Home > Mancanegara

Pendudukan Israel Dorong RUU Hukuman Mati bagi Tahanan Palestina

Dampak genosida menyebabkan 90 persen bangunan di Gaza hancur dan 67 ribu jiwa syahid.
Warga Palestina yang ditahan tentara zionis Israel. (Reuters/Bassam Masoud)
Warga Palestina yang ditahan tentara zionis Israel. (Reuters/Bassam Masoud)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Pemerintah sayap kanan Israel menghidupkan kembali Rancangan Undang-undang kontroversial yang akan mengizinkan hukuman mati bagi tahanan Palestina di penjara Israel.

Hal ini dinilai sebagai langkah yang menurut kelompok hak asasi Palestina bertujuan untuk melegalkan pembunuhan di luar hukum yang sedang berlangsung.

Komite Keamanan Nasional Knesset menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut pada tanggal 28 September, yang membuka jalan bagi pemungutan suara parlemen pertama.

Usulan itu disponsori Limor Son Har-Melech dari Partai Kekuatan Yahudi ekstremis yang dipimpin Itamar Ben-Gvir, memberikan menteri perang Israel kekuasaan untuk memerintahkan pengadilan militer mengeluarkan hukuman eksekusi terhadap warga Palestina.

Usulan itu diterima suara mayoritas, tanpa opsi banding atau keringanan.

Namun, para kritikus menilai RUU itu jelas-jelas diskriminatif dan hanya berlaku untuk warga Palestina. Kelompok-kelompok hak asasi manusia memperingatkan langkah tersebut bertujuan untuk "melegitimasi kejahatan yang sudah terjadi," dengan merujuk kematian 75 tahanan dalam tahanan Israel sejak genosida Israel di Gaza dimulai.

Sejak genosida, banyak di antaranya tewas akibat penyiksaan, kelaparan, atau kelalaian medis.

Pakar urusan tahanan Hassan Abd Rabbo, dilansir Days of Palestine pada Senin, mengatakan langkah itu mencerminkan "ekstremisme yang semakin dalam" dan "upaya mengkriminalisasi perlawanan Palestina."

"Saat sebagian besar negara di dunia menghapus hukuman mati, pendudukan Israel justru meresmikan pembalasan dendam," ujar Rabbo.

Para analis mengatakan RUU itu kemungkinan besar tidak akan disahkan karena adanya penentangan dari beberapa faksi pemerintah dan kekhawatiran akan reaksi internasional.

Namun, para ahli memperingatkan usulan tersebut menandai titik terendah baru dalam kebijakan Israel, yang mengubah puluhan tahun eksekusi di luar hukum menjadi potensi hukum negara.

Pejabat PBB Dituding Layani Kepentingan Israel di Gaza

Investigasi baru yan dilakukan The New Humanitarian telah mengungkap tuduhan serius terhadap Wakil Koordinator Kemanusiaan PBB di wilayah Palestina yang diduduki, Susanna Tkalec.

The New Humanitarian menuding Tkalec atas pengelolaan bantuan di Gaza secara efektif memungkinkan pendudukan Israel memanipulasi akses kemanusiaan dan melemahkan respons kolektif PBB.

Menurut laporan tersebut, 11 pekerja bantuan saat ini dan sebelumnya, termasuk lima pejabat senior, menuduh Tkalec gagal menantang pembatasan Israel yang semakin ketat terhadap bantuan kemanusiaan dan menggemakan pembenaran Israel tanpa pengawasan.

Mereka mengatakan keputusannya telah meminggirkan UNRWA, memecah belah koordinasi antara badan-badan PBB, dan merusak posisi persatuan komunitas kemanusiaan.

Tkalec, yang memegang perannya sejak awal 2025 setelah pendudukan Israel memblokir visa bagi staf UNRWA, telah memimpin negosiasi dengan pasukan Israel mengenai masuknya bantuan ke Gaza.

Pekerja bantuan mengatakan kepada publikasi itu bahwa pendekatan negosiasi individualnya memungkinkan pendudukan Israel memecah belah lembaga-lembaga dan mengurangi tekanan untuk tindakan kolektif.

Sejumlah pejabat mengatakan Tkalec bernegosiasi dengan pendudukan Israel untuk mengizinkan tenda-tenda masuk ke Gaza selatan sebelum serangan besar-besaran di Kota Gaza.

Ini menjadi langkah yang mereka anggap sebagai penerimaan diam-diam atas pengungsian massal.

Kemudian, ia dilaporkan menyetujui kesepakatan yang mengizinkan pengiriman tepung hanya ke toko roti, alih-alih langsung ke keluarga-keluarga.

Akibatnya antrean roti yang kacau, penjarahan gudang Program Pangan Dunia di Deir al-Balah, dan jatuhnya korban sipil. Pihak lain menuduh Tkalec mengalihkan tanggung jawab distribusi makanan dari UNRWA ke Program Pangan Dunia (WFP), meskipun kapasitas dan infrastruktur WFP terbatas.

Dalam satu insiden, beberapa sumber mengatakan ia mengatur impor makanan anjing dekat wisma PBB di Deir al-Balah saat kelaparan melanda Gaza.

Keputusan tersebut tindakan yang mereka gambarkan sebagai bentuk "ketidakpekaan yang mendalam" terhadap penduduk yang menderita dan staf bantuan yang kelaparan.

Beberapa saksi mata mengatakan Tkalec dan atasannya, Ramiz Alakbarov, menyampaikan "laporan positif yang tidak realistis" dalam pengarahan internasional yang meremehkan kekurangan bahan bakar, klorin, material tempat berlindung.

