Home > Mancanegara

Gencatan Senjata Sebuah Jeda bagi Warga Gaza, Ungkap Lanskap Reruntuhan

Amnesty memperingatkan gencatan senjata harus bisa menjamin akhiri praktik genosida.
Warga Palestina yang ditahan Israel menghirup udara bebas. (Days of Palestine) 
Warga Palestina yang ditahan Israel menghirup udara bebas. (Days of Palestine)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Pengumuman gencatan senjata telah membawa optimisme langka bagi warga Palestina di Gaza setelah dua tahun pemboman tanpa henti.

Namun, seiring meredanya debu, skala kerusakannya sangat mengejutkan, hamparan puing-puing, kehidupan yang hancur, dan duka yang tak kunjung usai.

Seluruh permukiman telah hancur. Rumah sakit, sekolah, dan lembaga publik hancur lebur. Banyak keluarga telah mengungsi, rumah mereka telah menjadi debu.

Yang tersisa dari Gaza hanyalah reruntuhan kota, kegembiraan atas berakhirnya genosida telah diredam kenyataan pahit akan apa yang telah hilang.

Selama dua tahun, daerah kantong tersebut telah mengalami apa yang banyak digambarkan sebagai perang pemusnahan. Lebih dari 67.000 orang syahid dan 169.000 lainnya terluka.

Kampanye gensoida penjajah Israel tak hanya menyasar bangunan, tetapi juga struktur kehidupan itu sendiri, melancarkan pembantaian dan kelaparan sistemik terhadap dua juta warga Palestina.

Ratusan orang telah meninggal karena kelaparan dan kurangnya perawatan medis karena pengepungan memutus pasokan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.

Meski begitu, seiring tersebarnya berita gencatan senjata, warga Gaza keluar dari tempat perlindungan. Wajah mereka dipenuhi debu dan air mata, mereka tersenyum.

Anak-anak melambaikan bendera Palestina di atas reruntuhan, dan para perempuan bersorak gembira. Rasa lega tak terelakkan, tetapi begitu pula wajah-wajah kelelahan dan kesakitan.

Perjanjian yang diumumkan Hamas tersebut mencakup penarikan pasukan Israel dari seluruh Jalur Gaza, masuknya bantuan kemanusiaan, dan pertukaran tahanan antara Israel dan faksi-faksi perlawanan.

Bagi banyak orang, perjanjian ini menandai berakhirnya fase perang yang paling brutal. Namun, hanya sedikit yang melihatnya sebagai akhir dari penderitaan.

Sejak dimulainya Operasi Gideon 2 Israel pada pertengahan September, Kota Gaza telah mengalami pemboman yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Akibatnya seluruh distrik rata dengan tanah dan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi ke bagian tengah dan selatan Jalur Gaza.

Citra satelit terbaru yang diterbitkan NBC News mengungkapkan betapa dahsyatnya kehancuran tersebut. Kota Gaza tampak hampir tak dikenali; lapangan olahraga, taman, dan bahkan waduk utama telah hancur.

Di daerah Mawasi di utara Rafah, kota tenda yang luas kini menampung ratusan ribu orang terlantar, bertahan hidup di tengah hampir runtuhnya infrastruktur.

Lahan pertanian yang dulunya telah berubah menjadi kamp-kamp yang penuh sesak. Populasi Rafah telah membengkak menjadi sekitar 1,4 juta jiwa, tetapi kota itu kini tampak seperti gurun pasir.

Para pengamat internasional dan kelompok hak asasi manusia mengatakan skala kerusakan yang sangat besar tidak dapat dibenarkan oleh tujuan militer.

Israel menghadapi tuduhan yang semakin meningkat bahwa penghancuran sistematis seluruh kota bertujuan menggusur warga sipil ke luar Jalur Gaza.

Genosida yang dilakukan penjajah Israel melalui pembantaian dan pemindahan penduduk secara paksa jelas melanggar hukum internasional.

Bagi rakyat Gaza, gencatan senjata bukanlah perdamaian. Gencatan senjata adalah jeda, waktu untuk bernapas setelah dua tahun penuh kengerian, dan untuk menghadapi tugas berat pembangunan kembali.

Seperti yang dikatakan seorang penyintas, berdiri di depan reruntuhan rumahnya:

"Pesawat-pesawat telah berhenti. Tapi kesunyian terasa lebih berat daripada bom-bom itu."

Hamas Serahkan Daftar Tahanan, Tunggu Persetujuan Akhir

Gerakan Pejuang Palestina, Hamas mengumumkan pada hari Kamis bahwa mereka telah menyerahkan nama-nama tahanan Palestina yang akan dibebaskan dengan imbalan tawanan Israel.

Hal itu sesuai ketentuan yang diuraikan dalam kesepakatan gencatan senjata yang baru disepakati di Gaza.

