Koruptor Kakap Bebas Bersyarat, Mantan Penyidik KPK: Kado Menyakitkan

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Terpidana kasus korupsi pengadaan E-KTP Setya Novanto resmi mendapatkan bebas bersyarat pada Sabtu (16/8/2025) dari Lapas Sukamiskin.
Kasus yang menjebloskan Setya Novanto ke sel penjara salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia. Setya Novanto termasuk koruptor kakap, yang menjadi narapidana 15 tahun penjara terkait korupsi e-KTP. Dalam kasusnya, kerugian keuangan negara mencapai Rp 2,8 triliun sepanjang 2011-2013.
Vonis hukuman kepada napi ini 15 tahun, tapi dikurangi menjadi 12 tahun 6 bulan. Setelah dihitung masa hukuman selama 2/3, lalu Setya Novanto pun mendapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025.
Para mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang punya peran menjebloskan Setya Novanto ke sel penjara mengaku kecewa dengan remisi dan status bebas bersyarat terhadap eks ketua DPR RI itu.
Mantan ketua umum Partai Golkar itu menjalani hukuman sejak 2018, dan pada Sabtu (16/8/2025) dinyatakan bebas bersyarat melalui pemberian remisi HUT ke-80 Republik Indonesia.
Eks penyidik KPK Praswad Nugraha mengakui, pemberian remisi, pun status bebas bersyarat memang menjadi hak para narapidana. Hak tersebut juga ada aturannya.
Akan tetapi, tegasnya, rabat hukuman pemberian status bebas bersyarat mengecualikan para terpidana kasus-kasus korupsi.
“Untuk tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai extraordinary crime, pemberian hak tersebut seharusnya dilakukan dengan sangat selektif dan sangat ketat,” ujarnya, pada Senin (18/8/2025).
Setya Novanto, menurutnya tak berhak mendapatkan remisi dan status bebas persyarat tersebut. Sebab, kasus korupsi yang menjebloskan Setya Novanto terbilang berat dan sangat merugikan negara.
“Hak remisi dan status bebas bersyarat terhadap Setya Novanto membuktikan negara gagal memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi,” kata Praswad.
Kasus yang menjebloskan Setya Novanto ke sel penjara salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia.
Kasus tersebut menyangkut tentang kerugian keuangan negara dengan nilai triliunan. Kasus itu dalam penanganan di KPK pada 2017-2018 lalu.
Kata Praswad, vonis 15 tahun penjara terhadap Setya Novanto pada peradilan tingkat pertama sebetulnya memberikan harapan yang baik untuk memberikan dampak jera terhadap Setya Novanto.
Akan tetapi, belakangan harapan itu sirna ketika Mahkamah Agung mulai meringankan hukumannya menjadi 12,5 tahun penjara melalui Peninjauan Kembali (PK).
Selama menjalani pemidanaan di Penjara Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat (Jabar), Setya Novanto pun beberapa kali mendapatkan korting hukuman. Dan puncaknya pada pemberian remisi HUT Indonesia ke-80 yang berujung pada bebasnya Setya Novanto dari pemenjaraan.
Meski masih status bebas bersyarat, lanjut Praswad, keringanan hukuman terhadap aktor ‘Kepala Benjol Bakpao’ itu menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam misi pemberantasan korupsi.
“Akumulasi keringanan yang diterima Setya Novanto berupa remisi, PK, hingga PB berpotensi menciptakan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Praswad.
“Masyarakat akan menafsirkan koruptor kelas berat yang bisa mengakali hukum untuk mendapatkan kebebasan yang lebih cepat,” ujar Praswad menambahkan.
Dari masa pidana dan hingga bebasnya kini, Setya Novanto nyaris hanya menjalani hukuman selama 8 tahun. “Ini jelas sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang sering digaungkan pemerintah, termasuk oleh Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan komitmennya untuk menindak tegas pelaku korupsi,” kata Praswad.
Menurut Praswad, meskipun pemberian remisi yang berujung pada status bebas bersyarat Setya Novanto tak bisa direvisi.
Tetapi ia mengingatkan, bebasnya Setya Novanto tersebut melalui remisi 17 Agustus 2025 merupakan hadiah yang menyakitkan bagi masyarakat yang dirugikan atas perbuatan korupsi yang dilakukan Setya Novanto. “Pembebasan Setya Novanto ini, kado kemerdekaan yang sangat menyakitkan,” ujar Praswad.
