Familisida: Ketika Kematian Sekeluarga Dianggap sebagai Jalan Pilihan

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Kasus tewasnya dua anak di Pantai Sigandu Kabupaten Batang, Jawa Tengah, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, masuk katgeori familisida.
Keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman, wadah cinta, dukungan, dan perlindungan tumbuh subur. Namun, di balik dinding rumah tangga, kadang tersembunyi fenomena gelap yang mengguncang nurani: familisida.
Istilah ini mungkin asing di telinga sebagian besar masyarakat, namun kasus-kasus tragisnya sesekali mencuat ke permukaan, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan besar.
Apa sebenarnya familisida? Mengapa seseorang tega melakukan tindakan sekeji ini terhadap anggota keluarganya sendiri?
Familisida bukan sekadar pembunuhan biasa. Ini tindakan satu atau lebih anggota keluarga membunuh anggota keluarga lainnya.
Korban bisa jadi pasangan, anak-anak, atau bahkan kerabat dekat lainnya yang tinggal serumah.
Kasus-kasus ini seringkali menyisakan trauma kolektif bagi masyarakat dan menimbulkan berbagai spekulasi tentang motif di baliknya.
Fenomena ini menjadi perhatian serius bagi para ahli psikologi, sosiologi, dan kriminologi karena kompleksitas motif dan dampaknya yang masif.
Memahami familisida bukan berarti membenarkan tindakan tersebut, melainkan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor pemicu dan mencari solusi pencegahan yang lebih efektif.
Sayangnya, data mengenai familisida seringkali sulit dikumpulkan secara komprehensif karena sifatnya yang sangat sensitif dan pribadi.
Meskipun pemberitaan media seringkali berfokus pada detil sensasional, penting bagi semua pihak untuk melihat familisida sebagai masalah sosial yang memiliki akar kompleks.
Ini bukan sekadar tindakan individual, melainkan cerminan dari tekanan psikologis, masalah keuangan, krisis hubungan, atau bahkan kondisi kesehatan mental yang tidak terdiagnosis dan tidak tertangani.
Dengan mengenal lebih jauh tentang familisida, diharapkan masyarakat menjadi lebih peka terhadap tanda-tanda bahaya dalam hubungan keluarga.
Lalu, berani mencari bantuan profesional jika menghadapi masalah yang pelik. Edukasi dan kesadaran menjadi langkah awal mencegah tragedi serupa terulang kembali.
Tipologi dan Motif di Balik Tindakan Familisida
Sejumlah literatur mengidentifikasi beberapa tipologi umum dalam kasus familisida, meski setiap kasus memiliki keunikan tersendiri.
Salah satu tipologi yang sering disebut adalah familisida altruistik, yakni pelaku meyakini bahwa mereka melakukan tindakan itu demi "kebaikan" korban.
Misalnya, untuk menyelamatkan anak-anak dari penderitaan yang lebih besar, entah itu kemiskinan, penyakit kronis, atau dunia yang dianggap kejam.
Meskipun terdengar paradoks, motif ini seringkali berakar pada gangguan mental yang parah.
Tipe lain adalah familisida anihilasi, yaitu pelakunya seringkali sebagai kepala keluarga, merasa telah kehilangan kendali atas hidupnya.
Merasa gagal memenuhi ekspektasi, atau terjerat masalah keuangan yang mendalam.
Mereka melihat pembunuhan seluruh anggota keluarga sebagai satu-satunya "jalan keluar" mengakhiri penderitaan bersama, bahkan seringkali diakhiri dengan bunuh diri pelaku.
Ini bentuk keputusasaan ekstrem yang memerlukan perhatian serius terhadap isu kesehatan mental dan tekanan ekonomi.
Selain itu, ada pula familisida bermotif balas dendam atau kontrol. Trejadi saat pelaku ingin menghukum anggota keluarga atas perceived "kesalahan" atau untuk menegaskan dominasi.
