Home > Kolom

Evaluasi Total MBG

Rakyat tak akan kecewa jika program ini tak merata, dengan tetap memprioritaskan daerah tertentu yang benar-benar membutuhkan. Sisa anggarannya bisa dialihkan untuk hal lebih krusial.
Ratusan siswa di Garut diduga mengalami keracunan massal usai mengonsumsi MBG.
Ratusan siswa di Garut diduga mengalami keracunan massal usai mengonsumsi MBG.

Makan bergizi gratis alias MBG menjadi salah satu program ambisius pemerintahan Prabowo. Tetapi, pada pelaksanaannya, tak sedikit memantik kegundahan dan kesedihan.

Teranyar, ratusan siswa di Garut, diduga keracunan usai makan menu MBG, dan tanpa ada satu pihak pun yang menjadi tersangka. Padahal dalam konteks keracunan makanan di luar program MBG, selalu ada pihak tersangka. Minimal ada yang bertanggung jawab.

Kenapa dalam konteks dugaan keracunan MBG tidak begitu? Keracunan terjadi berkali-kali di beberapa daerah, seakan kita dipaksa dibiasakan dengan kasus tersebut.

Malam tadi, saya bertemu kerabat lama, sebut saja A. Ia berkisah, adiknya mendapat proyek MBG untuk menyiapkan menu bagi ribuan siswa di daerahnya di Jawa Timur. Jatahnya, dapat dua titik.

Sebetulnya, kabar adiknya mendapat proyek itu sudah dengar sejak lama. Saat awal mendengar, saya mengingatkan agar berhat-hati. Proyek ini bagaikan gula, hati-hati terhadap hal-hal yang tak diinginkan.

Tak disangka, sudah berbulan-bulan sejak awal mendengar, saya kira proyeknya sudah berjalan. Nyatanya, sama sekali belum mulai. Masih terus persiapan. Ia membantu adiknya membuat dapur, dalam bahasa resminya: tempat Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG.

SPPG, singkatnya, dapur bangun baru dengan ukuran standar, yaitu 20x20 meter atau 20x15 meter. Setiap SPPG wajib memiliki perwakilan dari mitra.

Di sinilah, letak masalahnya. Satu dapur dengan lahan yang sudah tersedia dan alat-alat terkait bisa menghabiskan Rp 1,6 miliar. Ini sesuai standar yang ditentukan Badan Gizi Nasinal, katanya.

Adiknya maju terus karena dipikir akan mendapat bantuan dana. Apalagi tempatnya didatangi konsultan bangunan yang menginstruksikan denah dapur harus sesuai standar.

Tiap dapur harus ada ruang cuci piring, ruang penyimpanan makanan, ruang masak, ruang packaging, dan lainnya. Di tengah jalan, ada bangunan yang harus direvisi. Tiga kali dibongkar.

Tentu saja, semua membutuhkan biaya yang tak sedikit. Itu baru standar bangunan. Belum lagi alat-alat masak dan lainnya, termasuk mobil dua unit untuk pengiriman. A berkisah, untuk alat makanan saja satu unitnya Rp 57 ribu. Dikalikan tiga ribu unit. Ini baru satu dapur.

Belum alat lainnya. Kompor, packaging, exhaust fan, jaringan gas, dan alatnya. Singkat cerita, adiknya telah menghabiskan Rp 500 juta. Orangtuanya mengingatkan uang segitu bukan jumlah yang kecil, apalagi diperoleh dengan menjual ini dan itu. Itu pun masih jauh dari kata selesai.

Kata A, bagi kelas-kelas UMKM dana sebesar Rp 1,6 miliar sangat besar. Paling banter kemampuannya Rp 800 juta. Mereka pun bingung menuntaskan kebutuhan yang kurang hingga akhirnya mencari pinjaman sana sini. Benar-benar sudah habis-habisan. Dan proyeknya juga belum mulai.

Setiap dapur dengan pelayanan 3.000 menu MBG, harus punya SDM, paling tidak 50 orang. Ia merinci, untuk tenaga masak, tenaga packing, helper, tenaga pencuci piring, sopir, dan tenaga lainnya. Masing-masing unit lebih dari tiga orang, kecuali sopir cukup dua orang.

