Eks Petinggi UE: Uni Eropa Membiarkan Genosida di Gaza Berlanjut

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Mantan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, pada hari Rabu mengkritik para menteri luar negeri Uni Eropa.
Borrel menilai Uni Eropa telah membiarkan Israel melakukan genosida di Gaza terus berlanjut.
Ia menyesalkan kegagalan para menteri luar negeri Uni Eropa karena tidak mengambil tindakan apa pun untuk meminta pertanggungjawaban pendudukan Israel atas pelanggaran hak asasi manusia di Jalur Gaza, seperti dilaporkan Days of Palestine.
Terkait hasil pertemuan para menteri pada hari Selasa di Brussels, Borrell menyatakan dalam sebuah postingan di platform X bahwa hal ini akan memungkinkan genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza untuk terus berlanjut “tanpa henti.”
Borrell menegaskan Uni Eropa gagal memutuskan pelanggaran Israel terhadap klausul hak asasi manusia dalam perjanjian kemitraan di antara mereka.
Ia berkata: “Eropa telah memutuskan untuk tidak menghukum pendudukan Israel atas kejahatan perang yang sedang berlangsung dan membiarkan genosida di Gaza terus berlanjut tanpa henti.”
Meskipun Uni Eropa meninjau perjanjian kemitraan dengan pendudukan Israel dan mengonfirmasi bahwa Tel Aviv melanggar hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki, tidak ada sanksi yang dijatuhkan selama pertemuan para menteri luar negeri pada hari Selasa.
Borrel kerap kali mengkritik pembiaran genosida di Gaza.
Sebelumnya, Josep Borrell pernah menyebut "tentara bayaran Amerika" telah membunuh 550 warga Palestina di Gaza dalam satu bulan.
Ia menuding Dewan Eropa dan Komisi Eropa tetap diam mengenai peristiwa ini.
Dalam postingan di akun X-nya, ia menyatakan, “Dalam satu bulan, 550 warga Palestina yang kelaparan dibunuh oleh tentara bayaran Amerika ketika mencoba mendapatkan makanan di titik distribusi yang ditunjuk oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza,” yang didukung Amerika Serikat dan Israel.
Borrell menggambarkan tindakan tersebut sebagai tindakan "mengerikan," dan memasukkan laporan Dewan Eropa dan Komisi Eropa dalam postingan tersebut.
Ia menyesalkan mereka tidak mau bertindak "melawan kejahatan yang dilakukan di Gaza."
Pada Rabu pekan lalu, Borrel juga angkat bicara terkait wacana pencalonan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai peraih Nobel Perdamaian oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Borrell mengkritik Netanyahu bahkan menyebutnya sebagai "tersangka penjahat perang yang dicari oleh keadilan internasional."
Borrel mengecam pencalonan yang mendapat cibiran publik internasional tersebut, seperti dilansir Republika. Komentar Borrell muncul sebagai tanggapan atas pengumuman Netanyahu saat jamuan makan malam di Gedung Putih, Selasa (8/7/2025) pagi.
Pemimpin Israel tersebut mengungkapkan pencalonan resminya kepada Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Trump digambarkan sebagai "pemasok senjata terbesar" bagi pendudukan Israel.
Borrell menyatakan bahwa pencalonan ini tidak hanya sinis tetapi juga mengerikan.
Ia mengungkap bahwa pencalonan ini menggambarkan, "Seorang tersangka penjahat perang ingin memberi penghargaan kepada pemasok senjata terbesarnya."
Borrell menjelaskan, Presiden AS itu bertanggung jawab bersama Netanyahu atas operasi pembersihan etnis terbesar yang pernah terjadi di kawasan itu sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Korban Genosida Bertambah Lagi
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza telah merilis dokumen setebal 2.086 laman yang berisi daftar nama seluruh warga Palestina yang tewas dalam genosida oleh zionis Isarel.
Laporan yang dipublikasikan di Telegram ini mencatat nama, usia, jenis kelamin, dan nomor identitas nasional dari 58.380 individu.
Di antara mereka ada setidaknya 953 bayi di bawah usia satu tahun, termasuk sembilan bayi baru lahir yang dibunuh tepat di hari kelahiran mereka.
Dokumentasi yang mencekam ini muncul di tengah serangan udara Israel yang terus merenggut nyawa di Jalur Gaza.
Pada Kamis dini hari, beberapa serangan mematikan dilaporkan terjadi di wilayah kantong yang terkepung tersebut. Di Jabalia al-Balad, di Gaza utara, seorang pria, istrinya, dan lima anak mereka tewas ketika pesawat tempur Israel mengebom rumah keluarga mereka.
Di lingkungan al-Zeitoun di tenggara Kota Gaza, empat warga sipil tewas dan lainnya terluka ketika pasukan Israel menargetkan apartemen milik keluarga Abu Eida, di dekat Sekolah Imam al-Shafi'i.
Serangan terpisah di sebelah barat Kota Gaza menewaskan satu warga sipil dan melukai beberapa lainnya ketika sebuah unit hunian milik keluarga Ajur terkena serangan.
Di Gaza tengah, kamp pengungsi al-Nuseirat menyaksikan lebih banyak pertumpahan darah ketika empat warga sipil tewas dalam serangan artileri di Jalan Salah al-Din.
Di tempat lain di Jalur Gaza tengah, empat warga Palestina tewas saat sebuah tenda yang melindungi mereka di dalam Sekolah Abu Helou di kamp pengungsi al-Bureij dibom.
