Sejarah Industri Minyak Balikpapan: Konsesi Mathilda hingga Lahirnya Kota Minyak

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Ketika kabar penemuan minyak bumi di Pulau Jawa dan Sumatra menggema, Jacobus Hubertus Menten— pensiunan Dinas Pertambangan Belanda, merasa tertantang.
Ia yang tengah bertugas mengeksplorasi batu bara di muara Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, tahu bahwa tanah di timur Kalimantan menyimpan potensi serupa. Namun ambisinya terganjal aturan kolonial yang melarang pemegang konsesi batu bara menambang minyak bumi dan mineral lainnya.
Di tahun 1888, Sultan Kutai Kertanegara Ing Martapura, Aji Muhammad Sulaiman, telah memberikan Menten tiga konsesi batu bara: Mathilda di Teluk Balikpapan, Louise di Sangasanga, dan Nonny di timur Mathilda. Ketiga wilayah itu menjadi cikal bakal penemuan besar yang akan mengubah wajah Kalimantan Timur selamanya.
Trik Hukum yang Mengubah Sejarah Pertambangan
Menten tak habis akal. Ia memasukkan konsesi Mathilda dan Louise ke dalam Undang-Undang Pertambangan Kolonial Belanda. Melalui besluit (keputusan pemerintah) tertanggal 30 Juni 1891 Nomor 4, cakupan komoditas tambang yang dapat dieksploitasi diperluas hingga mencakup minyak bumi.
Langkah ini membuka jalan baginya untuk memulai eksplorasi minyak secara legal di bawah payung hukum kolonial.
Menurut Akhmad Ryan Pratama dalam bukunya Industri Minyak Balikpapan dalam Dinamika Kepentingan Sejak Pendirian hingga Proses Nasionalisasi (2012), keputusan itu menjadi titik balik sejarah industri minyak di Balikpapan.
Kemitraan Strategis dengan Samuel & Co
Tahun 1896, Menten menggandeng perusahaan asal Inggris, Samuel & Co, yang diwakili oleh Adams. Perusahaan tersebut melakukan penelitian terhadap ketiga konsesi milik Menten. Hasilnya sesuai harapan: kandungan minyak bumi ditemukan di wilayah Louise, Sangasanga. Tahun berikutnya, Menten dan timnya memulai pengeboran dengan pendanaan dari Samuel & Co.
Pada kedalaman 46 meter, semburan minyak pertama ditemukan.
Volume yang diperoleh cukup untuk dikomersialkan. Penemuan ini kemudian dijual kepada Shell Trading and Transport Company yang tak lama membentuk anak perusahaan bernama Nederlandsch Indische Industrie en Handel Maatschappij (NIIHM).
Hari Bersejarah: 10 Februari 1897, Awal Balikpapan Menjadi Kota Minyak
Setelah sukses di Sangasanga, Menten bersama NIIHM melakukan pengeboran di konsesi Mathilda pada 10 Februari 1897, tepat di kaki Gunung Komendur, Kampung Pelayaran, Prapatan, Balikpapan.
Meski hasil awal tidak terlalu besar, peristiwa tersebut menandai lahirnya industri minyak bumi di wilayah ini. Tanggal pengeboran itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Balikpapan.
Kilang minyak Balikpapan kelak menjadi ikon penting yang mengubah daerah pesisir ini menjadi salah satu pusat industri terbesar di Hindia Belanda.
Kegagalan Awal dan Sukses Kedua
Pengeboran pertama di Balikpapan sempat mengecewakan. Peralatan yang digunakan belum mampu menembus lapisan minyak bumi secara maksimal.
Namun pada April 1897, NIIHM mendatangkan teknologi pengeboran yang lebih modern. Hasilnya luar biasa—cadangan minyak melimpah ditemukan di bawah konsesi Mathilda dan Louise.
Dalam satu tahun, tepatnya 1898, produksi tahunan dari kedua konsesi mencapai 32.618 barel minyak mentah. Angka ini menempatkan Balikpapan sebagai salah satu penghasil minyak terbesar di Hindia Belanda kala itu.
Pembangunan Kilang Minyak Pertama di Balikpapan
Kebutuhan akan tempat pengolahan membuat pembangunan kilang minyak di Teluk Balikpapan dimulai pada September 1897, hanya tujuh bulan setelah pengeboran pertama.
Dua insinyur, Madge dan Richards, ditugaskan merancang kilang tersebut. Mereka mendirikan beberapa tangki besar di tepi teluk untuk menampung minyak mentah dari konsesi Mathilda dan Louise.
Pada akhir 1899, kilang minyak Balikpapan resmi beroperasi. Dari sinilah roda industri minyak bumi di Kalimantan Timur mulai berputar cepat.
Dukungan Kesultanan Kutai dan Pembangunan Pelabuhan
Kesultanan Kutai menunjukkan dukungannya dengan menyerahkan sebagian wilayah pesisir Teluk Balikpapan untuk pembangunan pelabuhan.
Dermaga ini digunakan Shell untuk menambatkan kapal pengangkut minyak dari kilang ke berbagai tujuan ekspor. Kehadiran pelabuhan menjadikan Balikpapan simpul penting perdagangan minyak internasional.
Produksi Awal: Parafin, Pelumas, dan Minyak Tanah
Menurut Akhmad Ryan Pratama, kilang minyak Balikpapan awalnya memproduksi parafin untuk lilin, pelumas mesin, serta minyak tanah sebagai bahan penerangan dan penghangat ruangan. Produk-produk ini sangat diminati di pasar kolonial dan Asia Tenggara.
