Home > News

Pakar Teknologi Pangan: Deteksi Menu MBG Jangan Dibebankan ke Siswa

Potensi bahaya dalam makanan tak selalu dapat terdeteksi melalui visual, aroma, rasa, atau tekstur.
Personel Inafis dan Tipidter mengambil sampel MBG.
Personel Inafis dan Tipidter mengambil sampel MBG.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Untuk mengantisipasi terjadinya kasus keracunan pada menu Makan Bergizi Gratis- MBG, pakar teknologi pangan dari UGM, Prof Sri Raharjo menilai perlu perhatian khusus terhadap proses pengolahan hingga pengemasan makanan.

Selain itu, perlu diperhatikan juga waktu pengolahan hingga makanan dikonsumsi siswa. Bahkan perlu diruntut satu per satu dari isi tray makanan.

Ia juga mengingatkan, tanggung jawab mendeteksi makanan yang berpotensi beracun dalam program MBG jangan sampai dibebankan kepada siswa.

Prof Sri Raharjo, menekankan pengetahuan siswa mengenai kontaminasi makanan masih terbatas.

la menjelaskan potensi bahaya dalam makanan tidak selalu dapat terdeteksi melalui visual, aroma, rasa, atau tekstur, karena makanan yang terkontaminasi bisa saja tampak normal.

Potensi kontaminasi justru bisa berasal dari bahan baku yang mengandung bakteri patogen yakni bakteri penyebab penyakit.

"Persoalan pangan yang tidak aman itu tidak selalu dibersamai tanda-tanda katakan pembusukan gitu. Ada yang terlihat aman-aman saja, tapi ternyata terkontaminasi patogen. Bakteri patogen itu walau jumlahnya tidak perlu banyak, tapi bisa menimbulkan sakit," ujarnya, dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (4/10/2025).

Menurutnya, bakteri patogen tidak selalu membuat aroma dan rasa makanan menjadi tak enak.

la mengungkapkan dalam kasus keracunan massal di sejumlah sekolah di Indonesia, diperkirakan terdapat potensi bahaya yang memang tidak mampu dideteksi oleh siswa.

Selain itu, reaksi keracunan dari setiap kasus pun berbeda-beda. Tidak semua bereaksi langsung dengan memuntahkan makanan.

Prof Sri mengingatkan reaksi bisa muncul kapan saja dan korban tidak selalu merasa mual atau muntah-muntah. "Dalam satu tray makanan yang macam-macam itu, kira-kira yang berkontribusi keracunan itu dimana? Nasi, lauk, atau sayurannya kah? Gitu kan? Nanti juga diperiksa proses penyiapannya," kata Sri.

la menyebutkan salah satu menu di MBG yang memiliki potensi besar menyebabkan keracunan adalah lauk. Pengolahan lauk memerlukan waktu dan pemanasan yang cukup agar dapat mematikan atau mengurangi bakteri di bahan mentahnya.

Adapun terdapat keterbatasan waktu, alat, hingga Sumber Daya Manusia dari pihak penyedia MBG. "Terpenting, pengadaan bahan mentahnya, bahan segarnya entah itu daging, ikan atau sayurannya itu, usahakan memang kondisinya bersih cemarannya dan belum tinggi," jelasnya.

Selain itu, kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) perlu diperhitungkan kembali. Pasalnya, target yang dipatok pemerintah untuk setiap SPPG memenuhi kurang lebih 3.000 pack MBG terlihat melebihi kapasitas satu dapur umum.

Sehingga kontrol terhadap makanan yang dipersiapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan.

Pemicu Keracunan

Ihwal peristiwa yang menimpa siswa di Kabupaten Bandung Barat karena keracunan usai mengonsumsi menu MBG, Tim Investigasi Independen Badan Gizi Nasional menyimpulkan senyawa nitrit menjadi pemicu gejala keracunan yang dialami 1.315 siswa di Bandung Barat.

Gejala itu terjadi setelah para siswa menyantap hidangan MBG yang disiapkan tiga Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG yang berbeda.

“Kami berkesimpulan, senyawa nitrit menjadi penyebabnya,” kata Ketua Tim Investigasi Independen Badan Gizi Nasional, Karimah Muhammad Apt, Jumat (3/10/2025).

Karimah menginvestigasi kasus ini dengan bertemu para korban, menemui para dokter yang menangani korban di Puskesmas Cipongkor dan RSUD Cililin.

Termasuk mempelajari pola gejala utama korban, mengecek obat-obatan yang diberikan di puskesmas dan RSUD kepada para korban, serta mempelajari hasil uji mikrobiologi dan toksikologi dari Laboratorium Kesehatan Daerah Jabar, yang menguji sampel dari SPPG maupun dari sisa makanan di sekolah.

Hasilnya, “Ditemukan kadar nitrit yang sangat tinggi di buah melon dan lotek dari sampel sisa sekolah,” katanya.

Menurut Karimah, masing-masing jenis sampel yang diuji, terdapat 3,91 dan 3,54 mg/l nitrit. Padahal, jika merujuk EPA (US Environmental Protection Agency): kadar maksium nitrit yang boleh dikonsumsi dalam minuman adalah 1 mg/l. Sementara Otoritas Kesehatan di Kanada menetapkan 3 mg/l.

“Jadi kalau merujuk standar EPA, maka kadar nitrit dalam sampel sisa makanan di sekolah hampir 4 kali lipat dari batas maksimum,” ujarnya.

Secara alamiah, lanjut Karimah, sebagian buah-buahan dan sayur-sayuran memang mengandung nitrit. Kadarnya bisa meningkat karena hasil kerja bakteri, yang bisa mengubah nitrat menjadi nitrit, atau sebaliknya.

“Pola gejala yang ditunjukkan para korban sejalan gejala keracunan nitrit, yang mendominasi efek di saluran pencernaan bagian atas, misal: mual, muntah atau nyeri lambung, sebanyak 36 persen. Bukan di saluran pencernaan bagian bawah, misal diare,” jelasnya.

Republika

Image
Republika Network

Sekitarkaltim.ID -

× Image