Kasus ini seringkali terkait dengan riwayat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik fisik maupun emosional, pelaku merasa hak-hak atau kekuasaannya terancam. Menunjukkan betapa bahayanya dinamika kekuasaan yang tidak sehat dalam keluarga.
Motif umum lainnya yang kerap muncul adalah psikosis dan gangguan mental berat. Pelaku mungkin mengalami delusi, halusinasi, atau depresi berat yang tidak tertangani, sehingga kemampuan mereka untuk membedakan realitas dan fantasi terganggu.
Dalam kondisi ini, mereka bisa saja mendengar "perintah" atau memiliki keyakinan irasional yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan kekerasan.
Pentingnya deteksi dini dan penanganan gangguan mental menjadi sangat relevan di sini.
Tidak jarang, kombinasi dari beberapa faktor di atas turut berperan dalam memicu tindakan familisida. Stres akumulatif, penyalahgunaan zat, isolasi sosial, dan kurangnya akses terhadap bantuan profesional juga dapat memperparah kondisi.
Memahami tipologi dan motif ini membantu para ahli dalam mengembangkan pendekatan pencegahan yang lebih terarah dan efektif.
Faktor Pemicu dan Pencegahan: Memutus Rantai Kekerasan
Meski motifnya bervariasi, ada beberapa faktor pemicu umum yang sering ditemukan dalam kasus familisida. Yakni: kesehatan mental yang terganggu, seperti depresi berat, psikosis, atau gangguan kepribadian, menjadi faktor paling dominan.
Seringkali, kondisi ini tidak terdiagnosis atau tidak mendapatkan penanganan yang memadai, sehingga berujung pada perilaku destruktif.
Tekanan finansial yang ekstrem juga seringkali menjadi pemicu, terutama bagi kepala keluarga yang merasa terjebak dalam utang atau kehilangan pekerjaan.
Beban ekonomi yang berat dapat memicu keputusasaan dan pikiran irasional untuk "mengakhiri" masalah tersebut dengan cara yang tragis.
Kondisi ini diperparah jika tidak ada sistem dukungan sosial atau akses ke bantuan keuangan.
Riwayat KDRT, baik sebagai pelaku maupun korban, dapat menjadi prekursor. Lingkungan yang toksik dan penuh kekerasan dapat menciptakan siklus di mana kekerasan menjadi solusi (yang keliru) untuk masalah, bahkan hingga level yang paling ekstrem.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan KDRT memiliki risiko lebih tinggi untuk terlibat dalam siklus kekerasan di kemudian hari.
Isolasi sosial dan kurangnya sistem pendukung juga memperburuk situasi. Ketika seseorang merasa terputus dari keluarga besar, teman, atau komunitas.
Biasanya mereka kehilangan saluran untuk meluapkan masalah dan mendapatkan dukungan. Ini bisa membuat mereka terperangkap dalam pikiran gelap tanpa ada jalan keluar yang terlihat.
Pencegahan familisida memerlukan pendekatan multisektoral.
Edukasi masyarakat tentang kesehatan mental adalah kunci, mendorong individu mencari bantuan tanpa stigma. Penyediaan akses mudah dan terjangkau ke layanan konseling dan psikoterapi sangat krusial.
Selain itu, penguatan jaring pengaman sosial dan ekonomi untuk keluarga yang rentan, serta penegakan hukum yang tegas terhadap KDRT, menjadi alternatif langkah penting untuk memutus rantai kekerasan. Ingatlah, keluarga yang sehat adalah fondasi masyarakat yang kuat.
Jika menyaksikan atau mengalami orang terdekat tertimpa masalah serupa, jangan ragu mencari bantuan dari profesional atau lembaga terkait.
Ciri-Ciri Famlicida
Istilah familicida berasal dari kata Latin familia (keluarga) dan cida (membunuh), yang secara harfiah berarti pembunuhan terhadap anggota keluarga oleh anggota keluarga sendiri.
