Home > Mancanegara

Pengadilan Israel Izinkan Penahanan Jenazah Anak Palestina untuk Alat Negosiasi

Total 668 jenazah yang ditahan penjajah zionis, 45 di antaranya jenazah anak di bawah umur.
Wadia Shadi Sa’d Elyan, anak Palestina. (courtesy Adalah via RTRGlobal)
Wadia Shadi Sa’d Elyan, anak Palestina. (courtesy Adalah via RTRGlobal)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Mahkamah Agung Israel terus menahan jenazah Wadia Shadi Sa'd Elyan yang berusia 14 tahun, dalam keputusan yang sangat kontroversial dan menuai kritik tajam dari para pembela hak asasi manusia.

Putusan tersebut, yang disampaikan pada 31 Juli 2025, mengizinkan militer Israel untuk menyimpan jenazah anak tersebut tanpa batas waktu sebagai alat tawar-menawar potensial dalam negosiasi masa depan dengan Hamas, menurut Days of Palestine, Sabtu (15/8/2025).

Meskipun pengadilan memahami ada kekhawatiran serius tentang legalitas dan moralitas praktik tersebut berdasarkan hukum domestik dan internasional.

Wadia Shadi Sa'd Elyan yang berusia 14 tahun, anak laki-laki Palestina dari Yerusalem yang diduduki yang ditembak mati pasukan Israel pada 5 Februari 2024. Ia ditembak di dekat permukiman Israel Ma'ale Adumim di Tepi Barat yang diduduki.

Meski pihak berwenang Israel menuduh ia mencoba melakukan serangan penusukan terhadap petugas polisi, rekaman video yang dikutip di pengadilan tampaknya bertentangan dengan narasi ini.

Rekaman yang diserahkan keluarga anak laki-laki itu, dilaporkan menunjukkan Wadia ditembak dari belakang saat melarikan diri. Lalu, ditembak lagi hingga tewas saat tergeletak tak bergerak di tanah.

Selama lebih dari 18 bulan, otoritas Israel menolak mengembalikan jenazah Elyan kepada keluarganya untuk dimakamkan.

Pengadilan menerima argumen Israel bahwa jenazahnya dapat digunakan sebagai alat tawar-menawar dalam negosiasi pertukaran tahanan di masa mendatang dengan Hamas.

Pengadilan merujuk informasi keamanan rahasia dan mengandalkan wewenang komandan militer untuk memerintahkan pemakaman sementara.

Keputusan itu menuai kecaman keras dari Adalah, Pusat Hukum untuk Hak-Hak Minoritas Arab di Israel, yang mewakili keluarga Wadia dalam petisi yang diajukan pada bulan Juli 2024.

Adalah berpendapat penahanan jenazah anak dalam jangka waktu yang lama merupakan pelanggaran nyata terhadap hak atas martabat, baik bagi almarhum maupun keluarga yang ditinggalkan, sebagaimana tercantum dalam hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.

Serta putusan sebelumnya oleh Mahkamah Agung Israel sendiri.

"Ini pelanggaran berat hukum internasional yang semakin mengukuhkan penggunaan sistematis jenazah warga Palestina sebagai alat politik," ujar pengacara Adalah, Nareman Shehadeh-Zoabi, dalam sidang pengadilan, dilansir Days of Palestine, Sabtu.

"Ini memungkinkan pengabaian hak-hak paling fundamental anak—bahkan dalam kematian."

Adalah juga mengkritik dasar hukum Israel atas penahanan tersebut, yang bergantung pada Peraturan Darurat yang ditetapkan di bawah pemerintahan Mandat Inggris pada tahun 1945, dan menyebut pembenaran tersebut “tidak berdasar secara hukum” dan ketinggalan zaman.

Putusan itu mencerminkan kebijakan yang lebih luas yang diterapkan otoritas Israel untuk menahan jenazah warga Palestina.

Baik dari wilayah yang diduduki maupun di dalam Israel, sebagai bagian dari strategi keamanannya.

