Genosida Berlanjut, Sekolah-sekolah di Gaza Jadi Tempat Penampungan

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Dalam bencana kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza, sekolah telah dialihfungsikan menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi.
Dengan pendidikan yang dihancurkan lewat genosida penjajah Israel yang berlangsung hampir dua tahun, anak-anak seperti Diana dan Misk mengungkap kerinduan mereka untuk kembali ke keadaan normal.
“Kami tinggal di sekolah, bukannya belajar,” kata Diana, kepada Days of Palestine, dinukil Rabu (3/9/2025). Ia menyoroti penderitaan ribuan anak yang perjalanan pendidikannya terganggu.
Mengungsi dari lingkungan Shujaiya di Kota Gaza, Diana berbagi pengalamannya membawa pakaian alih-alih buku dan merindukan hari di mana ia dapat kembali ke ruang kelas.
Menurut UNRWA, hampir 660.000 anak Palestina masih tidak bersekolah, dan ruang kelas kini berubah menjadi tempat tinggal yang penuh sesak.
Badan itu memperingatkan akan adanya “generasi yang hilang” seiring dengan hilangnya kesempatan pendidikan, yang diperparah oleh trauma psikologis yang memengaruhi hampir satu juta anak di Gaza.
Misk, yang kehilangan ayahnya dalam perang, mengenang masa kecilnya yang hilang.
“Dua tahun hidup kami terbuang sia-sia,” keluhnya, suaranya penuh duka atas ketiadaan pembelajaran dan kenormalan.
Anak-anak seperti Jana dan Malak yang berusia sembilan tahun mengungkapkan keinginan yang kuat untuk kembali ke sekolah dan melanjutkan pendidikan mereka.
"Kami ingin perang berakhir," kata Malak, menekankan pentingnya pendidikan dan kembali ke kehidupan normal. Di Tepi Barat, sekolah-sekolah UNRWA terus memainkan peran penting, meskipun tantangan masih ada.
Direktur urusan UNRWA di Tepi Barat, Roland Friedrich, menyoroti penutupan sekolah di Yerusalem Timur oleh pendudukan Israel, yang berdampak pada 800 anak.
Friedrich menekankan pelanggaran hak anak-anak Palestina atas pendidikan, sebuah pelanggaran kewajiban Israel sebagai Negara Anggota PBB.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, UNRWA tetap berkomitmen untuk menyediakan pendidikan melalui sekolah, pusat pelatihan, dan pembelajaran hibrida.
“Musim kembali ke sekolah ini, kami bangga dengan para siswa dan guru kami yang terus menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi kesulitan,” ujar Friedrich, mengungkapkan harapan untuk masa depan yang penuh dengan pembelajaran dan persahabatan.
Tahun Ketiga Tanpa Sekolah
Siswa di seluruh dunia tengah asyik masuk belajar di sekolah, tapi anak-anak Gaza menghadapi kenyataan pahit: tahun ajaran ketiga berturut-turut hilang akibat genosida yang menghancurkan sekolah-sekolah dan membuat tempat penampungan bagi para pengungsi.
Dengan runtuhnya sistem pendidikan, anak-anak kehilangan kesempatan belajar, keamanan, atau masa depan yang cerah.
Di Kota Gaza, suara lonceng pagi telah digantikan oleh serangan udara. Dinding-dinding yang dulunya memajang jadwal kini hanya bertuliskan nama-nama korban tewas.
UNRWA melaporkan bahwa lebih dari 90% sekolah di Gaza hancur atau berfungsi sebagai tempat penampungan, menyebabkan lebih dari 650.000 siswa kehilangan akses ke pendidikan formal.
Juru bicara Kementerian Pendidikan Palestina, Sadeq al-Khudour, mengatakan genosida telah merampas hak pendidikan lebih dari 630.000 siswa sejak 7 Oktober 2023, termasuk 58.000 siswa yang seharusnya mulai kelas satu tahun ini.
Ia mericni, lebih dari 25.000 anak telah tewas atau terluka, setidaknya 10.000 di antaranya adalah siswa. Bagi para penyintas seperti Nidaa Abu al-Ata yang berusia 18 tahun, mimpinya telah pudar.
"Dua tahun dalam hidupku telah hilang. Aku tak banyak bermimpi lagi. Aku hanya ingin belajar tanpa penembakan, tanpa rasa takut," ujarnya.