“Kami sendiri yang mencari orangnya. Saya ikut wawancara waktu mereka mau bergabung,” ujar A. Untuk tenaga masak, katanya, ada ibu-ibu yang biasa masak untuk 10 orang, ada yang 100 orang, macam-macam. A bilang, belum ada yang punya pengalaman menangani masakan untuk ribuan orang.

“Ini kan problem sendiri di luar standar bangunan. Butuh kerja sama dan pengalaman tenaga masak yang mumpuni,” curhatnya. Meski belum mulai, ia sudah mulai khawatir dengan kondisi ini.

Ia tak menduga, awalnya dikira seluruh tenaga sudah disiapkan pihak BGN. Dengan melibatkan orang-orang berpengalaman. Ternyata semua harus disiapkan mitra: mulai tempat, dana sampai SDM. Dan pihaknya tak bisa mundur lagi.

Apalagi banyak yang berebutan dengan proyek ini. “Titik itu bisa dijual,” ungkapnya. Yang mengejutkan A, untuk ahli gizi juga mereka yang menyiapkan. Terpaksa harus membuka lowongan lagi. Ternyata belum cukup, ada satu hal yang bikin A makin heran.

Tiap SPPG ada satu manager yang ditrainning pihak BGN. Tugasnya mengorkestrasi semuanya, termasuk para SDM. “Saya kira orangnya sudah tua, ternyata fresh graduate usia 20 an, belum ada pengalaman sama sekali. Kacau kan,” curhatnya.

Dimana Letak Gizinya?

A mengaku tak heran banyak kasus keracunan usai melahap menu MBG. A memperkirakan, banyaknya kasus keracunan diduga terkait MBG bisa terjadi karena banyak faktor. Salah satunya karena SDM tak berpengalaman dan menu yang sudah terlalu lama dimasak.

Ia memberi contoh, untuk persiapan masak mulai jam 8 malam. Seluruh proses masak selesai jam 3 pagi. Lalu packaging sampai jam 8 pagi. Setelah itu didistribusikan sebelum jam makan siang jam 12. Artinya, makanan sudah matang jam 3 dini hari dan baru dimakan sekitar jam 12.

Ada jeda delapan atau sembilan jam sejak makanan itu bisa dimakan siswa. “Lalu dimana gizinya? Gimana gak mau bau, gimana gak basi. Pantes aja banyak keracunan,” ungkap A. Satu dapur melayani belasan sampai puluhan sekolah, yang total siswanya ribuan. Bukan melayani satu sekolahan saja.

A memberi saran agar program MBG belajar dari luar negeri. Dapur dibuat di sekolah. Makanan lebih fresh dan lebih mudah dipantau. Selain itu, program ini perlu dilakukan uji coba di satu kota atau daerah. Tidak langsung serentak. Utamakan sekolah-sekolah yang membutuhkan seperti di pedesaan dan pedalaman.

Selain hemat anggaran, hal itu juga bisa mencegah program MBG dari praktik bancakan korupsi. Yang utama, kesehatan makanan juga lebih terjamin jika dapurnya dibuat di tiap sekolah. Anak-anak bangsa ini, katanya, jangan dijadikan uji coba. Kalau keracunan hingga tewas, siapa yang mau bertanggung jawab?

Ancaman Masalah Keamanan Pangan

Melalui siaran persnya, pada April silam, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) sudah mengingatkan, program unggulan Presiden Prabowo ini terus berkutat dengan masalah keamanan pangan dan kualitas kandungan gizi dalam menu yang disediakan.

Analisis CISDI mengidentifikasi salah satu penyebab utama terjadinya keracunan belum optimalnya implementasi standar keamanan pangan seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) dalam pelaksanaan program MBG.

HACCP adalah sistem manajemen risiko yang mengatur keamanan pangan di setiap fase, mulai dari proses produksi hingga distribusi makanan. Penerapan standar keamanan pangan yang belum optimal dan kekurangan pengaturan keamanan pangan dalam petunjuk teknis, menjadi catatan penting yang harus segera ditangani BGN.