PP Pengetatan Remisi untuk Koruptor: Dibuat SBY, Dicabut Era Jokowi
Hadiah remisi untuk koruptor kakap hingga mendapat bebas bersyarat, turut memantik kekecewaan akademisi. Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho menilai, pemberian remisi kepada sejumlah narapidana kasus korupsi tidak sejalan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Remisi untuk para koruptor diberikan pada Hari Ulang Tahun Ke-80 Kemerdekaan RI.
"Secara hukum, remisi hak bagi narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. Jadi tidak ada yang salah," katanya pada Republika, Senin (18/8/2025).
Namun, jika dikaitkan upaya pemberantasan korupsi, tegasnya, pemberian remisi kepada koruptor itu menjadi tidak pas, karena kebijakan tersebut melemahkan efek jera dalam pemberantasan korupsi.
Ia menyoroti pemberian bebas bersyarat bagi mantan ketua DPR RI Setya Novanto yang merupakan terpidana kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-El).
Meski tidak mendapat remisi dalam rangka HUT Ke-80 Republik Indonesia, pemberian bebas bersyarat kepada Setya Novanto pada tanggal 16 Agustus 2025 juga berkaitan remisi yang diperolehnya dalam beberapa momentum sebelumnya.
Ini ditambah dengan dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung.
Hibnu mengatakan, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, yang mengatur pengetatan remisi bagi narapidana kasus korupsi, narkotika, dan terorisme.
"Namun pada masa pemerintahan Jokowi, PP 99/2012 itu telah dicabut dan dibatalkan Mahkamah Agung, sehingga pemberian remisi ke koruptor, bandar narkoba, dan terorisme kembali sesuai PP 32/1999," katanya menjelaskan.
Dengan demikian, sesalnya, semua narapidana termasuk koruptor, tetap bisa mendapat remisi. Sehingga hal ini dinilai justru melemahkan efek jera dalam pemberantasan korupsi.
Hibnu menyayangkan fluktuasi politik hukum membuat publik bingung, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Terkait hal itu, ia menegaskan kembali pentingnya konsistensi aturan agar pemberantasan korupsi tidak kehilangan momentum dan efek jera.
"Jika pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo benar-benar ingin serius memberantas korupsi, aturan pembatasan remisi ini sebaiknya dihidupkan kembali," kata Prof Hibnu.
Wajib Lapor sampai April 2029
Sebelumnya Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jawa Barat Kusnali, mengatakan meski Novanto telah dibebaskan dari tahanan, statusnya saat ini masih dalam masa pembebasan bersyarat.
"Wajib melapor setiap bulan hingga masa percobaan berakhir pada 29 April 2029. Dia baru bisa dikatakan bebas murni setelah 2029. Saat ini masih dalam pengawasan," kata Kusnali kepada Republika, Ahad.
Kusnali menjelaskan Novanto yang sejauh ini telah dipenjara selama delapan tahun di Lapas Sukamiskin, Bandung, sejatinya mendapat vonis hukuman 15 tahun penjara.
Namun, ujar Kusnali, melalui putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung yang diputus pada 4 Juni 2025, hukuman Novanto dikurangi menjadi 12 tahun 6 bulan.
Dalam amar putusan PK, Novanto juga dijatuhi denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan, serta uang pengganti Rp49 miliar subsider dua tahun penjara.
"Semua kewajiban tersebut telah diselesaikan Novanto. Dia mendapatkan pembebasan bersyarat per 29 Mei 2025 dan mulai menjalani pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025," kata Kusnali.
Kusnali berujar, Novanto belum bisa menggunakan hak pilih atau hak mencalonkan diri dalam jabatan publik. Sesuai dengan regulasi, hak politik baru bisa dipulihkan lima tahun setelah masa pidana selesai.
Setya Novanto diketahui menjadi narapidana yang cukup rutin mendapat remisi sejak 2023. Ia menerima remisi khusus Idul Fitri 2023 dan 2024 masing-masing 30 hari.
Pada HUT Ke-78 RI, ia juga mendapatkan remisi 90 hari. Namun, untuk Idul Fitri 2025, pihak berwenang belum mengungkap secara resmi besaran remisi yang diterimanya.
Republika