Dekam di Bui 8 Tahun, Mantan Ketua DPR Setya Novanto Hirup Udara Bebas

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Setelah delapan tahun mendekam di bui, terpidana kasus korupsi pengadaan E-KTP yang juga mantan Ketua DPR RI, menghirup udara bebas.
Setya Novanto resmi mendapat bebas bersyarat pada Sabtu (16/8/2025) kemarin dari Lapas Sukamiskin. Bekas Ketua DPR RI itu bebas bersyarat dan harus tetap melapor ke balai pemasyarakatan.
"Betul (bebas bersyarat)," ujar Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jawa Barat Kusnali saat dihubungi wartawan, Ahad (17/8/2025).
Usai dikabulkan peninjauan kembali di tingkat Mahkamah Agung, ia menyebut vonis hukuman 15 tahun dikurangi menjadi 12 tahun 6 bulan.
Setelah dihitung masa hukuman selama 2/3, ia mengatakan yang bersangkutan mendapatkan pembebasan bersyarat pada tanggal 16 Agustus 2025.
"Beliau setelah dikabulkan peninjauan kembali 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan, dihitung 2/3 nya itu dapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025," katanya.
Kusnali mengatakan Setya Novanto wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan.
Ia menyebut Setya Novanto menjalani hukuman penjara sejak tahun 2017 hingga saat ini dengan mendapatkan sejumlah remisi. "Wajib lapor ke Bapas," kata dia.
Menurutnya Setya Novanto bebas sebelum pelaksanaan hari kemerdekaan sehingga tidak mendapatkan remisi kemerdekaan. Dalam putusan Mahkamah Agung, Setya Novanto mendapat potongan hukuman penjara dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.
Selain itu, terdapat pencabutan hak politik selama 2 tahun lebih kepada mantan Ketum Golkar tersebut.
Bebas Bersyarat sesuai Putusan MA
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto menjelaskan keputusan bebas bersyarat untuk Setnov telah sesuai prosedur. Terutama setelah Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Setnov dalam upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali.
"Iya, karena sudah melalui proses asesmen, yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya. Harusnya tanggal 25 yang lalu," kata Agus, Ahad (17/8/2025).
Agus, saat ditanya apakah masih ada keharusan wajib lapor untuk Setnov, pun menjawab tidak ada. "Nggak ada, karena kan denda subsidier sudah dibayar," kata Agus Andrianto.
Mahkamah Agung, sebagaimana dikutip dari putusannya yang diakses pada 2 Juli 2025, mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dan memotong vonis yang bersangkutan menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.
MA dalam putusan sama juga mengubah pidana denda Setya Novanto menjadi Rp500 juta yang apabila tidak dibayarkan diganti (subsider) dengan pidana 6 bulan kurungan.
"Amar putusan: kabul. Terbukti Pasal 3 juncto Pasal 18 UU PTPK (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” demikian petikan amar Putusan Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020.
Dalam putusan PK itu, Mahkamah Agung kemudian membebankan uang pengganti sebesar 7.300.000 dolar AS dikompensasi sebesar Rp5.000.000.000 yang telah dititipkan kepada penyidik KPK dan disetorkan oleh Setya Novanto sehingga sisa uang penggantinya adalah Rp49.052.289.803 atau jika tidak dapat membayar, dapat diganti dengan 2 tahun penjara.
Kemudian, MA menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak Setya Novanto untuk menduduki jabatan publik selama 2 tahun dan 6 bulan. Terhitung sejak yang bersangkutan selesai menjalani masa pemidanaan.
Selepas putusan itu, Setya Novanto pun bebas bersyarat pada 16 Agustus 2025 setelah mendekam selama beberapa waktu di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat.
Terpidana Kasus e-KTP
Setya Novanto adalah narapidana yang dijatuhi vonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Ditambah kewajiban pembayaran uang pengganti 7,3 juta dolar AS karena terbukti melakukan korupsi dalam proyek pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011–2013.
Vonis pengadilan tingkat pertama diucapkan Ketua Majelis Hakim Yanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, 24 April 2018.
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang menuntut agar Setnov dihukum 16 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Serta membayar uang pengganti sejumlah 7,435 juta dolar AS dan dikurangi Rp 5 miliar subsider 3 tahun penjara.
Terhadap vonis tersebut, Setnov langsung menyatakan menerima dan tidak mengajukan banding. Namun, pada pertengahan tahun 2019, Setnov melalui kuasa hukumnya mengajukan PK ke MA.
Pada Juli 2025, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) mantan Setya Novanto. Mahkamah Agung memotong vonis Setnov menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik. MA juga mengubah pidana denda Setya Novanto menjadi Rp 500 juta yang apabila tidak dibayarkan diganti (subsider) dengan pidana 6 bulan kurungan.
Republika