pejabat teras. Meski begitu, tak pernah mau disebut guru.
“Saya bukan guru mereka, saya teman mereka. Mereka sudah pintar-pintar, tidak butuh guru,” ujarnya.
Beliau adalah KH Ayip Abdullah Abbas. Pengasuh Buntet, Cirebon, Jawa Barat. Tapi, tak pernah mau dipanggil guru, Kiai, Ulama, atau Habib. Tak mau. Yang ada, kita bisa disembur.
Beliau lebih suka dipanggil dengan sebutan: Kang atau Mang. Jadi, kami memanggilnya Kang Ayip.
Kang Ayip memilih menyingkir hidup di pedalaman, dibanding tinggal di Ponpes Buntet yang melegenda. Beliau ingin berkiprah di jalur lain, tapi dekat dengan wong cilik.
Jalan dakwahnya dengan mendekati anak-anak muda geng motor, anak jalanan, dan lainnya. Lewat Shalawatan dan yatiman.
Beliau konsisten mengemban jalan dakwah kultural. Blusukan di kampung-kampung dengan Shalawatan dan santunan anak-anak yatim.
Enggan sekali masuk ke ranah politik. Berkali-kali, tegas menolak masuk dalam lingkar kekuasaan. Meski begitu, circle penguasa kerap meminta wejangannya.
Kang Ayip pernah menempuh studi di Lucknow, Uttar Pradesh, India. Di bawah bimbingan Syekh Abul Hasan Ali Hasani An-Nadwi, ulama masyhur dari India, di kisaran abad 20.
Guru beliau lainnya, langsung belajar dari ayahnya: KH. Abdullah Abbas, beliau juga berguru kepada Syekh Abul Hasan Ali Hasani An-Nadwi, dan lainnya.
Kang Ayip nama lengkapnya KH Arif Abbas bin KH Abdullah Abbas bin KH Abbas bin KH Abdul Jamil bin KH Muta'ad. KH Muta’ad, menantu Mbah Muqoyim.
Adapun Mbah Muqoyim Mufti Kesultanan Cirebon pada era pemerintahan Sultan Khairuddin I atau Sultan Anom VI Muhammad Kamaroedin I.
Beliau keturunan kesebelas Sunan Gunung Jati.
Juga, cucu dari Kiai Abbas. Kiai Abbas dikenal sebagai salah satu komandan santri yang turut serta dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Kiai Abbas juga pernah memimpin laskar dari Cirebon dalam jihad mempertahankan kemerdekaan dari agresi pasukan sekutu. Pada Mei 2025, Kiai Abbas diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.
Kembali ke Kang Ayip. Kalau berkeling, biasanya kami bertiga sampai berlima, dengan mobil beliau. Sopirnya, ya, beliau sendiri. Bensinnya juga dari beliau.
Saya pernah bertanya, kenapa tak mau disopiri.
Jawabnya, “Kalau disopirin, itu namanya bukan melayani umat. Tapi dilayani umat.”
Beliau baru mau menggunakan sopir atau disopiri, hanya beberapa tahun jelang wafatnya. Rahmat, nama sopir yang mendampinginya.
Kini, Rahmat mengabdi pada salah satu fungsionaris sentral di sebuah partai besar. Kang Ayip memanggilnya: Si Kriwil.
Tetapi berbelas tahun mengenal Kang Ayip, tak pernah ada sopir. Tak mau juga disopiri.
Kalau tengah berkeliling, di mobilnya sering kali Kang Ayip mendengarkan lagu dari Umm Kulthum.
Terutama saat perjalanan jauh. Para santri dan atau siapapun yang pernah bepergian satu mobil bersama beliau, tentu tidak asing dengan lagu-lagu Umm Kulthum.
Dulu, semasa hidupnya kalau sedang tak bersama Kang Ayip, beliau seringkali mengirim pesan elektronik. Isinya, singkat: “Shalawatan, shalawatan. Ngopi, ngopi.”
