Anak-anak Gaza Dihantui Trauma, Kelaparan dan Amputasi

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Anak-anak di Gaza menghadapi gelombang amputasi, trauma, dan kelaparan yang menghancurkan seiring runtuhnya sistem kesehatan akibat pemboman dan blokade penjajah zionis Israel.
Kelompok-kelompok kemanusiaan memperingatkan bahwa ruang aman kewalahan, perawatan medis hampir tidak ada, dan malnutrisi semakin tak terkendali.
Komite Penyelamatan Internasional (IRC) mengatakan anak-anak Gaza tidak hanya kehilangan anggota tubuh mereka, tetapi juga masa kecil mereka.
Banyak yang terbangun "menjerit karena mimpi buruk" setelah selamat dari serangan yang menewaskan atau melukai anggota keluarga.
Layanan prostetik dan rehabilitasi langka, perawatan trauma hampir tidak ada, dan pembatasan yang diberlakukan Israel mencegah pasokan penting bagi anak-anak memasuki Jalur Gaza.
IRC dan mitranya menyediakan layanan sosial darurat, konseling, kegiatan bermain dan mendongeng, serta sesi khusus untuk anak-anak penyandang disabilitas atau korban perang.
Mereka juga mendukung para pengasuh dan menghubungkan kasus-kasus kritis dengan layanan medis dan rehabilitasi bila memungkinkan.
Namun, organisasi tersebut memperingatkan bahwa upaya-upaya ini hanyalah setetes air di lautan. "Ruang aman terlalu padat, pendidikan berada di ambang kehancuran, dan malnutrisi semakin parah," kata IRC, dilansir Days of Palestine, Rabu (24/9/2025).
Kelaparan parah kini memperparah krisis. Sebuah data terbaru terhadap 469 keluarga pengungsi di Kota Gaza, Deir al-Balah, dan sebagian Khan Yunis mengungkapkan bahwa satu dari tiga anak di bawah usia tiga tahun belum makan apa pun dalam 24 jam sebelum survei.
Hampir tiga perempat keluarga dengan anak kecil melaporkan tanda-tanda malnutrisi yang nyata, sementara hanya 1% keluarga yang ditemukan memiliki ketahanan pangan.
Keluarga terpaksa mengurangi porsi makan atau bahkan melewatkan makan sama sekali karena hampir tidak ada protein dan produk segar.
“Temuan ini konsisten dengan data Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) terbaru dan penilaian IRC sebelumnya, yang menunjukkan tingginya angka malnutrisi di kalangan anak-anak dan ibu hamil serta menyusui,” kata komite tersebut.
Meskipun kondisinya sangat buruk, Manajer Perlindungan Anak IRC, Faten Tarawa, menyoroti ketahanan yang ia saksikan setiap hari.
“Kami melihat kekuatan ini setiap hari dalam semangat anak-anak untuk bergabung dengan ruang aman yang menghubungkan kembali mereka dengan masa kecil yang hilang selama krisis,” ujarnya.
“Ketika anak-anak diberikan rasa aman, dorongan, dan kesempatan untuk terhubung dengan orang lain, mereka mulai pulih, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun,” imbuh Tarawa.
IRC menekankan prioritas utama akses kemanusiaan yang cepat dan tanpa hambatan agar anak-anak dapat menerima makanan, perawatan medis, dan perlindungan yang sangat mereka butuhkan.
IRC juga menggarisbawahi gencatan senjata segera sangat penting untuk melindungi warga Palestina, memungkinkan operasi bantuan berlanjut, dan menjamin pembebasan para tahanan.
Seperti Hiroshima di Malam Hari
Warga Gaza Ahmed Dremly mengatakan ia telah mengalami banyak malam yang menakutkan, tetapi tidak ada yang sebanding dengan gelombang kejut dari robot-robot bermuatan bahan peledak milik Israel yang kini dilepaskan di seluruh Kota Gaza.
"Ledakan ini suara paling menakutkan yang pernah saya dengar," katanya.
"Rasanya seperti dunia sedang retak," tambahnya.
Militer penjajah Israel semakin sering mengerahkan kendaraan lapis baja yang dioperasikan dari jarak jauh dan diisi dengan bahan peledak.
Kemudian mengirimkannya ke dalam permukiman Gaza sebelum meledakkannya. Bagi para penyintas seperti Dremly, pengalaman ini sama membingungkannya sekaligus mengancam jiwa.
"Pertama-tama kau merasakan getaran di bawah kakimu, lalu hembusan udara seakan tersedot keluar ruangan. Sedetik kemudian, ledakan menghantammu, dorongan yang begitu kuat hingga membuatmu tertegun. Bahkan dari jarak berkilo-kilometer jauhnya, tulang-tulangmu bergetar."
Dremly ingat betapa suaranya saja sudah membuatnya terhuyung.
"Suaranya begitu keras sampai-sampai kau tak bisa berpikir, tak bisa bergerak. Kau hanya terpaku. Sesaat, kau bertanya-tanya apakah kau masih hidup."
Malam Berubah Menjadi Api
Dalam beberapa hari terakhir, katanya, ledakan-ledakan itu tidak terjadi satu per satu. "Terkadang ada dua, terkadang tiga berturut-turut. Rasa sakit di kepala berlangsung berjam-jam. Anda merasakan sesuatu pecah di dalam diri."
Ledakan sering terjadi di tengah malam, memperparah rasa takut dan kelelahan.
Dremly bercerita ia berdiri di jalan setelah tengah malam ketika api tiba-tiba menerangi cakrawala. "Langit bersinar merah seperti letusan gunung berapi. Saya jatuh ke tanah dan menutupi kepala saya. Saya tahu itu robot lain."
Beberapa hari sebelumnya, ia menyaksikan kejadian serupa sebelum fajar.
"Pukul 5.30 pagi, saya melihat api membubung di luar jendela. Saya hampir tak sempat jatuh ke lantai sebelum ledakan terjadi, lalu ledakan berikutnya, dan ledakan berikutnya lagi."
Baginya dan banyak orang lainnya, polanya telah menjadi sangat mudah ditebak: robot pukul 3 pagi, serangan udara pukul 6 pagi. "Kami tak pernah tidur," katanya. "Kami menunggu, ledakan, bom, kematian."
Hidup di Bawah Bayang Ketakutan
Dremly mengatakan ia mencoba mempersiapkan diri ketika merasakan ledakan mendekat. Ia membuka mulut untuk mengurangi tekanan atau mengeraskan volume suara apa pun yang bisa ia temukan untuk meredamnya. Namun, tak ada yang bisa meredakan rasa takutnya.
Ketika salah satu benda ini meledak, semuanya berhenti. Makan, berjalan, bahkan bernapas, seakan membeku. Rumah bergetar, dan sesaat akan percaya hidup telah berakhir.
“Lalu kau menyadari kau telah selamat, hanya untuk menunggu yang berikutnya,” kisahnya.
Kisahnya, yang bergema di seluruh Gaza, mengungkap dampak perang Israel yang tiada henti terhadap warga sipil: malam-malam tanpa tidur, rumah-rumah runtuh, dan anak-anak terbangun karena tembakan di langit.
"Beginilah rasanya genosida," kata Ahmed Dremly. "Kita menjalani setiap momen seolah-olah itu adalah momen terakhir kita."
Mila