Home > Mancanegara

Intensitas Pengeboman Meningkat, 1,3 Juta Warga Sipil Terjebak di Gaza Utara

Situasi di Gaza Selatan juga kian memburuk.
Warga Gaza memunguti bantuan makanan yang jauh mencukupi. (Days of Palestine)
Warga Gaza memunguti bantuan makanan yang jauh mencukupi. (Days of Palestine)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Kantor Media Pemerintah Gaza mengungkapkan bahwa lebih dari 1,3 juta warga Palestina, termasuk sedikitnya 350.000 anak-anak, masih terjebak di Kota Gaza dan wilayah utara.

Mereka terkungkung di tengah kebiadaban penjajah zionis Israel yang meningkatkan intensitas pemboman dan berulang kali mengeluarkan perintah pengungsian.

Pernyataan tersebut menyoroti situasi yang memburuk dengan cepat di utara. Serangan udara dan serangan darat semakin intensif telah mengakibatkan warga sipil kehilangan akses terhadap makanan, air, obat-obatan, dan tempat berlindung yang aman.

Organisasi kemanusiaan memperingatkan banyak keluarga tidak dapat atau tidak mau meninggalkan rumah mereka, menunjuk tempat penampungan yang penuh sesak di selatan, kurangnya jalur aman, dan meningkatnya kekhawatiran akan pengungsian permanen di luar Gaza.

Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) telah menggambarkan kondisi di Gaza selatan sebagai “semakin menyedihkan dari hari ke hari.”

Puluhan ribu orang terus mengalir ke daerah itu hanya untuk mengetahui tidak ada tempat berlindung yang tersedia.

Sehingga memaksa beberapa orang untuk kembali ke utara meskipun pemboman terus berlanjut.

Rumah sakit di seantero Gaza kewalahan, beroperasi hingga 300 persen dari kapasitasnya, tenda-tenda darurat untuk keluarga-keluarga yang mengungsi kini membentang hingga ke garis pantai.

Selain itu tempat air pasang secara rutin membanjiri tempat penampungan mereka, membasahi tempat tidur dan persediaan makanan.

Kelangsungan hidup sehari-hari telah menjadi ujian ketahanan. Keluarga-keluarga hanya hidup dengan satu kali makan sehari, yang seringkali terbuat dari pakan ternak atau campuran dedaunan dan tepung.

Air minum bersih hampir mustahil ditemukan, banyak yang mengandalkan sumber air payau atau terkontaminasi yang telah memicu wabah diare dan penyakit yang ditularkan melalui air, terutama di kalangan anak-anak.

Kekurangan bahan bakar telah melumpuhkan rumah sakit, mencegah mereka menjaga mesin penyelamat nyawa tetap beroperasi. Bahkan memaksa dokter mengambil keputusan mustahil tentang pasien mana yang harus diselamatkan.

Dalam sistem kesehatan Gaza yang sedang kolaps, penderitaannya sangat parah. Rumah sakit beroperasi berkali-kali lipat dari kapasitasnya, dengan operasi yang seringkali dilakukan tanpa anestesi.

Ribuan warga sipil yang terluka terbaring tidak dirawat di koridor dan lorong karena kekurangan obat-obatan, peralatan, dan staf.

Selain itu, tempat penampungan yang penuh sesak telah menjadi tempat berkembang biaknya penyakit menular seperti hepatitis dan penyakit pernapasan, yang semakin memperparah krisis.

Kondisi kehidupan di tempat penampungan dan pusat pengungsian sangat menyedihkan, seluruh keluarga dijejalkan dalam ruang kelas, dengan sekitar 80 hingga 100 orang berbagi satu kamar di sekolah PBB.

Perempuan dan anak-anak menghadapi kesulitan khusus, berjuang tanpa privasi, perlengkapan sanitasi, atau perlindungan dari cuaca buruk.

Di sepanjang pantai, tenda-tenda telah didirikan di atas pasir, di mana air laut sering kali naik dan menelannya utuh-utuh.

Dampak psikologisnya sama dahsyatnya. Anak-anak di Gaza menunjukkan tanda-tanda trauma mendalam, termasuk serangan panik saat mendengar suara pesawat tempur, mutisme, dan sering mengompol.

Para orang tua mengatakan anak-anak mereka bertanya setiap hari apakah mereka akan selamat malam itu.