Menariknya, sebagian minyak tanah dikirim ke Singapura untuk dicampur dengan minyak impor dari Rusia demi meningkatkan kualitasnya sebelum dijual kembali ke berbagai negara.
Ekspansi dan Modernisasi Kilang pada 1912
Pada 1912, kapasitas produksi kilang minyak Balikpapan meningkat pesat hingga mencapai 450 ton per bulan. Modernisasi ini juga melibatkan pemasangan mesin perekah baru yang mampu meningkatkan mutu minyak tanah dan bahan bakar lainnya.
Hal ini menegaskan posisi Balikpapan sebagai pusat penyulingan minyak modern di Asia Tenggara kala itu.
Balikpapan: Kota yang Lahir dari Minyak
Dari pengeboran pertama hingga pembangunan kilang besar, sejarah Balikpapan tidak bisa dipisahkan dari industri minyak.
Aktivitas tambang, pelabuhan, dan pekerja asing yang berdatangan membentuk pondasi sosial dan ekonomi kota ini. Balikpapan lantas dijuluki sebagai “Kota Minyak”, identitas yang melekat hingga hari ini.
Meski kini kilang Balikpapan telah mengalami modernisasi dan nasionalisasi di bawah Pertamina, jejak sejarah kolonialnya masih bisa ditemukan.
Beberapa situs seperti Teluk Balikpapan, kawasan Prapatan, dan sisa infrastruktur lama menjadi saksi bisu perjalanan panjang industri minyak di Indonesia.
Dari Konsesi Pribadi ke Pusat Energi Nasional
Kisah Jacobus Hubertus Menten membuktikan bahwa keberanian dan kecerdikan dapat mengubah sejarah. Dari konsesi batu bara sederhana, ia membuka jalan bagi berdirinya salah satu kilang minyak tertua di Indonesia.
Kini, Balikpapan tidak hanya dikenal sebagai kota modern, tapi juga sebagai pusat energi strategis yang lahir dari sejarah panjang perjuangan dan eksplorasi.
Bahkan, kini terus melesat dengan pembangunan Refinery Development Master Plan atau RDMP, yang nyaris tuntas. Progresnya sudah mencapai 96 persen.
Penopang Kemandirian Energi
Menurut laporan Republika, perkembangan proyek RDMP Balikpapan dan Lawe-Lawe memasuki fase krusial commissioning dan persiapan start-up kilang.
Saat ini perkembangannya semakin signifikan. Menurut Taufik, saat ini menjadi penentu keberhasilan proyek dalam meningkatkan kapasitas produksi dan kualitas bahan bakar minyak.
Hingga akhir September 2025, pengerjaan proyek yang digarap KPI telah mencapai progres 96,5 persen dengan sejumlah fasilitas utama mulai beroperasi.
Ia menjelaskan, RDMP Balikpapan memiliki tiga tujuan utama.
Yaitu, meningkatkan kapasitas pengolahan kilang dari 260 ribu barel per hari menjadi 360 ribu barel per hari. Kemudian meningkatkan kualitas produk dari Euro 2 menjadi Euro 5, dan mendorong kompleksitas kilang dengan Nelson Complexity Index (NCI) naik dari 3,7 menjadi 8,0.
"Proyek ini erat kaitannya dengan arah pembangunan nasional dalam Asta Cita. Proyek akan berkontribusi langsung memperkuat ketahanan ekonomi dan kemandirian pasokan energi," jelasnya, Rabu (1/10/2025).
Selain aspek teknis, RDMP Balikpapan juga memberi dampak luas terhadap perekonomian.
Proyek ini menyerap hingga 24 ribu tenaga kerja pada puncak konstruksi, menumbuhkan sentra ekonomi baru, serta menggerakkan UMKM di sekitar wilayah proyek.
Saat ini, fasilitas yang telah berjalan meliputi unit revamping pengolahan crude, fasilitas gas Senipah, tangki penyimpanan crude, Single Point Mooring (SPM) dan pipeline Lawe-Lawe, hingga berbagai utilitas utama.
Misalnya, Brackish Water Reverse Osmosis (BWRO), cooling tower, Gas Turbine Generator (GTG), tangki penyimpanan feed RFCC, dan Main Control Room (MCR).
Operasional fasilitas-fasilitas ini memperkuat infrastruktur energi nasional dan meningkatkan efisiensi kilang. Selain fasilitas utama, sejumlah unit pendukung lain juga siap beroperasi.
Antara lain pembangkit listrik (Gas Turbine Generator), Boiler, sistem pendingin (Cooling Water System), jalur pipa minyak mentah dari Terminal Lawe-Lawe.
Selain itu, flare system sebagai bagian pengamanan proses kilang.
Bahkan, KPI baru saja mengoperasikan unit baru Saturated LPG Treater untuk membersihkan LPG dari zat pengotor, terutama sulfur. Tahap berikutnya pengoperasian unit Residue Fluid Catalytic Cracking (RFCC) pada triwulan IV 2025.
Unit ini mampu mengolah residu menjadi produk bernilai tinggi dengan kapasitas 90 ribu barel per hari, menghasilkan gasoline, LPG, dan propylene. Proses awal start-up RFCC telah ditandai dengan pemasukan catalyst pada Agustus lalu.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso menambahkan, RDMP menjadi salah satu program strategis memenuhi kebutuhan energi nasional.
“Pertamina mengajak semua pihak untuk bersinergi mencapai target ketahanan energi, sehingga kemandirian energi dapat terwujud,” ujarnya.
Taufik Hidayat, berbagai sumber