Dalam pernyataan pers, pejabat senior Hamas Zaher Jabarin, dilaporkan Days of Palestine, mengatakan gerakan tersebut "menunggu kesepakatan akhir mengenai nama tahanan Palestina sebagai langkah awal untuk mengumumkannya ke publik melalui Kantor Media Asra setelah semua prosedur dan kesepakatan terkait diselesaikan."

Jabarin menegaskan kembali bahwa isu tahanan tetap menjadi isu utama Hamas, dan menekankan bahwa gerakan tersebut “tidak akan berhenti sampai semua tahanan terakhir dibebaskan.”

Hamas sebelumnya telah mengonfirmasi bahwa kesepakatan telah dicapai untuk mengakhiri genosida Israel di Jalur Gaza, memastikan penarikan pasukan Israel, memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan, dan melaksanakan pertukaran tahanan.

Dalam pernyataan resminya, Hamas menyampaikan apresiasinya atas upaya mediasi Qatar, Mesir, dan Turki, serta memuji mereka atas kontribusinya dalam mencapai kesepakatan.

Gerakan ini juga mengakui peran Presiden AS Donald Trump, memuji apa yang digambarkannya sebagai upayanya untuk "menghentikan perang secara permanen dan memastikan penarikan penuh pendudukan dari Jalur Gaza."

Hamas meminta Presiden Trump dan negara penjamin memastikan kepatuhan penuh Israel terhadap perjanjian tersebut dan mencegah segala penundaan atau upaya untuk menghindari komitmennya.

Presiden Trump, di sisi lain, menyatakan bahwa baik Israel maupun Hamas telah menyetujui tahap awal rencana perdamaian yang diusulkannya untuk Gaza.

Melalui platform Truth Social miliknya, ia mengatakan bahwa persetujuan rencana tersebut oleh kedua belah pihak berarti "semua tawanan akan segera dibebaskan."

Ia menambahkan Israel akan menarik pasukannya ke garis yang disepakati sebagai “langkah pertama menuju tercapainya perdamaian yang kuat dan abadi.”

Amnesty: Gencatan Senjata Gaza Harus Jamin Akhiri Apartheid dan Genosida

Amnesty International menyambut baik pengumuman gencatan senjata antara pendudukan Israel dan faksi-faksi Palestina sebagai langkah yang “sangat terlambat” setelah bertahun-tahun kehancuran di Gaza.

Meski begitu, Amnesty tetap memperingatkan gencatan senjata apa pun tidak akan berarti apa-apa kecuali jika gencatan senjata tersebut mengakhiri “pendudukan, apartheid, dan genosida ilegal” Israel terhadap rakyat Palestina.

Dalam pernyataan tegasnya, Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, mengatakan gencatan senjata ini terjadi setelah "dua tahun penderitaan yang tak terbayangkan" bagi warga Palestina di Gaza dan "tidak akan menghapus semua penderitaan yang telah mereka alami."

Ia menambahkan bencana kemanusiaan di wilayah kantong tersebut merupakan akibat langsung dari kebijakan Israel yang merupakan hukuman kolektif dan penindasan sistematis.

“Gencatan senjata ini sudah sangat terlambat setelah dua tahun penderitaan,” kata Callamard.

"Namun, hal itu tidak akan menghapus kengerian yang dialami warga Palestina. Agar gencatan senjata yang langgeng berhasil, gencatan senjata tersebut harus mencakup penghentian segera genosida Israel dan langkah-langkah konkret untuk membongkar sistem apartheid yang menopang pendudukan ini."

Callamard mendesak pendudukan Israel mencabut blokade yang telah berlangsung bertahun-tahun di Gaza. Serta mengizinkan aliran bantuan kemanusiaan, makanan, bahan bakar, dan pasokan medis tanpa hambatan ke wilayah yang hancur tersebut.

Ia menggambarkan blokade yang diberlakukan sejak 2007 sebagai "mencekik" dan "bentuk hukuman kolektif yang dilarang hukum internasional."

Amnesty juga mendesak agar setiap proses perdamaian setelah gencatan senjata harus memastikan keadilan dan akuntabilitas bagi para korban atas apa yang digambarkan organisasi tersebut sebagai kejahatan kekejaman.

Callamard mengkritik tajam kerangka politik yang saat ini memandu negosiasi, yang sering disebut sebagai "rencana perdamaian Trump", dengan mengatakan bahwa rencana tersebut "sangat kurang" dan "gagal menuntut keadilan, reparasi, atau akuntabilitas bagi para pelaku kejahatan perang."

Pernyataan Amnesty muncul di tengah optimisme hati-hati atas kesepakatan gencatan senjata, yang dipuji mediator internasional. Langkah ini sebagai kesempatan mengakhiri pertumpahan darah dan mulai membangun kembali Gaza.

Mila

Image
Republika Network

Sekitarkaltim.ID -

× Image