Telapak Jejak Kota Samarinda, dari Era Kerajaan sampai Hindia Belanda

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Dalam repositori Kemdikbud, dijelaskan sejarah Kota Samarinda. Dokumen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional (1986), yang memuat 186 laman, menjelaskan rinci perajalan sejarah Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Dijelaskan dalam dokumen itu, Kota Samarinda tumbuh dari tiga kampung pemukiman suku Kutai puak Melanti yaitu Kampung Mangkupalas, Kararnumus dan Karang Asam.
Ketiga kampung ini bergabung dengan Kelurahan Ulu Dusun di Kutai Lama di bawah pimpinan Ngabehi Ulu. Sejak abad ke-14 ketiga kampung itu memperoleh pengaruh yang sangat kuat dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, tetapi sesudah kekalahan Kerajaan Makassar tahun 1667 atau sesudah Perjanjian Bungaya (1662) pengaruh Makassar berangsur-angsur berkurang di Kalimantan Timur.
Pada tahun 1668 orang Bugis dari Sulawesi Selatan mulai bermukim di Kutai. Pada permulaan abad ke-18 berdatangan tiga pendatang baru Bugis Wajo di bawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona, pengikut La Maddukelleng putra Arung Paneki dari daerah Wajo.
La Mohang menghadap Raja Kutai Lama Ali Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martapura (Marhum Pamarangan 1730 - 1732) untuk mohon izin agar mereka diperbolehkan berdiam di wilayah Kerajaan Kutai.
Raja memberi izin mereka berdiam di Kutai tetapi harus mencari pemukiman di sekitar Sungai Mahakam, di antara dua dataran rendah. Orang-orang Wajo akhirrtya menemukan tempat itu dan menamakannya "Samarinda" yang terjadi dari dua kata, "sama" dan "rendah".
Setelah Pemerintah Kolonia! Belanda mematahkan perlawanan Sultan Salehuddin dari Kerajaan Kutai tahun 1844, Belanda menempatkan Asisten Residen H. von De Wall ke Samarinda Kota, yakni sesudah tempat itu dijadikan daerah yang langsung berada di bawah perintah gubernemen tau Vierkante paal tahun 1896.
Selain menjadi pusat pemerinthan Kalimantan Timur, gubernemen Belanda juga menjadikan Samarinda sebagai kota pelabuhan daerah Kutai dan sekitarnya.
Pada zaman NICA (1946 - 1949) Samarinda merangkap menjadi tiga ibukota pemerintahan. Yakni, pemerintahan keresidenan, pemerintahan Federasi Kalimantan Timur dan pemerintahan kawedanaan.
Sebelas tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, yaitu Januari 1957, Kalimantan Timur memperoleh status provinsi dan Samarinda terpilih menjadi ibukotanya. Tahun 1960 Samarinda menjadi kotapraja dan tahun 1969 dijadikan kotamadya.
Beberapa faktor yang menyebabkan Kota Samarinda berkembang dengan pesat antara lain letaknya yang strategis, kekayaan sumber alamnya baik di daerah pedalaman maupun di sekitarnya terutama di sektor perkayuan, minyak dan gas bumi.
Sehingga Samarinda menjadi kota penghasil devisa terbesar kedua sesudah-Medan, Sumatera Utara.
Samarinda yang menjadi ibu kota Provinsi. Kalimantan Timur dan ibu kota Kotamadya Samarinda didiami bermacam-macam suku bangsa. Mereka melakukan kegiatan pada pelbagai aspek kehidupan.
Masa VOC sampal 1799
Pada zaman VOC orang Belanda telah mencoba mengadakan perhubungan dengan Kutai dan Pasir. Kontak pertama antara Kutai dan Pasir dengan VOC terjadi pada tahun 1634.
Selain urusan perdagangan, Kompeni juga mengajak Kutai dan Pasir mengadakan monopoli perdagangan dan mengusir pedagang-pedagang Makasar dan Jawa dari kedua kerajaan itu (J. Eisenberger 1936:9).