Pengeboman permukiman juga telah menjebak banyak orang di bawah reruntuhan selama berhari-hari. Keluarga sering mendengar suara orang-orang terkasih yang meminta bantuan dari bawah reruntuhan bangunan, tetapi tidak memiliki peralatan yang memadai untuk menyelamatkan mereka.

Ambulans sering kali menjadi sasaran atau dihalangi untuk mencapai lokasi bom, sehingga korban meninggal di tempat mereka terbaring.

Dalam pernyataannya, Kantor Media Pemerintah menegaskan penjajah Israel sengaja menargetkan sekolah, kamp pengungsi, dan pusat kemanusiaan sebagai bagian dari apa yang digambarkannya sebagai “kebijakan pemindahan massal sistematis” yang dirancang untuk memaksa warga Palestina keluar dari Gaza sepenuhnya.

Kelompok hak asasi manusia telah menyuarakan kekhawatiran ini, dengan memperingatkan situasi yang meningkat ini membawa warga Palestina menuju bencana kemanusiaan bersejarah.

Gaza Selatan Kian Memprihatinkan, Ribuan Orang Mengungsi

Tak hanya di Gaza Utara, situasi kemanusiaan di selatan Gaza juga semakin memburuk setiap harinya. Di sana, ribuan warga Palestina terus melarikan diri dari pemboman besar-besaran Israel di utara.

Pembantaian penjajah Israel mengakibatkan ratusan warga sipil tewas dan ratusan ribu orang mengungsi, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).

Juru Bicara OCHA di Gaza, Olga Cherevko, menggambarkan kondisi di Deir el-Balah dan daerah sekitarnya sebagai "sangat memprihatinkan," dengan masuknya keluarga-keluarga pengungsi yang membanjiri tempat penampungan dan kamp-kamp informal yang sudah penuh sesak.

“Puluhan ribu orang terpaksa mengungsi karena militer Israel mengintensifkan serangan terhadap Kota Gaza dan provinsi-provinsi di utara,” kata Cherevko, kepada Days of Palestine, Sabtu.

"Banyak yang tiba di selatan hanya untuk mendapati tidak ada tempat tersisa. Beberapa keluarga, yang tidak punya tempat tujuan, terpaksa kembali ke utara meski pemogokan masih berlangsung," imbuh Cherevko.

Ia mencatat kepadatan telah mencapai tingkat kritis, seraya menambahkan, "Kondisi di sini sudah sangat padat. Kalau kita lihat ke laut, tenda-tenda sudah mencapai garis air, dan setiap kali air pasang, air akan menelan lebih banyak tenda."

Rumah sakit di Selatan beroperasi jauh melampaui kapasitas, beberapa di antaranya hampir 300 persen, karena pasien dirawat di lantai, koridor, dan perluasan darurat.

Kekurangan obat-obatan penting, bahan bakar untuk generator, dan persediaan medis membuat dokter tidak dapat melakukan prosedur penyelamatan nyawa.

Cherevko mengakui adanya sedikit peningkatan dalam jumlah truk bantuan yang diizinkan masuk ke Gaza dalam beberapa minggu terakhir. Ia menekankan arus bantuan masih sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mendesak.

Pengiriman bantuan semakin terhambat oleh ketidakamanan yang berkelanjutan, infrastruktur yang rusak, dan pembatasan yang diberlakukan Israel.

"Bahkan ketika bantuan sampai di Gaza, kami tidak dapat mengirimkannya dengan aman dan memadai kepada mereka yang sangat membutuhkan," ujarnya.

Badan-badan kemanusiaan telah berulang kali memperingatkan risiko bencana, termasuk kelaparan, wabah penyakit akibat air yang terkontaminasi dan sanitasi yang buruk, serta runtuhnya sistem perawatan kesehatan Gaza yang sudah hancur.

Situasi ini menggarisbawahi skala pengungsian paksa sejak dimulainya genosida di Gaza Oktober 2023.

Mayoritas dari 2,3 juta penduduk daerah kantong itu kini telah mengungsi, berkali-kali, dengan keluarga-keluarga yang berdesakan dalam tenda-tenda. Mereka berdesakan di tempat perlindungan darurat dengan sedikit perlindungan dari alam.

Mila

× Image