Ratusan Wartawan Dibunuh Penjajah Israel, RSF Desak PBB Bersidang sesuai Resolusi 2222

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Reporters Without Borders (RSF) pada hari Senin mengutuk dengan "keras dan marah" "pengakuan pembunuhan oleh tentara Israel" terhadap koresponden Al Jazeera, Anas al-Sharif, yang diakui angkatan bersenjata telah mereka targetkan.
Organisasi non-pemerintah, yang didirikan 1985 dan berbasis di Paris itu menyebut, al-Sharif sebagai "salah satu jurnalis paling terkenal dari Jalur Gaza (dan) suara penderitaan yang dipaksakan Israel terhadap warga Palestina di Gaza".
Organisasi tersebut, menurut stasiun radio publik Prancis - Radio France Internationale (RFI), mendesak Dewan Keamanan PBB untuk bersidang berdasarkan Resolusi 2222 tentang perlindungan jurnalis dan mendesak "tindakan tegas" untuk menghentikan serangan semacam itu.
"Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mengadakan pertemuan darurat berdasarkan Resolusi 2222 tahun 2015 tentang perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata," desak RSF.
RSF mengatakan tuduhan tentara Israel bahwa al-Sharif seorang anggota Hamas dibuat "tanpa bukti", menuduhnya mengulangi "taktik terkenal" terhadap staf Al Jazeera.
RFI yang disiarkan ke seluruh dunia melalui lebih dari 1682 radio mitra, juga melaporkan Al-Sharif dipuji rekan-rekannya sebagai "salah satu jurnalis paling berani di Gaza". Ia tewas bersama empat rekannya, ketika tenda di dekat Rumah Sakit Shifa di bagian timur Kota Gaza diserang pada hari Ahad.
Pejabat Gaza dan Al Jazeera melaporkan empat staf lainnya yang tewas yakni, Mohammed Qreiqeh, juga seorang koresponden, dan juru kamera Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Moamen Aliwa.
Jurnalis keenam, Mohammed Al-Khaldi yang bekerja sebagai reporter lepas, juga tewas dalam serangan yang menargetkan tim Al Jazeera, menurut direktur Rumah Sakit Al-Shifa, Dr Mohammed Abu Salmiya.
Militer Israel mengklaim al-Sharif adalah pemimpin sel Hamas dan terlibat dalam peluncuran roket ke sasaran-sasaran Israel. Al Jazeera dengan tegas membantah tuduhan tersebut, begitu pula al-Sharif sendiri sebelum kematiannya.
Penyiar tersebut menggambarkan serangan itu sebagai "upaya putus asa untuk membungkam suara-suara yang mengantisipasi pendudukan Gaza."
RSF pada Jumat (3/5/2025) merilis Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025 dengan mengatakan bahwa selain masih mengalami kekerasan, pers global juga mengalami tekanan ekonomi.
Organisasi itu melaporkan kebebasan pers di dunia "berada pada titik terendah" dan kondisinya "kritis" karena penurunannya terus berlanjut pada tahun ini.
Dalam pernyataan di situs resminya, RSF menegaskan di tengah menurunnya kebebasan pers di banyak negara di dunia, ada satu faktor utama yang secara serius melemahkan media yakni tekanan ekonomi.
Indikator ekonomi dalam penyusunan peringkat indeks menunjukkan media massa menghadapi dilema antara mempertahankan independensi pemberitaan dan memastikan kelangsungan hidup mereka, menurut pernyataan itu.
Raih Pulitzer
Terkait karier Al-Sharif ditandai dengan keberanian dan pengakuan internasional. Ia telah berkontribusi pada fotografi juga meraih Penghargaan Pulitzer yang meliput perang Israel-Hamas tahun 2024.
Dikenal karena laporan tajam dan gambar yang menarik, ia membangun pengikut lebih dari setengah juta di X, tempat ia berbagi kabar terkini dari garis depan hingga menit-menit sebelum serangan fatal.
Tulisan terakhirnya menggambarkan pemboman hebat di Kota Gaza yang berlangsung lebih dari dua jam.
Jurnalis dan organisasi hak asasi manusia turut mengutuk pembunuhan tersebut.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), yang telah memperingatkan pada bulan Juli bahwa nyawa Al Sharif terancam, mengatakan Israel telah gagal memberikan bukti yang kredibel untuk mendukung klaimnya.
Direktur CPJ untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Sara Qudah, menuduh Israel melakukan "pola pelabelan jurnalis sebagai militan tanpa memberikan bukti yang kredibel" dan mengajukan "pertanyaan serius tentang niat dan penghormatannya terhadap kebebasan pers."