Usaha Kompeni mengajak Kutai dan Pasir untuk mengadakan monopoli perdagangan ternyata tidak membawa hasil. Sebab Kerajaan Gowa sudah sejak tahun 1620 mempunyai hubungan baik dengan raja-raja Kutai.
Pada tahun 1635 di bawah pimpinan Gerrit Thomassen untuk kedua kalinya Belanda mengirim misi perdagangannya.
Di Kutai, Gerrit Thomassen bertemu dengan Sultan Sinom Panji Mendapa Ing Martapµra. Mereka membicarakan monopoli dagang mengingat kewajiban sultan Kutai harus membayar upeti kepada raja Banjarmasin (J. Eisenberger 1936;7).
Pembicaraan G. Thomassen Pool yang sengaja membuat raja Kutai dan Pasir tidak senang dan bertujuan mengadu domba raja-raja di Kalimantan Timur dan Banjarmasin, membuat misi perdagangan VOC gagal.
Sementara itu Kompeni belum mampu menyaingi pengaruh Gowa dan Mataram di Selat Makassar, upaya untuk menjinakan raja Kutai dan Pasir kembali diusahakan.
Pada tahun 1671, empat tahun sesudah Perjanjian Bongaya, Kompeni mengirim lagi misi perdagangan yang dipimpin Paulus de Beck dengan menumpang secara khusus kapal Oiialoup de Noorman.
Sekali lagi Paulus de Beck bertemu dengan Sultan Sinom PaJtji Mendapa Ing Martapura, tetapi tidak berhasil mengadakan hubungan dagang (J. Eisenberger 1936:9).
Selain usaha mengadakan hubungan langsung dengan Kutai dan Pasir, Kompeni berusaha juga melemahkan perdagangan antara Kutai dan Pasir dengan Makasar dan Jawa di perairan Selat Makassar.
Walaupun beberapa missi perdagangannya ke Kalimantan belum membawa hasil, Kompeni tetap melanjutkan usaha-usahanya melalui surat-menyurat ditujukan kepada raja-raja Kutai dan Pasir.
Usaha ini agaknya membawa hasil, karena pada tahun-tahun berikutnya, banyak barang-barang dari Pasir dan Kutai ditawarkan ke Makassar (Eisenberger 1936:9).
Pengangkutan barang-barang dagangan itu dilakukan oleh pedagang-pedagang Bugis pengikut Aru Palaka yang menjadi sekutu Kompeni, yang sejak 1668 mulai bermukim di Kutai sekitar Samarinda Seberang.
Ketika perantau-perantau Bugis Wajo bermukim di Pasir dan di Kutai, terutama di Samarinda Seberang, perdagangan Kutai dengan Kompeni mulai terputus.
Terjadilah persaingan antara pelaut-pelaut Bugis Wajo dengan Bugis Bone yang didukung oleh Kompeni. Kemacetan Hubungan perdagangan Kompeni di Selat Makassar ini diakui pula di Sulawesi Selatan.
La Maddukelleng membentuk armada Jaut yang oleh Lontara Sukku'na Wajo disebut gora' bajak laut yang oleh Asisten van Boen L.A. Emanuel dinyatakan sebagai "seorang bajak laut" yang amat ditakuti yang dengan 40 perahu layar selama beberapa tahun di beberapa ternpat membuat tidak arnan di lautan.
Pada tahun 17 36, setelah 10 tahun lamanya La Maddukelleng mememerintah di Pasir, datanglah suruhan Arung Matowa Wajo, La Salewangeng To Tenrirua, bernama La Delle menghadap Sultan Pasir.
Dalam suratnya Arung Matowa meminta La Maddukeleng kembali ke Wajo, guna rnemerdekakan Wajo dari dominasi Bone dan VOC (A.Z. Abidin SH, 1980:40).
Pada tanggal 6 Nopember 1736 rakyat mengangkat La Maddukelleng menjadi raja Wajo sampai tahun 17 54, Namun demikian annadanya masih menguasai Selat Makassar dan pengikut-pengikutnya masih bermukim di Pasir dari Kutai terutama di Samarinda Seberang.
