Home > Sosok

Jafar bin Abi Thalib: Bapak Kaum Miskin yang Terbang di Surga

Beliau juga dinilai memiliki kemiripan dengan Rasulullah.
Ilustrasi.
Ilustrasi.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Sahabat Nabi yang satu ini seringkali kita dengar kisahnya saat kecil. Beliau adalah Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib.

Dikenal sebagai salah satu dari lima keturunan Abdi Manaf yang sangat mirip dengan Rasulullah. Juga, tersohor sebagai sosok pemberani, lembut, dan dermawan.

Dijuluki "Sayyidul Asy-Syuhada" atau Pemimpin Para Syuhada, dan dikenal pula sebagai: Bapak Si Miskin, yang dijanjikan dua sayap di surga.

Masuk Islam berkat ajakan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ja’far memilih hijrah ke Habasyah (Ethiopia) bersama 83 laki-laki dan 19 wanita untuk menyelamatkan iman dari tekanan Quraisy.

Di Habasyah, mereka mendapat perlindungan dari Raja Najasyi yang adil. Namun, Quraisy mengirim Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah untuk memengaruhi Najasyi agar mengusir kaum Muslim. Dengan kecerdasan dan keteguhan, Ja’far berhasil meyakinkan Najasyi tentang kebenaran Islam, bahkan membuat sang raja menangis saat mendengar bacaan surat Maryam.

Setelah bertahun-tahun di Habasyah, Ja’far kembali ke Madinah dan disambut hangat oleh Rasulullah. Ia kemudian memimpin pasukan Muslim dalam Perang Mu’tah melawan Romawi.

Meski kalah jumlah, Ja’far bertempur dengan gagah berani hingga gugur sebagai syahid. Rasulullah menyatakan Ja’far telah masuk surga dengan dua sayap, menggantikan tangannya yang terputus dalam pertempuran.

Mirip Rasulullah

Ada beberapa keturunan Abdi Manaf yang sangat mirip Rasulullah. Sahabat yang kurang jeli, terkadang susah membedakannya. Salah satunya sulit membedakan paras Ja’far bin Abi Thalib. Beliau saudara kandung Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Dijuluki Sayyidul Asy-Syuhada, pemimpin para mujahidin, Abu Abdillah anak paman Rasulullah bin Abdul Mutthalib bin Hasim bin Abdi Manaf Al-Quraisy.

Disadur dari buku Seri Ensiklopedia Anak Muslim, karya Mahmudah Mastur, sosok Ja'far bin Abu Thalib juga dinilai memiliki kemiripan dengan Rasulullah, baik segi fisik dan sifatnya.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda: "Engkau wahai Ja'far, wajahmu mirip dengan wajahku dan akhlakmu mirip dengan akhlakku." (HR Bukhari).

Rasulullah juga pernah memanggil Ja'far dengan sebutan: Bapak kaum Miskin, karena beliau selalu menolong dan membantu mereka dengan apa yang dimiliki.

Sayyidina Ja'far bin Abu Thalib tersohor sebagai sosok sangat lemah lembut, penuh kasih sayang, sopan santun, rendah hati dan sangat pemurah. Selain itu, dikenal pula sangat pemberani. Beliau diberi gelar sebagai orang yang memiliki dua sayap di surga dan bapak bagi si miskin.

Ketika orang Quraisy mendengar berita tentang masuk Islamnya, mulailah mereka membuat makar dan gangguan-gangguan untuk melemahkan iman kaum Muslimin. Mereka tidak ingin melihat kaum Muslimin tenang dalam beribadah.

Tatkala Rasulullah memberi izin untuk hijrah ke Habasyah, tanpa pikir panjang Ja’far bin Abi Thalib bersama istrinya ikut dalam rombongan. Hal ini sangat berat bagi Ja’far, karena harus meninggalkan tempat kelahiran yang dicintainya. Meski demikian, berangkatlah rombongan itu yang terdiri 83 laki-laki dan 19 wanita menuju Habasyah.

Penguasa Habasyah saat itu, Najasyi. Raja yang terkenal adil dan bijaksana, dan suka melindungi orang-orang lemah. Sesampainya di Habasyah, mereka mendapat perlindungan dari Najasyi, sehingga bisa leluasa dalam beribadah. Tetapi, ketenangan itu terusik. Terutaa saat orang-orang Quraisy mengetahui perlindungan keamanan yang mereka dapatkan di Habasyah.

Diusik Kaum Quraisy

Ummu Salamah mengisahkan: Saat orang-orang Quraisy mengetahui keadaan kaum Muslim di Habasyah, mereka mengirimkan utusan untuk menemui Najasyi. Yakni, Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, yang membawah hadiah kepada para menteri, dengan maksud agar niat mereka mendapat dukungan.