Selain itu, CISDI juga menyoroti penggunaan produk makanan ultra-olahan (ultra-processed food) dalam menu MBG. Dalam kajian CISDI, produk-produk tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) ditemukan dalam 45 persen sampel menu MBG.

Temuan ini termasuk penggunaan susu kemasan berperisa yang mengandung kadar gula tinggi, yang jelas tidak sesuai pedoman standar gizi yang telah disusun Kementerian Kesehatan.

Konflik Kepentingan dan Celah Potensi Korupsi

Selain masalah keamanan pangan, pada Juni 2025, Transparency International Indonesia (TII) merilis laporan terbaru bertajuk: Risiko Korupsi di Balik Hidangan Makan Bergizi Gratis.

TII menyoroti tingginya kerentanan korupsi dalam pelaksanaan Program MBG melalui pendekatan Corruption Risk Assessment (CRA).

Kajian ini menunjukkan MBG bukan hanya berisiko gagal secara implementatif, tapi juga membuka ruang bagi korupsi sistemik akibat lemahnya tata kelola, berkelindannya konflik kepentingan, dan praktik pengadaan barang dan jasa yang tidak akuntabel.

Dengan estimasi anggaran hingga Rp 400 triliun dan target 82,9 juta penerima manfaat, MBG digadang-gadang sebagai program prioritas untuk menurunkan stunting dan memperkuat sumber daya manusia. Namun, dalam praktiknya dalam kerangka CRA yang dilakukan TII mengidentifikasi risiko utama:

Pertama, ketiadaan regulasi pelaksana. Menurut TII sampai pertengahan 2025, MBG masih dijalankan hanya dengan petunjuk teknis internal. Kedua, konflik kepentingan kronis. Penunjukan mitra pelaksana SPPG dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka.

Sejumlah yayasan pengelola memiliki afiliasi dengan aktor politik, institusi militer dan kepolisian, serta kelompok kekuasaan tertentu.

Ketiga, masalah pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang rawan manipulasi. Masih menurut TII, kajian menunjukkan proses PBJ dalam MBG tidak mengindahkan prinsip transparansi.

Banyak aktivitas pengadaan dilakukan tanpa dokumentasi terbuka, tidak dilengkapi sistem pengawasan berbasis data. Dari Survei Penilaian Integritas KPK, sektor PBJ masih mendominasi kasus suap dan gratifikasi, dan MBG menunjukkan indikasi kuat mengarah ke sana.

Keempat, lemahnya pengawasan. Lemahnya pengawasan membuka celah bagi praktik mark-up harga, dengan penggunaan bahan pangan berkualitas rendah atau tidak layak konsumsi.

Salah satu preseden implementasi MBG itu banyaknya siswa keracunan makan siang. Belum lagi, terkait pengawasan pengadaan barang dan jasa. Tiap kasus rerata menimpa belasan sampai ratusan siswa.

Kelima, meningkatnya risiko kerugian keuangan negara (potential loss). Dari hasil kajian Corruption Risk Assessment (CRA) program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjangkau 82,9 juta penerima manfaat tanpa melakukan prioritas penerima manfaat, berisiko membebani anggaran negara.

Kebijakan ini berpotensi mendorong pelebaran defisit anggaran 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto. Artinya, melampaui batas maksimal defisit 3% PDB sesuai UU Keuangan Negara. Kerugian keuangan negara ini ditaksir mencapai Rp 1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.

Semoga program ini bisa segera dievaluasi menyeluruh. Jangan karena ambisi atau gengsi, mengorbankan banyak hal. Terutama mengorbankan siswa yang harusnya mendapat asupan gizi, justru harus dilarikan ke rumah sakit karena keracunan. Mereka bukan saja sakit, tapi bisa meninggalkan trauma.

Lebih baik bersabar dengan melaksanakan program ini secara bertahap sampai benar-benar bermanfaat dan transparan, dibanding terburu-buru hanya mengejar target, tapi justru banyak yang dikorbankan.

Rakyat pun tidak akan kecewa jika program ini tak merata, dengan tetap memprioritaskan sekolah atau daerah prioritas yang benar-benar membutuhkan. Sisa anggarannya bisa dialihkan untuk hal lebih krusial.

Shalaallahu alaa Muhammad

Rudi Agung

× Image