Home > News

Menteri Koboi Berkelakar soal Sistem Coretax: Mereka Ngibulin Saya Kayaknya

Laporan internal kerap berbeda dengan keluhan masyarakat terkait pelayanan.
Coretax. 
Coretax.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) sering kali mendapat keluhan masyarakat sejak pertama kali diluncurkan pada Rabu, 1 Januari 2025.

Salah satu masalah paling sering dikeluhkan pengguna lamanya akses untuk masuk. Selain itu, tidak bisa login ke akun Coretax. Pesan error atau keterangan informasi login salah sering muncul, meski data yang dimasukkan dirasa sudah benar.

Kemudian error “500 Internal Server” saat mengakses menu. Misalnya saat semua data faktur telah diisi lengkap, pengguna sering mengalami error saat mencoba menyimpannya. Pesan Save Invalid, atau kegagalan menyimpan kerap muncul secara tiba-tiba.

Masalah lain soal validasi wajah gagal saat membuat sertifikat elektronik. Validasi wajah ini salah satu tahapan penting pembuatan sertifikat elektronik. Namun, proses ini sering gagal lantaran sejumlah faktor teknis.

Keluhan lain, tidak bisa menambahkan role pihak terkait. Misalnya dalam pengelolaan akun pajak, wajib pajak sering menambahkan pengurus atau pihak terkait. Namun, sistem terkadang menolak permintaan ini.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi yang kerap dilekatkan dengan istilah menteri koboi, menyampaikan akan turun langsung ke lapangan untuk mengetahui secara langsung perkembangan penerapan sistem administrasi perpajakan, Coretax System.

Purbaya mengaku sejauh ini hanya menerima laporan dari jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu bahwa sistem Coretax sudah berjalan baik dan stabil.

"Kesiapannya seperti apa di dalam, kalau menurut mereka (Dirjen Pajak) bagus-bagus terus. Mereka ngibulin saya kayaknya. Nanti akan saya cek karena belum sidak soal Coretax karena belum sempat," kata Purbaya di Jakarta, Jumat (19/9/2025).

Sebab, menurutnya, laporan internal kerap berbeda dengan keluhan masyarakat terkait pelayanan.

Ia mengatakan sampai saat ini masih ada wajib pajak yang masih mengeluhkan proses administrasi melalui coretax yang dianggap lambat.

"Dalam konteks perkembangannya sampai saat ini, kalau kata orang pajak itu bagus katanya, sudah stabil, walaupun kalau kata teman-teman yang bayar itu 'masih lama (prosesnya) bang'. Nanti saya yang cek, kalau orang tanya bos pasti gitu kan, namanya ABS (asal bapak senang)," ujarnya.

Sebelumnya, Purbaya sempat meninjau layanan informasi dan pengaduan DJP melalui contact center Kring Pajak.

Di momen itu, ia melakukan panggilan telepon dan menanyakan layanan coretax kepada petugas.

Potongan video interaksi itu diunggah DJP melalui akun TikTok resmi @ditjenpajak. Dalam tayangan itu, Purbaya menanyakan prosedur pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang kini harus dilakukan melalui laman Coretax.

“Coretax ya? Saya belum tahu tuh Coretax, kalau belum boleh dikasih tahu saya enggak mbak? Kira-kira berapa lama ya kalau itu daftar segala macam?” ucapnya dalam video tersebut.

Dinilai Belum Siap

Sebelumnya, Ekonom INDEF Aviliani mengingatkan penerapan sistem Coretax jangan dilakukan secara terburu-buru. Menurutnya, percepatan implementasi sistem baru justru bisa menimbulkan beban tambahan bagi pelaku usaha, khususnya UMKM.

“Penerapan sistem Coretax jangan terburu-buru agar tidak mengganggu sektor usaha,” kata Aviliani dalam Seminar Nasional Seri 5 bertema Meningkatkan Rasio Perpajakan di Tengah Tekanan Ekonomi: Strategi & Solusi, Selasa (26/8/2025).

Ia menilai, perbaikan administrasi memang penting untuk memperkuat kepatuhan, tetapi transisi menuju sistem baru perlu memperhatikan kesiapan pelaku usaha.

“Kalau tidak diantisipasi, UMKM bisa menghadapi beban tambahan dalam menyesuaikan diri dengan sistem Coretax,” ujarnya.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menegaskan tax gap tidak semata karena lemahnya pengawasan.

Menurutnya, tax gap terbentuk dari dua faktor: policy gap akibat fasilitas yang memang diputuskan pemerintah, dan administration gap yang terkait dengan kepatuhan serta efektivitas administrasi.

“Policy gap muncul karena ada fasilitas pajak, misalnya untuk UMKM, sektor kesehatan, dan pendidikan. Sementara administration gap terkait kepatuhan dan efektivitas administrasi,” kata Yon.

Ia mencontohkan, usaha mikro dengan omzet di bawah Rp500 juta setahun bebas pajak, sedangkan omzet Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar hanya dikenai tarif 0,5 persen. “Lebih dari 40 persen belanja perpajakan dinikmati UMKM dan masyarakat kecil,” ujarnya.

Yon juga menyebut pergeseran struktur ekonomi menjadi tantangan sekaligus peluang optimalisasi penerimaan. Untuk itu, pemerintah menyiapkan kebijakan baru, termasuk pajak digital, agar rasio pajak tetap terjaga kredibilitasnya.

Founder DDTC, Darussalam menyoroti pentingnya komunikasi kebijakan pajak. Menurutnya, resistensi publik bisa muncul jika pencabutan fasilitas tidak dijelaskan dengan benar.

“Kalau narasinya tidak tepat, saat fasilitas dicabut akan muncul resistensi. Jadi seolah-olah ada pajak baru, padahal hanya koreksi kebijakan lama,” ujarnya.

Danny menambahkan, sistem perpajakan Indonesia masih menghadapi empat masalah fundamental, yakni partisipasi publik yang rendah, edukasi belum inklusif, narasi kebijakan minim, dan pengelolaan data yang masih lemah.

Struktur penerimaan juga masih timpang karena terlalu bergantung pada PPh badan, sementara kontribusi PPh orang pribadi jauh lebih kecil dibanding negara OECD.

Data Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat rasio pajak Indonesia berada di peringkat 32 dari 37 negara. Angka ini jauh di bawah rata-rata Asia Pasifik dan Afrika, menandakan basis pajak Indonesia masih sempit dibandingkan negara lain.

Republika

× Image