Untuk mengatasi kemacetan perhubungan dagang ini, Kompeni mengirimkan pula missi dagangnya yang dipimpin oleh Van der Heyden ke Pasir dan ke Kutai.
Dalam laporannya kepada pembesar voe, dijelaskan bahwa kedua kerajaan di Kalimantan Timur itu baik untuk teman berdagang, tetapi sangat berbah~ya bagi orang Eropa untuk berdiam di daerah itu.
Berdasarkan keterangan missi Van der Heyden itulah kesulitan hubungan dagang antara Kompeni dengan Kutai tetap tidak teratasi Sesq.dah missi perdagangan 1747 yang dipimpin oleh Van der Heyden, Kompeni tidak lagi. mengirimkan kapal-kapal dagangnya ke Kutai dan Pasir. Sampaijatuhnya tahun 1899, Voe tidak pemah berhasil mengadakan hubungan dagang yang menguntungkan di kawasan ini.
Demikian pula tidak ada perwakilan dagang atau pembesar voe yang tinggal menetap di kedua kerajaan itu. Dengan demikian mudah dimengerti jika dalam sejarah VOC di Kalimantan tidak terdapat tulisan-tulisan mengenai keadaan Samarinda Kota maupun Samarinda Seberang.
Sebab kemungkinan pelabuhan yang terkenal pada zaman voe bukan Samarinda, tetapi Kutai Lama yang juga menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Kutai.
Masa Hindia Belanda (1800 - 1900)
Ketika VOC jatuh ( 1799), kekuasaan beralih ke tangan Gubememen Hindia Belanda. Akan tetapi sampai tahun 1800 Gubememen Belanda belum berhubungan langsung dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan Timur. Sampai pada zaman kekuasaan Inggris di Indonesia tahun 1811 - 1816 pengaruh asing masih belum sampai ke daerah ini.
Baru sesudah komisaris jenderal Belanda menerima penyerahan pemerintahan di Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1816 dari Inggris, Gubememen Belanda me- 7 mantapkan kekuasaannya ke seluruh Indonesia tennasuk Kalimantan Timur.
Pada tahun 1825 Gubememen Belanda di Betawi (Jakarta) mengirim utusannya George Muller untuk mengadakan perjanjian persahabatan dengan Sultan Salehuddin dari Kerajaan Kutai Kertanegara di Tenggarong. Setelah berhasil, ia bermaksud pula mengadakan perjalanan dari Samarinda ke Pontianak lewat Sungai Mahakam dan Sungai Kapuas. Akan tetapi di tengah perjalanan dia terbWluh dekat Marakaman (Carl Bock 1887. LIV; J. Eisenberger 1936 1936:20).
Seorang petualang dan penyelidik berkebangsaan Inggris bemama John Dalton · melakukan perjalanan keliling Kutai, melaporkan bahwa Salehuddin terlibat dalam pembunuhan George Muller itu.
Namun demikian Gubememen Belanda tidak dapat melakukan pembalasan karena pada saat yang sama, Belanda menghadapi perang di Ponorogo, Jawa Tengah; dan perlawanan Imam Bonjol di Sumatra Barat. Pada tahun 1844 suatu ekspedisi Inggris terdiri dua buah kapal, Young Queen dengan Kapitan Hart dan kapal perusak Anna dengan Kapitan Lewis.
Ekspedisi yang dipimpin James Erskine Murray itu mencoba menanam pengaruhnya di Kerajaan Kutai. Dengan perantaraan juru bicaranya seorang Benggala, ia mengumumkan kepada penduduk Samarinda dengan menyebut dirinya sebagai ''Tuwan Besar Raja Maris".
Dengan tidak menunggu izin Sultan Kutai ia berlayar dengan kedua kapalnya untuk mudik ke Tenggarong. Kepada Sultan, ia menyatakan kemauannya meminta tanali di Kota Tenggarong.
Empat Versi
Adapun mengutip laman Kebudayaan.kemdikbud.go.id, dijelaskan sekurang-kurangnya, ada empat versi asal-usul nama Kota Samarinda. Yakni:
1. Samarinda berasal dari Bahasa Melayu, kata “sama” dan “rendah berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit-terapung penduduk di Samarinda Seberang yang tidak ada lebih tinggi antara satu dengan yang lain, yang juga bermakna tatanan kemasyarakatan yang egaliter.