Pelapor Khusus PBB tentang kebebasan berekspresi, Irene Khan, sebelumnya mengatakan tuduhan Israel terhadap al-Sharif tidak berdasar.
Al Jazeera juga mengungkapkan, Al Sharif telah menyiapkan pesan untuk publikasi anumerta: "Saya tidak pernah ragu menyampaikan kebenaran sebagaimana adanya, tanpa distorsi atau salah tafsir, berharap Tuhan akan menyaksikan mereka yang tetap diam."
Tuduhan Afiliasi Klaim Palsu
Ini bukan pertama kalinya nama al-Sharif dikaitkan dengan tuduhan semacam itu. Pada Oktober lalu, militer Israel mengklaim ia salah satu dari enam jurnalis Gaza yang berafiliasi dengan Hamas atau Jihad Islam Palestina, dengan mengutip apa yang dikatakannya sebagai catatan pelatihan dan gaji.
Al Jazeera berkali-kali menepis bukti tersebut dan menganggapnya palsu pada saat itu.
Hamas mengutuk serangan terbaru itu, mengklaim itu bagian rencana Israel untuk melancarkan serangan besar baru di Kota Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berjanji untuk membongkar sisa benteng Hamas di daerah kantong tersebut, tempat kelaparan menyebar setelah 22 bulan perang .
Menurut kantor media pemerintah Gaza, 237 wartawan telah tewas sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023. CPJ mencatat sedikitnya 186 kematian di kalangan jurnalis selama konflik.
Para jurnalis di Gaza tengah menjadi sasaran langsung aksi pembunuhan tentara penjajah Israel. Nama mereka bahkan dimasukkan dalam daftar tentara zionis untuk dibunuh secara sengaja, ungkap seorang jurnalis yang meliput perang Gaza.
"Anas al-Sharif dan rekan-rekannya termasuk di antara suara-suara terakhir yang tersisa di Gaza yang menyampaikan kenyataan tragis ini kepada dunia," lapor Al Jazeera dalam pernyataannya.
Wartawan internasional dilarang bepergian ke Gaza oleh Israel, kecuali untuk perjalanan tertentu yang dikontrol ketat oleh militer.
Serangan terhadap wartawan itu terjadi di tengah meningkatnya kritik atas keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk memperluas perang di Jalur Gaza.
Kabinet keamanan memberikan suara pada minggu lalu untuk menaklukkan seperempat wilayah yang tersisa yang belum dikuasai penjajah Israel.
Termasuk sebagian besar Kota Gaza dan Al-Mawasi, wilayah yang ditetapkan sebagai zona aman oleh Israel, tempat sejumlah besar warga Palestina mencari perlindungan.
Rencana itu, menurut laporan media Israel telah memicu perselisihan sengit antara pemerintah dan pimpinan militer, menuai kecaman para pengunjuk rasa di Israel dan banyak negara, termasuk sekutu Israel.
Kebebasan Pers di Titik Terendah
Di Jalur Gaza, serangan penjajah Israel telah menghancurkan gedung-gedung media dan menewaskan hampir lebih dari 200 wartawan.
Dalam catatan RFS, penjajah Israel telah menewaskan sebanyak 270 wartawan dan pekerja media sejak melakukan genosida di Gaza.
Selain itu, RSF melaporkan raksasa teknologi global semisal Google, Apple, dan Meta telah merebut pendapatan iklan yang selama ini menjadi penopang hidup media.
Total pengeluaran iklan di media sosial mencapai 247,3 miliar dolar AS (hampir Rp407 triliun) pada 2024, meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya.
RSF juga menyebut platform daring telah menghambat ruang informasi lantaran ikut menyebarkan konten menyesatkan yang memperkuat disinformasi.
Menurut RSF, konsentrasi kepemilikan media di tangan pembesar politik juga mengancam kemajemukan media di beberapa negara.
RSF juga mengungkap, di India, Indonesia, dan Malaysia, konglomerat yang memiliki koneksi politik dinilai mengendalikan sebagian besar grup media.
Organisasi itu juga melaporkan kebebasan pers di dunia berada pada titik terendah, dan kini kondisinya "kritis" lantaran penurunannya terus berlanjut di tahun ini.
Indeks Kebebasan Pers tahun 2025, menurut RSF, menempatkan Indonesia di posisi 127. Peringkat ini merosot 16 tingkat dibanding tahun lalu.
Adapun peringkat pertama ditempati Norwegia dan peringkat terakhir diduduki Eritrea. Adapun Malaysia di posisi 88, tercatat sebagai negara-negara yang indeks kebebasan persnya mengalami peningkatan.
Mila