Saat di Habasyah, mereka segera menemui para menterinya dan menyerahkan hadiah seraya berkata, “Sungguh telah datang di negerimu orang-orang bodoh dari kaum kami yang keluar dari agama nenek moyang, dan memecah-belah persatuan. Maka, kalau kami berbicara kepada raja, dukunglah kami. Karena tokoh-tokoh kaum mereka lebih tahu akan mereka.”

Maka para menteri itu mengatakan, “Ya, kami akan mendukung kalian berdua.”

Setelah itu, masuklah mereka menemui Najasyi dengan membawa hadiah banyak dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya telah datang dalam kerajaanmu orang-orang rendah dari kaum kami. Mereka datang membawa agama yang tidak pernah kami ketahui atau engkau ketahui. Mereka keluar dari agama kami, tidak pula masuk kepada agamamu. Orang-orang yang mulia di antara kami telah mengutus kami, agar engkau mau mengembalikan mereka kepada kami dan mereka lebih mengetahui akan apa yang telah mereka perbuat.”

Menyuap Menteri Najasyi

Najasyi menoleh kepada para menterinya dan berkatalah mereka, “Benar wahai Raja. Sesungguhnya kaum mereka lebih mengetahui tentang mereka. Maka kembalikanlah orang-orang tiu kepada mereka.”

Mendengar hal itu, Raja Najasyi marah, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengembalikan mereka kepada kaumnya sampai aku menemui mereka. Sehingga aku bisa mengetahui, apakah yang telah dikatakan dua orang ini benar? Kalau memang benar, maka akan aku kembalikan, mereka. Namun, kalau tidak, aku akan melindungi dan berbuat baik kepada mereka.”

Raja Najasyi lalu mengutus orang agar memanggil kaum Muslim. Sebelum berangkat untuk menemuinya, mereka berkumpul dan saling mengatakan, “Sesungguhnya Najasyi akan bertanya kepada kalian tentang agama kalian. Maka terangkanlah dengan apa yang telah kalian imani.” Kaum Muslimin bersepakat mengangkat Ja’far sebagai juru bicaranya, kisah Ummu Salamah.

Berangkatlah Kaum Muslimin menemui Raja dan mendapati Raja Najasyi duduk di antara para menterinya yang memakai pakaian kebesaran mereka.

Kaum Muslimin juga melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah telah ada di hadapan mereka. Ketika semuanya telah siap, Najasyi menoleh kepada Kaum Muslimin dan berkata:

“Apakah agama yang kalian peluk, sehingga kalian meninggalkan agama kaum kalian dan tidak pula kalian masuk ke dalam agamaku atau agama yang lainnya?”

Jawaban Elegan Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib

Maka berkatalah Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib:

“Wahai Raja, kami dahulu orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat jelek kepada tetangga. Saat itu yang kuat menekan yang lemah, sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanahannya dan sangat memelihara diri.”

Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib, meneruskan, “Beliau mengajak kami agar beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek moyang kami. Juga memerintahkan kepada kami agar jujur dalam berkata, menunaikan amanah. Selain itu menyambung silaturrahmi, meninggalkan perbuatan keji, memelihara darah, dan melarang kami dari berkata dusta.”

“Rasul juga melarang kami memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina. Serta memerintahkan kami mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan. Maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawanya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya,” ujar Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib.

Kemudian, beliau melanjutkan penjelasannya:

“Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali menyembah berhala. Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami, akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”

Raja Najasyi kembali bertanya kepada Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah engkau memiliki apa yang dibawa Nabimu dari Allah?” Beliau menjawab, “Ya.” Maka Raja Najasyi memerintahkan, “Bacakanlah untukku!” Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib lalu membaca Surat Maryam.

Raja Najasyi Menangis

Saat mendengar ayat tersebut, menangislah Raja Najasyi, sehingga air matanya membasahi jenggotnya. Menangis pula para menterinya, sehingga basah buku-buku mereka.

Raja Najasyi berkata, “Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan satu sumber.” Najasyi menoleh kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka tidak akan aku serahkan kepada kalian!”

Ketika kaum Muslim keluar dari Istana Najasyi, Amru bin Ash mengancam dan berkata, “Demi Allah, besok pagi aku akan menemuinya lagi. Akan aku kabarkan dengan satu berita yang bisa membuatnya marah.”

Keesokan harinya, mereka kembali menemui Raja Najasyi dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya orang yang engkau lindungi itu mengatakan tentang Isa, suatu perkataan yang besar!”

Raja Najasyi kembali memanggil kaum Muslimin, hingga merasa khawatir dan takut. Sebagian bertanya-tanya, “Apa yang akan kita katakan kepadanya tentang Isa bin Maryam?”

Akhirnya kaum Muslimin bersepakat mengatakan tentang Isa, sebagaimana yang telah disampaikan Rasulullah.

Lalu mereka kembali menunjuk Ja’far sebagai juru bicara. Kemudian datang menemui Raja Najasyi. Di sana ada pula Amru bin Ash bersama temannya.