Tetapi, kalau mendekati hari Jumat, isi pesannya:
“Assalamu Alaikum Wr Wb SHOLAWATAN Jum'at mlm Sabtu, jam 10 mlm.di kp.dukuh ds Padabeunghar kec.Pasawahan kab.Kuningan Jabar. Wassalam, AYIP ABBAS."
Jamaah shalawatan yang datang ke gunung atau perpus –sebutan kami tentang kediamannya, beragam. Dari berbusana kaos oblong, baju koko, sampai yang bertato. Dari preman sampai pejabat kenamaan.
Kediaman lamanya, masih di Padabeunghar, seperti dua rumah. Satu untuk beliau dan keluarga, satunya untuk jamaah yang menginap. Banyak buku-buku laiknya perpustakaan.
Saya sering mendapat PR. Diminta baca beberapa buku, lalu direview, kemudian didiskusikan. Cara ciamik untuk mengajak berpikir. Berguru, tanpa digurui sama sekali. Mendidik, dengan cara yang unik.
Kalau beliau ke Jakarta, kerap mampir di kawasan Selatan. Ke kompleks rumah dinas DPR, di Kalibata. Kalau menginap di Timur, terbilang cukup sering di tempat satu jamaah, Bang Didit namanya.
Kalau ke sana, Kang Ayip tidurnya di ubin. Tanpa alas. Tak mau di kamar. Selimut pun tak mau. Berkali-kali begitu.
Salah satu kerabat dekat Kang Ayip, KH Muchtaruddin, kerap disapa Gus Muchtar atau Cak Tar, pernah berkisah perjuangan mereka saat masa mudanya. Dari satu kota ke kota lain. Begitu getir mendengarnya.
Kemana-mana, Kang Ayip selalu menggaungkan shalawatan dan yatiman.
Mengajak menjadikan shalawat serta menyangangi anak yatim sebagai salah satu kebutuhan hidup. Bukan sekadar ibadah semata. Tapi kebutuhan jiwa. Salah satu makanan rukhiyah kita.
Ada salah satu nasihat yang terus menancap di kepala:
“Kita mau ngandelin apa. Kalau tanpa Syafaat Kanjeng Nabi, kita bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, tidak akan selamat. Banyak-banyak shalawat, ampunan Nya lebih cepat dari istighfar.”
Pesan itu disampaikan dengan santai, di kediamannya. Ringan, tapi sarat makna, dan menancap di kepala. Terngiang-ngiang di telinga. Berputar di memori. Sampai hari ini.
Iya ya, siapa kita: tanpa Rahmat Allah, tanpa kasih sayang Rasulullah?
Pesan beliau, dengan shalawat, bisa mudah membuka banyak pintu. Dengan shalawat, melembutkan hati. Menenangkan jiwa. Menyegarkan pikiran. Obat dari segala obat. Siapa tahu, bisa memperbaiki akhlak.
Shalawatan ini yang menjadi kegemarannya. Beliau mengajak orang bershalawat bersama. Membentuk majelis-majelis Shalawat yang dipimpin langsung olehnya di berbagai tempat.
Kang Ayip dimakamkan pada Sabtu 7 Maret 2020 di Makbaroh Ganjang Ngambung, Pondok Buntet Pesantren.
Kala itu, lautan manusia pengantar jenazahnya menyemut, mengular dari masjid tempat dishalati, sampai kompleks pemakaman.
Kami termasuk orang-orang beruntung, sering diajak beliau berkeliling. Dengan mobilnya. Kijang kapsul yang kokoh menanjak dan berbelok. Sesekali suka mogok. Berkeliling kemana-mana.
Bersilaturahmi, ngopi-ngopi, sekalian mengingatkan kita agar terus bershalawat. Sungguh, kami rindu: tawa kelakar, candaan, dan bimbinganmu. Al Fatihah untuk Kang Ayip.
Shalaalahu alaa Muhammad.
Rudi Agung