Indeks Demokrasi Indonesia Kaltim Turun 1,59 Poin, Peringkat 14 Nasional

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kaltim 2024 tercatat sebesar 80,69 poin, menempatkan Kaltim di peringkat ke-14 nasional.
Meski masih berada dalam kategori “tinggi”, capaian ini mengalami penurunan 1,59 poin dibanding tahun sebelumnya. Demikian diungkap Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kaltim, Sufian Agus, di Balikpapan, Selasa (21/10/2025).
Ia menjelaskan, Indeks Demokrasi Indonesia instrumen nasional untuk menilai perkembangan dan kualitas demokrasi di setiap provinsi.
“Penilaian ini dilakukan melalui tiga aspek utama. Kebebasan sipil, hak-hak politik, dan fungsi lembaga demokrasi,” jelas Sufian.
Sufian merinci sejumlah indikator IDI Kaltim yang mengalami penurunan signifikan, antara lain: Kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan berpendapat di masyarakat, dari 82,30 menjadi 66,07.
Lalu kebebasan dalam kebijakan publik, dari 72,73 menjadi 63,64. Hak memilih dan dipilih dalam pemilu, dari 97,97 menjadi 89,11. Pemenuhan hak-hak pekerja, dari 95,57 menjadi 92,30.
Selanjutnya kebebasan pers, turun dari 84,38 menjadi 79,96, kesetaraan gender dari 90,94 menjadi 80,98.
Partisipasi masyarakat dalam memengaruhi kebijakan publik melalui lembaga perwakilan, dari 100 menjadi 61,82. Anti-monopoli sumber daya ekonomi, dari 65 menjadi 64,33.
Netralitas penyelenggara pemilu, dari 77,27 menjadi 68,18. Lalu kinerja birokrasi dalam pelayanan publik, dari 80 menjadi 75.
Ia menekankan, “Penurunan ini menjadi catatan serius bagi kita semua. Dibutuhkan langkah-langkah kolaboratif memperkuat partisipasi publik dan menjaga nilai-nilai demokrasi di Kaltim,” imbuhnya.
Secara nasional, IDI Tahun 2024 justru mengalami sedikit peningkatan, yakni dari 79,51 menjadi 79,81.
Menurutnya peningkatan kualitas demokrasi, menjadi bagian penting dalam strategi nasional menuju Visi Indonesia Emas 2045.
Sekaligus menjadi indikator utama Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang.
Ia mengingatkan hasil IDI ini perlu dijadikan sebagai kompas pembangunan politik daerah, agar arah kebijakan tetap berpihak pada nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat Kaltim.
Kepala Bidang Politik Dalam Negeri Kesbangpol Kaltim, Fatima Waty, mengingatkan posisi Kaltim turun cukup jauh dibanding tahun sebelumnya. Yakni dari peringkat ke-4 menjadi ke-14 nasional.
Fatima menegaskan kondisi ini menjadi perhatian semua pihak.
“Perlu strategi bersama lintas sektor memperkuat kualitas demokrasi daerah, mulai dari peningkatan partisipasi masyarakat hingga penguatan kelembagaan politik,” ingatnya.
Agenda sosialisasi ini diharapkan menjadi momentum seluruh pihak di Kaltim untuk berkolaborasi, memperkuat budaya demokrasi. Sekaligus memastikan pembangunan daerah berjalan seiring dengan nilai-nilai partisipatif dan transparansi publik.
Gelombang Otokratisasi di Indonesia
Laporan dari lembaga global, seperti Freedom House, V-Dem, EIU, dan International IDEA menunjukkan adanya gelombang otokratisasi yang melanda dunia, termasuk Indonesia.
Namun, di tengah tren global skor demokrasi Indonesia versi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) justru menunjukkan anomali yang tidak sejalan temuan lembaga pengukur demokrasi internasional.
Buku 'Selamat Datang Otokrasi: Pemilu, Kekuasaan, dan Kemunduran Demokrasi' berupaya menggali lebih dalam bagaimana pemilu di Indonesia berkontribusi terhadap pergeseran menuju otokrasi elektoral.
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Aqidatul Izza Zain mengangkat isu penting tren kemunduran demokrasi, baik konteks global maupun di Indonesia dalam buku tersebut.
Aqidatul memulai memberi gambaran tentang gelombang otokratisasi yang terjadi di berbagai negara, sebagaimana dilaporkan oleh Freedom House, V-Dem, dan lembaga lainnya.
Dalam konteks Indonesia, pemilu menjadi indikator utama untuk memahami dinamika demokrasi.
"Buku ini menyoroti demokrasi Indonesia sejak era reformasi 1998 hingga 2024, menggambarkan bagaimana sistem demokrasi yang awalnya menjanjikan perlahan menunjukkan tanda-tanda regresi, terutama beberapa tahun terakhir," ujar Aqidatul, pada Republika, Jumat (20/12/2024).
Ketua tim penulis buku ini menjelaskan, karyanya berupaya mengidentifikasi gejala-gejala otokratisasi yang semakin terakselerasi, mulai politisasi birokrasi, penyalahgunaan sumber daya negara, lemahnya independensi penyelenggara pemilu. Salah satu fokus utama analisis terhadap Pilpres 2024.
Tingkatkan Perlindungan Kebebasan Pers
Selain itu, turunnya indeks kebebasan pers, juga perlu menjadi menjadi catatan semua pihak.
Pada peringatan Hari Demokrasi Internasional, September silam, Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Nany Afrida, menegaskan pentingnya kebebasan pers sebagai elemen kunci demokrasi.
Menurutnya, tanpa kebebasan pers, masyarakat akan terpapar informasi yang tidak benar.
Nany Afrida mengungkapkan pembungkaman jurnalis, termasuk intimidasi dan kriminalisasi, serta kekerasan seperti perampasan alat kerja, menunjukkan ancaman terhadap demokrasi.
Ia juga menyoroti tekanan halus melalui iklan dan kepentingan politik yang mengancam kebebasan media.
Selain itu, ia menyoroti gelombang pemutusan hubungan kerja di industri media, mengungkapkan bahwa sekitar 1.300 jurnalis kehilangan pekerjaan.
Menurutnya, “Ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga hilangnya kemampuan publik untuk mendapatkan informasi yang akurat,” tegas Nany, dilansir Republika, pada Selasa (16/9/2025) silam. Ia menekankan jurnalis bekerja untuk kepentingan publik.
Di antaranya mengungkap korupsi, kerusakan lingkungan, dan menyuarakan perjuangan masyarakat adat. "Yang meliput kerusakan hutan, sungai yang tercemar limbah, atau perjuangan masyarakat adat bukan influencer, bukan buzzer, tapi jurnalis," imbuhnya.
Ia mengajak semua pihak, termasuk aktivis lingkungan, pegiat HAM, komunitas adat, dan seniman untuk bersolidaritas dalam menjaga kebebasan pers.
Menurutnya, melindungi jurnalis sama dengan melindungi demokrasi itu sendiri.
Taufik Hidayat