Home > Kolom

Bapak Joao dan Sudewo

Kita butuh partai yang benar-benar komitmen berpihak ke rakyat. Berani mengeluarkan kadernya, jika sudah membuat kecewa dan melukai hati konstituennya.
Pengunjuk rasa terluka dalam aksi menuntut Bupati Pati, mundur dari jabatannya. 
Pengunjuk rasa terluka dalam aksi menuntut Bupati Pati, mundur dari jabatannya.

Keduanya, sama-sama pejabat. Sama penting kebijakannya, berdampak ke banyak orang. Hanya beda kewenangan.

Bapak Joao, lengkapnya: Joao Angelo De Sousa Mota, Direktur Utama Agrinas Pangan Nusantara. Mengurusi soal pangan. Sosok yang dinilai termasuk lingkaran dekat Presiden Prabowo.

Tapi secara mengejutkan, Joao mengumumkan pengunduran dirinya. Tak ada yang memaksa. Selain nurani, integritas dan moralitasnya.

Ia mundur, meminta maaf dengan menundukkan kepalanya. Mundur, karena merasa gagal mewujudkan ketahanan pangan.

Joao, rela melepas jabatannya sebagai Direktur Utama perusahaan pelat merah. Sebuah jabatan, yang jika dilombakan: bakal banyak peminatnya. Mengejar, segala cara.

Tapi bagi Joao, meski jabatan bergengsi itu sudah di genggaman, tapi karena merasa gagal, ia tak mau mempertahankan. Padahal baru menjabat enam bulan. Ia lebih memilih menjaga integritasnya.

Jabatan bergengsi itu pun dilepasnya. Ia mengaku, sektor pangan hal mendesak yang menjadi prioritas Presiden Prabowo, tapi ia terhambat panjangnya proses administrasi yang dinilai berbelit.

Ia memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawabnya. Merasa malu memimpin, tapi tak berkontribusi.

Bisa jadi, Joao, bakal tercatat sebagai pejabat langka di Indonesia di era kekinian. Yang berani mengakui kesalahan, lalu mundur dengan kesadaran yang meletup dari jiwanya.

Meski termasuk sosok yang dekat dengan lingkaran Istana. Tetap mundur, tanpa ada paksa. Tanpa ada desakan massa.

Melihatnya meminta maaf, tundukan kepala, mundur dengan kesadarannya: kita seakan menyaksikan sikap dari seorang pejabat Jepang. Yang terkenal dengan moral dan integritasnya yang apik.

Maka tak ada satupun publik yang memandangnya dengan cela. Padahal ia sudah bilang sendiri, "Saya gagal," tapi yang datang adalah pujian. Tak ada hujatan.

Yang datang, justru kemuliaan. Beliau akan menjadi teladan di tengah krisis moral dan mental kita yang kini sedang sakit. Mungkin, sakit parah.

Betapa seringnya, selepas kepemimpinan era SBY, bangsa ini disajikan sikap dan ucap pejabat tinggi yang kerap melukai hati rakyat.

Cabai langka, gak usah makan sambel. Beras langka, disuruh makan sagu.

Harga pangan melambung tinggi, diminta tanam cabai di rumah. Media tengah diteror kepala babi, bilangnya tinggal dimasak saja.

Rakyat hidup kesulitan, pejabat joget sambil sawer biduan. Masyarakat butuh pekerjaan, diminta cari kerja ke luar negeri.

Lahan warisan nganggur bisa disita negara. Lahan turun temurun dari leluhur dibilang tanah ini bukan milik Mbahmu. Semua milik negara, katanya.

Sikap dan ucap yang melukai hati rakyat itu, dilontarkan dengan santai. Tanpa beban. Tanpa dosa. Saat muncul gelombang kritik, dibilang hanya bercanda. Innalillahi wainnailaihi rajiun.

Ada apa dengan moralitas, mental dan integritas kita?

Ada apa dengan pejabat kita? Bahkan saat pejabat tersandung korupsi pun, masih bisa dada dada riang gembira, melempar senyumnya. Dimana rasa malunya?