Siswa-siswa lainnya tak sempat melanjutkan tahun ajaran. Mohammed Taysir, yang bercita-cita menjadi guru, tewas ketika rumahnya dibom.
Mais Ramadan, siswa kelas lima, meninggal sebelum sempat mendengar bel sekolah lagi. Dua saudara kandungnya, Jamal dan Tuqa Abu al-Ata, yang bercita-cita menjadi insinyur dan guru, tewas bersama seluruh keluarga mereka.
Psikolog Dr. Abdullah al-Khatib memperingatkan bahwa dampaknya melampaui akademis:
“Pendidikan bukan sekadar pelajaran; melainkan tempat anak-anak membangun karakter. Tanpanya, mereka berisiko putus sekolah, terjerumus dalam pekerja anak, bahkan kriminal. Generasi tanpa pendidikan adalah generasi tanpa masa depan.”
Upaya mengadakan ujian daring atau mengajar di tenda-tenda berbenturan dengan kenyataan pahit—tanpa listrik, tanpa keamanan, tanpa stabilitas.
Para pengamat menekankan bahwa menyelamatkan sistem pendidikan Gaza membutuhkan lebih dari sekadar rencana darurat; hal itu menuntut diakhirinya genosida, pembangunan kembali sekolah.
Sekaligus pemberian kesempatan kepada anak-anak merebut kembali masa kecil mereka yang dicuri.
Di tengah genosida yang terus berlanjut, anak-anak Gaza menghadapi tragedi yang tak terlihat: hancurnya pendidikan mereka, impian mereka, dan masa depan, tanpa kejelasan menuju pemulihan.
Penjajah Zionis Bentuk Tim Pembongkaran Bangunan
Surat kabar berbahasa Ibrani Haaretz, melaporkan pembentukan unit militer oleh para pemukim di Jalur Gaza.
Mereka bertugas melakukan pembongkaran sistematis bangunan-bangunan di bawah pengawasan pasukan Israel.
Menurut laporan tersebut, pasukan ini, yang dikenal sebagai “Pasukan Uriya,” terdiri dari tentara cadangan dari permukiman di Tepi Barat.
Mereka mengoperasikan buldoser dan peralatan teknik terutama di Gaza selatan, dan mereka dipimpin Bezalel Zini, saudara seorang calon kepala Shin Bet.
Zini, yang mengelola perusahaan kontraktor di permukiman Ofra, dikenal karena pandangannya yang ekstrem.
Para rekan kerjanya menyatakan bahwa ia memandang pembongkaran bangunan di Gaza sebagai "kewajiban agama." Pasukan Israel ini dinamai sesuai nama pendirinya, aktivis sayap kanan Uriya Loverboom, yang memiliki hubungan dengan Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich.
Pasukan Uriya beroperasi dengan armada mesin berat, termasuk ekskavator dan buldoser, yang bertujuan meratakan bangunan di seluruh Gaza.
Mayoritas operator para pemukim, yang termotivasi tujuan menghancurkan setiap bangunan yang mereka temui. Tindakan mereka seringkali tidak terkoordinasi, dan pergerakan mereka terkadang tidak dilaporkan kepada pasukan Israel.
Operasi tersebut dimulai menyusul pengumuman di platform sayap kanan Israel, terutama yang melibatkan pengemudi buldoser Avraham Azulai, yang terbunuh dan hampir diculik beberapa bulan sebelumnya di Gaza selatan akibat perlindungan tentara yang tidak memadai.
Lebih jauh lagi, laporan tersebut menyoroti penggunaan warga Palestina sebagai perisai manusia, dengan individu-individu dipaksa masuk ke dalam terowongan dan rumah-rumah yang diduga menjadi tempat tinggal militan.
Operator menerima kompensasi besar, dengan upah harian mencapai 6.000 shekel, sementara tentara memasok bahan bakar untuk mesin.
Pasukan Israel memanfaatkan perusahaan kontraktor sipil untuk tugas-tugas teknik di Gaza, seperti konstruksi, pembongkaran, dan pembukaan jalan.
Tetapi, Pasukan Uriya, yang terutama dipimpin oleh para pemukim, hanya berfokus pada penghancuran. Pasukan pendudukan Israel telah mengakui kehilangan sekitar 40% kendaraan teknik mereka akibat ledakan dan rudal anti-tank selama konflik.
Ini menyebabkan meningkatnya ketergantungan pada kontraktor sipil untuk kegiatan pembongkaran dan perataan tanah.
Mila