Home > Regional

Daya Beli Lemah Berdampak Tren Perubahan Pola Konsumsi Rumah Tangga

Perubahan itu terjadi seiring kenaikan harga di beberapa kelompok penting.
Pusat pembelajaan sepi akibat lemahnya daya beli. 
Pusat pembelajaan sepi akibat lemahnya daya beli.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengkritisi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 yang mengalami perlambatan di angka 4,87 persen (year on year/yoy).

Menurutnya, perlambatan ekonomi terjadi lantaran daya beli masyarakat mengalami pelemahan, seiring melemahnya Indeks Keyakinan Konsumen yang dari Januari—Maret 2025.

“Perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dari 4,91 persen (kuartal I 2024) menjadi 4,89 persen (kuartal I 2025) merupakan sebuah peringatan dini. Padahal kuartal I 2025 terjadi perayaan hari besar keagamaan Hari Raya Idulfitri,” ujar Nailul dalam keterangannya, belum lama ini.

Di Kaltim, lemahnya daya beli berdampak pada tren konsumsi rumah tangga masyarakat yang mengalami perubahan. Data BPS Provinsi Kalimantan Timur mencatat bahwa pada Triwulan I‑2025, pengeluaran konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 1,52% (q-to-q), menjadi salah satu penggerak ekonomi daerah.

Perubahan itu terjadi seiring kenaikan harga di beberapa kelompok penting, misalnya, makanan dan minuman, pakaian, perumahan, dan kesehatan.

Inflasi Desember 2024 di Kaltim mencapai 1,47% y‑on‑y, terutama pada kelompok makanan, minuman & tembakau (+2,64%) serta pakaian & alas kaki (+2,12%) .

Namun, ada pula penurunan indeks pada kelompok transportasi (-2,03%) dan informasi-komunikasi-jasa keuangan (-0,62%).

Artinya, masyarakat mulai lebih hemat pada perjalanan maupun penggunaan teknologi/gaya hidup digital.

Berdasarkan Susenas dan publikasi Statistik Pengeluaran Kaltim 2024, sebagian besar konsumsi diarahkan ke kebutuhan primer dan gaya hidup sederhana. Tren ini menunjukkan peningkatan selektivitas dalam pengeluaran sehari-hari.

Secara keseluruhan, masyarakat Kaltim semakin cenderung memprioritaskan kebutuhan pokok dan menunda atau mengurangi konsumsi sekunder ketika inflasi meningkat—ini memberikan gambaran pola konsumsi lokal yang kian bijak.

Kenaikan Harga Pangan

Kelompok pangan masih mendominasi pengeluaran konsumen di Kaltim. Inflasi pada makanan, minuman dan tembakau yang mengalami kenaikan hingga 6,54 % y‑on‑y pada Juni 2024 menunjukkan tekanan harga yang terus berlangsung.

Lonjakan harga makanan langsung dirasakan rumah tangga, menyebabkan peningkatan porsi pengeluaran untuk pangan. Sebagai contoh di Balikpapan—inflasi pangan cukup tinggi meski total inflasi relatif rendah.

Hal ini mendorong masyarakat menggeser konsumsi dari produk import atau branded ke produk lokal—misalnya beralih ke beras lokal, sayuran petani Kaltim, dan ikan perairan dalam negeri. Ini sekaligus mendukung petani dan nelayan lokal.

Akibatnya, permintaan terhadap pasar tradisional dan UMKM pangan lokal meningkat. Pasar lokal, seperti di Samarinda dan Balikpapan, kembali ramai menjadi tempat belanja utama warga.

Kenaikan harga pangan telah memicu solidaritas dan kepercayaan pada produk lokal—mengubah kebiasaan konsumsi sekaligus memberikan peluang ekonomi bagi pelaku lokal.

Adaptasi Frugal Living

Konsumsi frugal atau frugal living, istilah gaya hidup ini menekankan pengelolaan keuangan yang bijaksana dan hemat. Tujuannya mengurangi pengeluaran dengan membeli barang yang benar-benar dibutuhkan dan menghindari pemborosan.

Frugal living bukan berarti hidup dalam keterbatasan, melainkan tentang memprioritaskan pengeluaran sesuai dengan kebutuhan dan mencari alternatif yang lebih murah.

Sejalan tren nasional seperti fenonema “under-consumption” atau gaya hidup minimalis, masyarakat Kaltim juga mulai menerapkan pola hidup hemat.

Misalnya, penggunaan ulang barang, membatasi pengeluaran pada layanan non-esensial, dan konsumsi yang lebih selektif.

Downtrading atau pergantian produk ke merek atau varian lebih murah—juga terjadi di kelas menengah di Kaltim. Mereka tetap berkunjung ke mall atau pusat perbelanjaan, tapi belanja barang lebih hemat.

Pola ini terlihat sejalan dengan tren nasional. Sayangnya, belum ada data lokal spesifik, tetapi logika kebijakan menunjukkan bahwa penurunan daya beli memicu perubahan perilaku konsumsi demi menjaga keseimbangan finansial keluarga.

Selain itu, konsumen juga lebih sering “window shopping” di mall, membandingkan barang di toko fisik sebelum membeli online untuk harga lebih murah.

Hal ini menunjukkan masyarakat Kaltim semakin kritis dan cermat dalam memilih produk, memadukan pengalaman fisik dan efisiensi harga.

Frugal living menekankan pada pembelian barang yang benar-benar dibutuhkan, bukan hanya keinginan sesaat atau mengikuti tren. Mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan menghindari pemborosan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti makanan, pakaian, atau hiburan.

Mencari opsi yang lebih terjangkau untuk memenuhi kebutuhan, seperti memasak sendiri daripada makan di luar, atau menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi.

Konsumsi lokal di Kalimantan Timur saat ini ditandai: Proaktif menata pengeluaran dengan fokus pada kebutuhan primer dan selektif terhadap sekunder.

Perubahan preferensi, beralih ke produk lokal, usaha mikro, dan pasar tradisional. Gaya hidup hemat seperti minimalis, downtrading, window shopping dan belanja online hemat.

Tren ini menyediakan peluang besar bagi pelaku UMKM lokal, petani, nelayan, dan usaha berbasis ekonomi kerakyatan. Pengelolaan pasar, stabilisasi harga, dan kesiapan digital menjadi kunci agar potensi ini semakin optimal.

Mila

× Image