Dulu, kalau ada anak distrap guru berdiri di depan kelas saja: malunya berhari-hari. Bisa-bisa terbawa mimpi. Tapi di era sekarang, pejabat merampok uang rakyat masih bisa memasang wajah gembira riang.

Menunjukan wajah terbaiknya di depan kamera. Entah dimana rasa malunya. Padahal, malu bagian dari iman. Ah, tapi tak elok bicara keimanan, toh para pejabat kita sangat berani bersumpah dengan Kitab Suci. Pasti imannya tebal sekali.

Hidupnya sangat dekat dengan Sang Maha. Paham betul segala risiko amanahnya, yang sudah menanti di liang lahadnya.

Apalagi, amanah untuk mengurus urusan banyak orang. Seperti mantan Anggota DPR RI yang kini ganti kursi jadi bupati Pati. Ia tahu diberi amanah dari rakyatnya.

Tahu pula amat besar tanggung jawabnya. Namun di kala jabatan sudah di tangan, malah bikin kebijakan sekenanya.

Diprotes warganya, malah menantang turunkan massa ribuan, bahkan puluhan ribu. Tak akan gentar, tak bakal ubah kebijakan, bilangnya.

Ketika rakyat menerima tantangannya, ia menganulir kebijakannya. Tapi rakyat terlanjur kecewa dengan arogansinya dan mendesaknya mundur, tapi kok malah tidak mau.

Sudah jelas ucap dan sikapnya melukai, lalu didesak lepas kursi, masih bergeming. Puluhan rakyatnya terluka hanya untuk memintanya turun dari jabatan. Tapi, masih juga enggan.

Ogah lepas kursi, berdalih karena dipilih lewat konstitusi. Namun ketika konstituennya mendesaknya mundur, tetap tak mau. Nurani dan akal sehat kita benar-benar sulit mencerna sikap dan sifat seperti ini.

Bagaimana mau memimpin kalau yang dipimpinnya sudah tak mau? Bisa dipastikan tak akan nyaman.

Bupati Pati sepertinya perlu belajar dari mendiang Soeharto. Ketika sudah sangat nyaman di zona 32 tahun kekuasaan, eh rakyat sudah tak mau dipimpinnya lagi. Tak menolak, beliau pun rela melepas kursi.

Tak main-main, yang dilepasnya kursi kepresidenan. Bukan lagi kursi kelas bupati. Puluhan tahun duduk empuk di kursi kekuasannya. Rentang waktu yang masih sangat jauh digapai Sudewo. Sampai Istana juga mengingatkan.

Lalu kenapa ia enggan lepas kursinya? Padahal sudah jelas telah mencedarai kepercayaan konstituennya. Yang ikut bikin geram publik se-Indonesia Raya.

Rakyat makin kecewa ketika viral video sawer-sawerannya, bersikap arogan menantang rakyatnya, hingga muncul pula keterangan KPK yang mengungkap dugaan sandungan hukum di masa lalunya.

Joao dan Sudewo menjadi cermin kontradiktif dua wajah pejabat Indonesia hari ini. Menjadi renungan kita bersama, jelang hari besar Kemerdekaan yang akan memasuki usia 80 tahun.

Kita merindukan pejabat-pejabat seperti Bapak Joao.

Di usia negeri yang sudah tua, seharusnya tak ada lagi pejabat-pejabat arogan dan serampangan dalam bersikap dan ucap.

Sejatinya, pejabat itu pelayan rakyat. Gaji mereka dari hasil keringat masyarakat.

Tapi, pelayan rakyat saat ini seakan sudah hilang ditelan zona nyaman. Munculnya nanti, hanya tiap lima tahun sekali. Mengemis, menghiba suara.

Apakah sistem demokrasi kita sudah serusak ini?

Sepertinya perlu kajian ulang sistem kepemiluan, butuh rumusan matang memperbarui sistem yang bisa mencetak pejabat-pejabat solutif, dan berani mundur saat gagal. Atau saat rakyat mendesaknya.

Kita pun butuh partai yang benar-benar komitmen berpihak ke rakyat. Berani mengeluarkan kadernya, jika sudah membuat kecewa dan melukai hati konstituennya.

Shallallahu alaa Muhammad.

Rudi Agung

× Image