2. Samarinda berasal dari Bahasa Banjar, kata “sama” dan “rendah berdasarkan persamaan ukuran tinggi Sunga Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendah.
3. Samarinda berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu ”Samarindo” yang berarti salam sejahtera.
4. Berdasarkan tradisi lisan bahwa nama Samarinda berasal dari Bahasa Melayu dari kata “samar” dan “indah”.
Sejak 1300 Masehi
Melansir laman resmi Pemerintahan Kota Samarinda, sebelum dikenal dengan nama Samarinda, daerah ini termasuk dalam Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri pada 1300 Masehi.
Kerajaan ini daerah taklukan dari Kerajaan Banjar ini berada di Kutai Lama, hilir Sungai Mahakam arah tenggara Samarinda. Kerajaan tersebut ada di era Kerajaan Majapahit (abad ke-14 sampai 15 Masehi).
Mulanya, pusat Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama ada di Jahitan Layar. Lalu berpindah ke Tepian Batu pada 1635, seabad kemudian pindah lagi ke Pemarangan (Jembayan) pada 1732, barulah berpusat di Tenggarong sejak 1781 hingga 1960.
Penduduk yang mendiami Kalimantan bagian timur ini mulanya Suku Kutai Kuno, yang disebut Melanti termasuk ras Melayu Muda (deutro Melayu) sebagai hasil percampuran ras Mongoloid, Melayu, dan Wedoid. Yang kemudian migrasi dari Semenanjung Kra pada abad ke-2 Sebelum Masehi (SM).
Di abad ke-13 Masehi (tahun 1201-1300) sebelum dikenal sebagai nama Samarinda, sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi.
Yakni: Pulau Atas, Karang Asam, Karamumus (Karang Mumus), Luah Bakung (Loa Bakung), Sembuyutan (Sambutan) dan Mangkupelas (Mangkupalas).
Enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 Hijriyah (24 Februari 1849 M).
Di tahun 1565, terjadi migrasi suku Banjar dari Batang banyu ke daratan Kalimantan bagian timur. Kala itu, rombongan suku Banjar dari Amuntai di bawah pimpinan Aria Manau dari Kerajaan Kuripan merintis berdirinya Kerajaan Sadurangas (Pasir Belengkong) di daerah Paser.
Tak hanya itu, suku Banjar juga menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi daerah yang kini disebut Samarinda.
Saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda dibawah Laksamana Speelman memimpin Angkatan Laut menyerang Makassar dari laut, sedangkan Arupalaka yang membantu Belanda menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bongaja, tanggal 18 November 1667.
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap perjanjian Bongaja, tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya.
Antara lin, ada yang hijrah ke daerah Kalimantan Timur untuk mengabdikan diri pada Kerajaan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Poa Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Orang-orang Bugis Wajo yang bermukim di Samarinda pada permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668 yang dijadikan patokan untuk menetapkan hari jadi Kota Samarinda.
Pada peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor: 1 tahun 1988 Tanggal 21 Januari 1988, Pasal 1 berbunyi: Hari jadi Kota Samarinda ditetapkan tanggal 21 Januari 1668, bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 H.
Penetapan ini dilaksanakan bertepatan peringatan hari jadi Kota Samarinda ke-320, pada 21 Januari 1988.
Pembentukan Pemerintah Kota Samarinda didasarkan pada UU Nomor 27 Tahun 1959.
Berdasarkan PP 21 tahun 1987, Kota Samarinda terbagi menjadi empat Kecamatan, lalu pada tahun 1997 dimekarkan menjadi enam Kecamatan dan 53 Kelurahan.
Adapun berdasarkan Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 02 Tahun 2010 dimekarkan kembali menjadi 10 Kecamatan. Selanjutnya mengacu Perda No. 6/ 2014 Kelurahan dimekarkan kembali menjadi 59 Kelurahan.
Rudi Agung