Bertanyalah Najasyi, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sesuai apa yang dikatakan Nabi kami.”

Najsyi berkata, “Apa yang dikatakan?”

Ja’far menjawab, “Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya Ruh-Nya, kalimat-Nya, yang Dia berikan kepada Maryam yang suci.”

Mendengar hal tersebut, Najsyi memukul meja sembari berkata, “Demi Allah, apa yang dikatakannya sesuai dengan keadaan Isa bin Maryam. Pergilah kalian dengan aman. Siapa yang mencela kalian, dia adalah orang yang merugi. Dan siapa yang mengganggu kalian, dia akan disiksa.”

Kemudian Raja Najasyi berkata kepada para menterinya, “Kembalikanlah hadiah-hadiah itu kepada dua orang ini, karena aku tidak butuh kepadanya.” Akhirnya keduanya keluar dengan perasaan sedih, karena tidak berhasil melaksanakan apa yang mereka niatkan.

Ja’far bersama istrinya tinggal beberapa saat di Habasyah; bisa merasakan ketenangan serta lindungan dari Najasyi. Di tahun ketujuh hijriah, pergilah Ja’far bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah untuk menuju ke Yatsrib.

Disambut Rasulullah

Sesampainya di Yatsirb, ia disambut hangat oleh Rasulullah. Saat itu, Rasulullah baru saja kembali dari perang Khaibar. Rasul menemui Ja’far dan bersabda, “Sungguh aku tidak tahu, dengan yang mana aku merasa bahagia. Apakah dengan kemenangan Khaibar ataukah dengan kadatanganmu?!”

Selang beberapa lama, ia tinggal di Madinah. Saat awal-awal tahun ke delapan hijriah Rasulullah ingin mengirim pasukan memerangi Romawi, Rasul menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan.

Lalu bersabda, “Kalau Zaid terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Abdullah bin Rawahah. Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum muslimin memilih bagi mereka sendiri.”

Kemudian beliau memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.

Berangkatlah pasukan pasukan ini. Saat sampai di daerah Mu’tah, kaum Muslimin mendapatkan orang-orang Romawi telah siap dengan jumlah yang sangat banyak. Yaitu 200 ribu tentara. Ini adalah jumlah yang sangat besar. Jumlah sebegitu besar tidak pernah ditemui kaum muslimin sebelumnya. Adapun jumlah kaum Muslimin hanya 3.000 orang.

Ketika dua pasukan ini berhadapan, peperangan berkecamuk, hingga Zaid bin Haritsah gugur sebagai sahid. Begitu melihat Zaid jatuh tersungkur, bergegas Ja’far melompat dan mengambil bendera, dan menyusup ke barisan musuh sambil melantunkan syair:

Wahai alangkah dekatnya surga

Yang sangat lezat dan dingin minumannya

Romawi yang telah dekat kehancurannya

Wajib bagiku menghancurkannya apabila menemuinya.

Menusuk Jantung Pertahanan Musuh

Beliau menusuk ke jantung pertahanan musuh, sehingga putus tangan kanannya. Segera diambil bendera itu dengan tangan kriinya, kemudian terputus pula tangan kirinya. Lalu ia gugur sebagai syahid. Setelah itu, bendera diambil Abdullah bin Rawahah dan terus mempertahankannya hingga akhirnya syahid.

Saat sampai kabar kepada Rasul tentang kematian tiga pahlawannya, Rasulullah sangat sedih. Diriwayatkan di tubuh Ja’far ada 90 luka yang semua ada di bagian depan tubuhnya.

Rasulullah pergi menuju rumah Ja’far bin Abi Thalib. Beliau mendapat Asma telah membuat roti dan memandikan anaknya untuk menyambut kepulangan sang ayah.

Asma menuturkan: Ketika Rasulullah menemui kami, aku mendapatkan wajah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sedih. Maka timbullah perasaan takut pada diriku, akan tetapi aku tidak berani untuk menanyakannya.

Kemudian Rasul bersabda, “Suruhlah anak-anak Ja’far kemari. Aku akan mendoakannya,” maka bergegaslah mereka mendekat kepada Rasulullah dan bercengkerama.

Rasulullah merangkul mereka, menciumnya, hingga tak kuat menahan tetesan air matanya.

Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah , apa yang membuat engkau menangis? Apakah ada sesuatu yang menimpa Ja’far?”

Beliau menjawab, “Ya, dia gugur sebagai syahid.” Asma pun terisak mendengar kabar itu. Setelahnya, muncul kemuraman pada wajah anak-anak Sayyidina Ja’far, saat mendengar tangisan ibunya.

Rasulullah kemudian bersabda, “Aku melihat Ja’far sebagai Malaikat di surga, bahunya bercucuran darah dan terbang di surga.”

Mila

Sumber: Ensiklopedia Anak Muslim

× Image