Cegah Hoaks dan Adu Domba Buzzer, Komdigi Kaji Satu Orang Satu Akun Medsos

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Maraknya hoaks dan adu domba buzzer-buzzer bayaran berdampak terpolarisasinya masyarakat.
Anggota Komisi I DPR Oleh Soleh mengusulkan perlunya pelarangan akun media sosial ganda karena dinilai rawan disalahgunakan dan menimbulkan keresahan.
"Baik di YouTube, di Instagram, di TikTok, akun ganda ini kan sangat-sangat merusak. Akun ganda ini kan akhirnya disalahgunakan. Pada akhirnya, bukan mendatangkan manfaat bagi masyarakat, bagi pemakai yang asli tentunya," kata Oleh.
Segendang sepenarian.
Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR Bambang Haryadi turut menyarankan agar satu orang hanya diperbolehkan memiliki satu akun di setiap platform.
Ia memberi contoh aturan di Swiss yang membatasi satu warga hanya menggunakan satu nomor ponsel yang terhubung ke berbagai layanan, termasuk media sosial.
Bambang menilai, media sosial harus dapat dipertanggungjawabkan. Ia turut menyinggung fenomena akun anonim maupun pendengung (buzzer) yang kerap memprovokasi isu-isu tertentu.
"Kita kan paham era media sosial ini sangat sedikit brutal ya, kadang isu yang belum pas, kadang dimakan dengan digoreng hingga membawa pengaruh kepada kelompok-kelompok yang sebenarnya kelompok-kelompok rasional," terangnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria mengatakan, pihaknya sedang mengkaji usulan tentang aturan satu orang hanya diperbolehkan memiliki satu akun media sosial.
Menurutnya, kepemilikan satu akun media sosial untuk satu orang dapat menjadi salah satu solusi untuk mencegah tindakan penipuan di ranah digital.
"Kita lagi review itu karena itu terkait juga dengan program Satu Data Indonesia," kata Nezar saat ditemui, pada Senin (15/9/2025).
Selain itu, opsi tersebut juga dinilai dapat memudahkan pemerintah untuk mengawasi ruang digital dari segala bentuk misinformasi serta hoaks.
"Itu (usulan satu orang satu akun) salah satu solusi dan kita lagi kaji sekian opsi yang intinya adalah untuk semakin memperkecil upaya-upaya scamming (penipuan daring) misalnya ya di dunia online kita dan juga untuk memudahkan pengawasan kita terhadap misinformasi, hoaks, dan lain-lain," ujar Nezar.
Buzzer Bisa Memecah Belah Bangsa
Sebelumnya, kalangan organisasi masyarakat Islam mengecam perilaku para pendengung atau buzzer, yang sering kali menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad menilai, aktivitas buzzer yang diharamkan Majelis Ulama Indonesia bisa memecah-belah bangsa Indonesia.
Ia mengingatkan, tidak sedikit pendengung yang menggunakan akun-akun anonim di media sosial. Alhasil, mereka terkesan lepas tangan terhadap konten-konten yang telah dihasilkan atau disebarluaskannya.
“Buzzer dari pihak mana pun ini perilakunya tidak jujur dan tidak jantan, apalagi pakai nama anonim. Itu (aktivitas buzzer) konsekuensinya memecah-belah bangsa. Saya setuju dengan MUI bahwa itu haram,” ujar Prof Dadang kepada Republika, Senin (15/2).
Dalam skala luas, ia menambahkan, aktivitas buzzer yang diharamkan MUI turut menurunkan kredibilitas demokrasi di Indonesia. Karena acap kali dirundung akun-akun buzzer, orang-orang cenderung enggan menyuarakan saran atau kritik kepada pemerintah melalui media sosial.
“Padahal, dalam demokrasi itu kebebasan berpendapat dijamin negara, sebagaimana dalam undang-undang,” katanya.
Karena itu, fatwa MUI mengenai buzzer yang tidak beradab patut didukung. Dadang meyakini, agama-agama selain Islam pun akan memandang tidak baik aktivitas pendengung yang demikian.
Di samping itu, perlu kemauan yang tegas dari aparat penegak hukum untuk menindak para pendengung itu. MUI Pusat kembali mengingatkan publik tentang Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
Dalam fatwa tersebut, pembahasan juga meliputi hukum aktivitas buzzer.
Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, pihaknya mengharamkan aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoaks, gibah, fitnah.
Lalu namimah, perundungan, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi. Begitu pula perbuatan yang menyuruh, mendukung, membantu, dan/atau memanfaatkan jasa buzzer tersebut.
Buzzer Telah Menjadi Industri
Pada Agustus silam, Antropolog politik komparatif University of Amsterdam Ward Berenschot menyebut fenomena buzzer di dunia maya sudah menjadi suatu industri di Indonesia.
Kesimpulannya itu berdasarkan lima tahun riset atas fenomena kejahatan siber di Indonesia.
"Kami sudah sekitar lima tahun melakukan riset tentang fenomena kejahatan siber di Indonesia," kata Ward saat lokakarya yang digelar FISIP Universitas Diponegoro Semarang, Jumat (22/8/2025).
Berenschot menjelaskan riset dilakukan dengan cara mewawancarai orang-orang yang melaksanakan pekerjaan itu, mengerti bagaimana cara kerjanya, serta dari mana uang yang digunakan untuk membiayai berasal.
"Temuannya memang menjadi industri karena justru banyak elite politik, elite bisnis yang mendanai tentara siber tersebut untuk mempengaruhi opini publik di media sosial," tambahnya.
Hasil penelitian ini, lanjutnya, diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang fenomena itu. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga harus membuat kebijakan untuk menghentikan fenomena ini.
"Pemilik suatu akun media sosial harus jujur ketika unggahannya dibayar, harus transparan," katanya.
Wakil Rektor IV Undip Semarang Wijayanto mengatakan selain kampus ini, penelitian juga melibatkan University of Amsterdam serta Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Ia menjelaskan alasan pemilihan penelitian di Indonesia karena negara ini menjadi salah satu pengguna media sosial terbesar serta adanya praktik pemilihan langsung.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, menurutnya, diperoleh kesimpulan tentang perlunya peningkatan literasi digital, etika politik, serta transparansi platform digital.
"Kita harus membantu memastikan ruang publik bebas dari kabar bohong dan tidak mudah dimanipulasi," katanya.
Pada 2024 silam, Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Budi Arie Setiadi menyebut bahwa 92 persen kebisingan di ruang digital merupakan ulah dari para pendengung atau buzzer.
Namun, menurut Budi Arie, situasi ruang digital usai pelaksanaan pemungutan suara Pemilihan Umum Serentak 2024 lebih baik dibanding Pemilu Tahun 2019.
"Menurut data, suasana lebih baik dibanding Pemilu 2019. Hoaks yang sudah kita take down hampir 1.923 konten. Paling agak vital hampir 92 persen kebisingan ruang digital ternyata diisi para buzzer," katanya.
Republika