Menurut Defense for Children International – Palestina, per Februari 2025, Israel menahan jenazah lebih dari 45 anak di bawah umur Palestina. Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Yerusalem (JLAC) melaporkan bahwa total 668 jenazah Palestina masih ditahan hingga Mei 2025.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengecam hal gila ini sebagai tindakan sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan norma-norma internasional.

Keluarga seringkali tidak diberi hak untuk memakamkan orang yang mereka cintai sesuai dengan praktik agama dan budaya mereka, sehingga memperpanjang duka dan menimbulkan penderitaan psikologis.

Adalah mengeluarkan pernyataan yang mengecam putusan Mahkamah Agung, yang menyatakan:

"Dengan mendukung penggunaan jenazah anak yang telah meninggal sebagai alat tawar-menawar dalam negosiasi politik, Mahkamah Agung telah mengukuhkan pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia,” tegas Adalah.

“Putusan ini menormalkan kebijakan brutal yang merendahkan martabat warga Palestina, meniadakan rasa hormat terhadap anak-anak saat kematian, dan menimbulkan penderitaan mendalam bagi keluarga mereka."

Putusan itu menambah pengawasan yang semakin ketat terhadap penanganan Israel terhadap jenazah warga Palestina yang dibunuh pasukannya. Sebuah praktik yang menurut banyak pihak tidak hanya melanggar kewajiban hukum, tapi juga mencerminkan pola dehumanisasi sistemik yang lebih luas.

Ben Gvir Ancam Pemimpin Fatah di Penjara

Sebuah video yang baru dirilis menunjukkan Menteri Keamanan Nasional Israel sayap kanan, Itamar Ben Gvir sedang berhadapan dengan pemimpin Fatah Marwan Barghouti di dalam selnya.

Video itu memicu gelombang kecaman dan menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keselamatan Barghouti. Rekaman yang disiarkan media Israel tersebut menunjukkan Ben Gvir memasuki sel Barghouti di Penjara Ganot (sebelumnya penjara Ramon dan Nafha) dan menyampaikan ancaman langsung.

"Kalian tak akan mengalahkan kami. Siapa pun yang menyakiti rakyat Israel... kami akan menghapusnya."

Barghouti, yang telah ditahan di sel isolasi selama dua tahun terakhir, tampak rapuh, dengan penurunan berat badan yang signifikan.

Selaiun itu tampak perubahan fitur wajah, memicu kekhawatiran di antara keluarga dan pendukungnya.

Istrinya, pengacara Fadwa Barghouti, menulis di Facebook ia kesulitan mengenalinya, menggambarkan "kelelahan dan rasa lapar" yang dialaminya.

Ia menuduh otoritas Israel tanpa henti mengejar suaminya, bahkan secara sendirian, tetapi menyatakan keyakinannya pada semangatnya yang tak terpatahkan dan komitmennya untuk mengakhiri penderitaan rakyatnya.

Putranya, Qassam Barghouti, memperingatkan ancaman dari Ben Gvir bersifat langsung dan kredibel, seraya menambahkan bahwa otoritas penjara telah menyerang ayahnya secara fisik beberapa kali sejak 7 Oktober 2023.

Insiden ini menuai kritik tajam dari kalangan politik Palestina dan organisasi hak asasi manusia, yang menganggap pendudukan Israel sepenuhnya bertanggung jawab atas keselamatan Barghouti.

Seruan untuk intervensi internasional semakin meningkat untuk memastikan keselamatannya dan untuk menyelidiki perlakuan terhadap tahanan politik Palestina.

Barghouti, tokoh terkemuka dalam gerakan nasional Palestina, menjalani beberapa hukuman seumur hidup di penjara Israel. Kondisi kesehatannya yang kian memburuk dan berbagai ancaman yang dipublikasikan telah meningkatkan ketakutan akan terjadinya kekerasan terhadapnya.

Mila

Image
Republika Network

Sekitarkaltim.ID -

× Image