Kasus ini menjadi salah satu bentuk kejahatan domestik paling ekstrem.
Familicida berbeda dengan pembunuhan biasa karena dilakukan pelaku yang memiliki hubungan emosional dan biologis langsung dengan korban, seperti ayah, ibu, pasangan, atau anak.
Menurut laporan American Psychological Association (APA), familicida sering kali berkaitan tekanan psikologis, gangguan mental, konflik rumah tangga, atau dorongan kontrol ekstrem dalam hubungan kekeluargaan.
Familicida biasanya diawali dengan tanda-tanda tekanan emosi mendalam, seperti menarik diri dari lingkungan, ancaman verbal, atau obsesi pada kontrol.
Dalam banyak kasus, pelaku juga menunjukkan niat bunuh diri setelah melakukan aksinya.
Kasus familicida juga tidak terbatas pada satu gender; baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi pelaku, meskipun studi menunjukkan bahwa mayoritas kasus pelaku adalah pria, terutama dalam konteks kekerasan berbasis patriarki.
Bukan Hanya Gangguan Jiwa
Familicida bukan hanya hasil dari gangguan jiwa, tapi juga bisa dipicu faktor ekonomi, perceraian, pengkhianatan pasangan, atau rasa kehilangan kendali terhadap keluarga.
Kombinasi tekanan ini memunculkan dorongan fatal terhadap orang-orang terdekat.
Menurut KPAI, kasus ini kerap meningkat di akhir dan awal tahun.
Terutama saat tekanan ekonomi membesar akibat tagihan utang, khususnya pinjaman online. Situasi ini kerap menimbulkan keputusasaan yang berujung tindakan fatal: dari luka ampai kematian tragis.
Familicida kadang muncul sebagai “murder-suicide pact” atau perjanjian bunuh diri dan pembunuhan. Pelaku meyakini membunuh keluarganya adalah “penyelamatan” dari penderitaan dunia.
Di Indonesia, beberapa kasus familicida mendapat sorotan media karena pelakunya tampak seperti figur keluarga ideal, yang menunjukkan tindakan ini sering kali tersamar di balik citra normal.
Dampak familicida terhadap lingkungan sosial sangat besar.
Selain memunculkan trauma kolektif di masyarakat, tindakan ini juga membuka perdebatan soal kesehatan mental dan kurangnya sistem deteksi dini di lingkungan keluarga.
Menurut LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), upaya pencegahan familicida bisa dimulai dari pendampingan psikologis intensif, konseling keluarga, dan kampanye kesadaran akan pentingnya deteksi dini kekerasan domestik.
Upaya Pencegahan dan Peran Masyarakat
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan pentingnya penguatan sistem perlindungan keluarga dan anak, termasuk membentuk pos layanan terpadu di tingkat RT/RW.
Banyak pihak juga menyarankan setiap keluarga perlu memiliki akses terhadap layanan kesehatan mental, terutama dalam mengatasi stres, kecemasan, dan konflik rumah tangga.
Deteksi dini bisa dilakukan dengan memperhatikan perubahan perilaku anggota keluarga. Seperti meningkatnya agresivitas, ketakutan yang tidak wajar, atau pengasingan sosial yang ekstrem.
Tanda-tanda ini harus ditindaklanjuti melalui pendekatan profesional.
Media juga memegang peran penting mengedukasi masyarakat tentang familicida tanpa mengeksploitasi kasus. Agar publik tak hanya menjadi penonton pasif, tapi juga menjadi bagian dari solusi dan pencegahan.
Singkatnya, familicida bukan sekadar kejahatan rumah tangga, tetapi krisis kemanusiaan yang menuntut perhatian semua pihak. Pencegahan dimulai dari komunikasi terbuka dalam keluarga, edukasi emosi, dan intervensi dini terhadap kekerasan domestik.
Yan Andri, berbagai sumber