Serta penutupan penyeberangan yang terus berlanjut, terutama di Gaza utara, tempat kelaparan dan penyakit merajalela. Para pekerja bantuan juga mencatat Tkalec sering meninggalkan Gaza, membebani sumber daya logistik yang terbatas dan meninggalkan kekosongan kepemimpinan.

Namun, Tkalec membela ketidakhadirannya karena “diwajibkan jabatannya dan arahan dari atasan.”

Dalam pertemuan dengan para jurnalis Palestina di bulan Juni, Tkalec dilaporkan mendesak mereka untuk "menenangkan komunitas mereka dan mencegah penjarahan", tanpa menyebut pembatasan Israel sebagai akar penyebab krisis.

Para jurnalis mengeluarkan pernyataan bersama, mengecam pernyataannya sebagai "penghinaan yang tak tertahankan."

“Anda tidak bisa berbicara tentang penjarahan tanpa membahas kejahatan pendudukan,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

Investigasi itu telah mengintensifkan pengawasan terhadap kepemimpinan kemanusiaan PBB di Gaza. Para kritikus berpendapat sikap kehati-hatian politik telah membuat warga sipil bergantung pada kendali Israel atas bantuan, yang memperdalam bencana kemanusiaan terburuk di dunia.

90 Persen Bangunan di Gaza Hancur, 67 Ribu Jiwa Syahid

Laporan terkini dari Kantor Media Pemerintah di Gaza menunjukkan dahsyatnya daya rusak penjajah zionis Israel yang meluluh lantakan Gaza, Palestina.

Selama dua tahun praktik genosida menyebabkan hampir tak ada lagi layanan dan bangunan yang tersisa di wilayah tersebut. Kantor itu mengumumkan dalam sebuah laporan tingkat kehancuran di wilayah kantong Palestina telah mencapai sekitar 90 persen.

Kantor tersebut menggambarkan kehancuran itu sebagai “genosida berkelanjutan yang menargetkan manusia dan batu-batu.”

Dilaporkan Palestine Chronicle, praktik genosida hingga memasuki hari ke-730 telah menyebabkan lebih 2,4 juta warga Palestina mengalami genosida, kelaparan, dan pengungsian paksa.

Militer penjajah Israel telah menguasai lebih dari 80 persen wilayah Gaza melalui serangan darat dan pemboman berulang. Termasuk sedikitnya 136 serangan udara di wilayah Al-Mawasi, yang ditetapkan zionis sebagai “zona kemanusiaan yang aman.”

Sebanyak 38 rumah sakit telah dibom atau tidak dapat dioperasikan, bersama dengan 96 pusat kesehatan, 197 ambulans, dan 61 kendaraan pertahanan sipil.

Sektor kesehatan diperkirakan mengalami kerugian langsung sebesar lima miliar dolar AS.

Adapun sektor pendidikan hampir musnah, sebanyak 95 persen sekolah di Gaza mengalami kerusakan, dan 90 persen bangunan kini memerlukan rekonstruksi penuh.

Sedikitnya 165 lembaga pendidikan hancur total dan 392 rusak sebagian. Lebih dari 13.500 pelajar, 830 guru, dan 193 akademisi tewas, sementara 785.000 pelajar masih kehilangan pendidikan.

Jumlah total korban syahid dan hilang mencapai 76.639 orang, termasuk 67.139 orang syahid yang tiba di rumah sakit. Selain itu, tercatata 9.500 orang hilang, banyak yang masih terkubur di bawah reruntuhan.

Di antara korban jiwa ada lebih dari 20.000 anak-anak, 12.500 wanita, dan 22.426 ayah. Laporan itu juga mendokumentasikan pembunuhan 1.670 personel medis, 140 anggota pertahanan sipil, 254 jurnalis, 787 petugas polisi dan pekerja bantuan, serta 894 anggota komunitas olahraga.

Total ada sekitar 39.022 keluarga menjadi korban pembantaian, sebanyak 2.700 keluarga telah musnah seluruhnya, dihapus dari catatan sipil dan lebih dari 6.000 keluarga hanya menyisakan satu orang selamat.

Kantor tersebut melaporkan bahwa 460 warga Palestina, termasuk 154 anak-anak, meninggal karena kelaparan dan kekurangan gizi, 23 orang meninggal karena bantuan yang gagal, dan 17 orang kebanyakan anak-anak, karena paparan dingin di kamp-kamp pengungsian.

Selain itu, 12.000 lebih perempuan keguguran karena kelaparan dan kurangnya layanan kesehatan. Untuk korban luka mencapai 169.583 orang, termasuk lebih dari 4.800 orang yang diamputasi, 1.200 kasus kelumpuhan, dan 1.200 kasus kebutaan. Sekitar 19.000 memerlukan rehabilitasi jangka panjang.

Laporan tersebut juga mencatata 6.700 warga sipil telah ditahan sejak dimulainya perang, termasuk 362 personel medis, 48 jurnalis, dan 26 pekerja pertahanan sipil.

Saat ini ada 21.193 janda akibat perang dan 56.348 anak yatim piatu, lalu lebih dari 2 juta orang telah tertular berbagai penyakit akibat pengungsian paksa, termasuk 71.000 kasus hepatitis.

Kemudian 268.000 unit rumah hancur total, 148.000 rusak berat, dan 153.000 rusak sebagian. Kerusakan menyebabkan 288.000 keluarga kehilangan tempat tinggal.

Selanjutnya, hampir dua juta warga sipil terpaksa mengungsi, sementara 293 tempat penampungan dan pusat pengungsian menjadi sasaran.

Mila

Image
Republika Network

Sekitarkaltim.ID -

× Image