Serangan lainnya menargetkan kerumunan warga sipil di dekat pompa bensin Bahloul di lingkungan al-Nasr Kota Gaza, menewaskan satu orang dan melukai beberapa lainnya.
Di Deir al-Balah, penembakan Israel melukai beberapa warga sipil di daerah al-Barakah di selatan kota.
Di Jalur Gaza selatan, Israel melanjutkan kebijakan penghancuran yang meluas dengan menghancurkan beberapa bangunan tempat tinggal di barat laut Rafah.
Senjata Kelaparan
Pasukan pendudukan Israel terus mencekik kehidupan warga sipil di Gaza dengan menggunakan senjata kelaparan dan kehausan di samping roket dan penembakan.
Kasus kekurangan gizi di kalangan anak-anak dan orang dewasa membanjiri sistem kesehatan yang tidak mampu mengatasi kenyataan suram genosida yang sedang berlangsung selama 21 bulan.
Menurut statistik terbaru UNRWA, satu dari 10 anak yang diperiksa di kliniknya menderita malnutrisi.
Menurut UNICEF lebih dari 5.800 kasus malnutrisi anak pada bulan Juni saja, menandai peningkatan kasus selama empat bulan berturut-turut.
Di tenda sederhananya di pantai kota Deir al-Balah, Riham Hassouna, yang telah mengungsi sepuluh kali sejak perang dimulai dari Khan Younis, menghadapi nasib yang tak menentu.
Ia berkata, “Perang telah menguras tenaga kami. Penyakit telah menyerang tubuh kami; kami semua telah menua Di mana dunia? Di mana PBB dan organisasi hak asasi manusia? Hentikan genosida ini.”
Ia menyampaikan kepada Palestine Online, “Anak-anak kami menangis karena panas dan kelaparan Kami belum makan roti selama seminggu.”
Gaza, tempat tinggal hampir dua juta orang di wilayah yang luasnya tidak melebihi 15% wilayah Jalur Gaza akibat operasi militer Israel, mengalami kekurangan tepung yang parah.
Komoditas vital ini hanya tersedia melalui apa yang disebut "jalur kematian" menuju titik-titik distribusi bantuan yang dikelola Yayasan Kemanusiaan Gaza yang kontroversial, yang didukung AS dan Israel.
Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah mendokumentasikan pembunuhan sedikitnya 875 warga Palestina dalam enam minggu terakhir di dekat titik distribusi bantuan.
Di dalam tenda plastik, Manal Sahwil menggendong putrinya, Dana, yang menderita cerebral palsy sejak lahir. Sang ibu meratapi kerasnya hidup setelah suaminya gugur dalam perang, meninggalkannya dengan enam anak, salah satunya membutuhkan perawatan harian, nutrisi, dan air bersih.
Ia mengatakan, “Saya tidak bisa menyediakan kebutuhan minimum untuk anak-anak saya; tidak ada makanan, tidak ada minuman, bahkan popok pun tidak ada Hampir setiap hari, anak-anak tidur dalam keadaan lapar.”
Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP) Cindy McCain mengatakan keluarga-keluarga di Gaza kelaparan. Sebeltulnya mereka memiliki cukup makanan di perbatasan untuk memberi makan lebih dari satu juta orang selama empat bulan.
Namun, program tersebut tidak dapat mengirimkan pasokan tersebut karena blokade ketat Israel di semua jalur penyeberangan sejak awal Maret.
Baru-baru ini beredar rumor adanya perjanjian antara Uni Eropa dan Israel untuk mengizinkan lebih banyak truk makanan masuk ke Gaza dan membuka titik penyeberangan tambahan.
Namun Direktur jaringan organisasi masyarakat sipil Gaza, Amjad Al-Shawa, membantah adanya perjanjian tersebut, dan menegaskan kelaparan di Gaza saat ini termasuk bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Al-Shawa mengatakan Israel masih memberlakukan pengepungan militer yang ketat di semua penyeberangan. “Bahkan tidak mengizinkan masuknya truk bantuan atau makanan, obat-obatan, atau bahkan perlengkapan bayi."
Ia menambahkan, "Kami hanya mendengar tentang kesepakatan ini melalui laporan media, tetapi tidak ada perubahan nyata atau tindakan lapangan. Kondisi kehidupan terus memburuk setelah 135 hari penutupan total semua akses di Gaza."
Al-Shawa merujuk runtuhnya rumah sakit di sektor tersebut akibat kekurangan obat-obatan, bahan bakar, dan pasokan medis, yang sangat meningkatkan risiko bagi pasien dan fasilitas kesehatan.
Ia juga menyoroti krisis air yang disebabkan rusaknya 85% infrastruktur akibat pendudukan dan pencegahan pengiriman bahan bakar. Kebutuhan ini sangat urgen untuk mengoperasikan sumur air yang tersisa.
Akibatnya memaksa penduduk menggunakan air yang tidak aman dan menyebabkan epidemi dan penyakit. Ia menegaskan bahwa pendudukan sengaja menciptakan kelaparan di Gaza dan memiliterisasi bantuan untuk memperparah krisis kemanusiaan di Jalur Gaza yang terkepung.
Ia mendesak komunitas internasional menekan Israle agar membuka sepenuhnya penyeberangan. Serta mengizinkan PBB dan organisasi lokal mengirimkan makanan, medis, pasokan vital, dan menghentikan genosida.
Mila