Gencatan Senjata di Ujung Tanduk

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Kantor Netanyahu, mengeluarkan pernyataan mendadak, usai seluruh sandera yang dijanjikan Hamas untuk dibebaskan tiba di Israel.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunda pembebasan sekitar 600 tahanan Palestina setelah kelompok Hamas membebaskan enam sandera.
Netanyahu, seperti biasanya, kembali melakukan playing victim. Setelah menodai gencatan senjata, ia justru menuduh Hamas melanggar perjanjian.
“Mengingat pelanggaran berulang yang dilakukan Hamas – termasuk ritual yang mempermalukan martabat tahanan kami dan penggunaan politik sinis untuk propaganda – diputuskan untuk menunda pembebasan tahanan yang dijadwalkan kemarin sampai pembebasan tahanan berikutnya dijamin, dan tanpa ritual penghinaan,” bunyi pernyataan itu.
Di menit-menit menjelang pembebasan tahanan Palestina, Netanyahu membatalkan rekomendasi keamanan dan memutuskan menghentikan pembebasan tersebut.
Lebih dari 600 keluarga Palestina yang telah menunggu berjam-jam dalam cuaca dingin, kini tahu mereka tidak akan bisa bersatu dengan orang yang mereka cintai.
Keluarga para tahanan Palestina yang diperkirakan akan dibebaskan kemarin sudah mulai meninggalkan lokasi yang ditentukan.
Mereka benar-benar frustasi, patah hati dan diliputi ketidakpastian seiring kepergian anggota Komite Palang Merah Internasional usai terbotnya pernyataan dari Kantor Perdana Menteri Israel.
Warga Palestina percaya saat ini, ketahanan gencatan senjata telah benar-benar di ujung tanduk.
Hari-hari mendatang akan sangat penting jika mediator regional tidak melakukan intervensi dan mencoba mendorong kedua belah pihak, terutama Israel, untuk berkomitmen terhadap ketentuan perjanjian.
Al Jazeera mendapat laporan dari Bulan Sabit Merah Palestina bahwa kru yang telah menunggu untuk mengangkut tahanan Palestina yang terluka parah dari rumah sakit di Yerusalem ke rumah sakit Palestina di Betlehem telah diperintahkan pergi.
Semua kendaraan militer ini telah ditarik dari penjara Ofer dan kembali ke pangkalan mereka.
Anggota senior Biro Politik Hamas, Basem Naim, menilai penundaan pembebasan 600 tahanan Palestina sebagai sinyal untuk memantik peperangan kembali.
“Kami percaya bahwa sekali lagi, ini permainan kotor dari pemerintah sayap kanan untuk menyabotase dan merusak kesepakatan dan mengirimkan pesan kesediaan untuk kembali berperang,” ujar Basem Naim kepada Al Jazeera, semalam.
Ia mengatakan kelompok Palestina yang memerintah Gaza tetap berkomitmen atas perjanjian, dan telah mematuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut. Naim menilai Israel terus melanggar ketentuan perjanjian.
“Lebih dari 100 warga Palestina telah terbunuh di tahap pertama, sebagian besar bantuan kemanusiaan yang disepakati tidak diizinkan masuk ke Gaza,” ungkap Naim.
Stephen Zunes, direktur Studi Timur Tengah di Universitas San Francisco, mengatakan keputusan Netanyahu untuk menghentikan pembebasan tahanan Palestina sangat meresahkan.
“Ini jelas pelanggaran perjanjian gencatan senjata, bersamaan penolakan Israel untuk mengizinkan pasokan bantuan, tenda, rumah mobil, peralatan medis, dan bantuan lain yang merupakan bagian dari perjanjian gencatan senjata,” katanya kepada Al Jazeera.
Negara-negara Arab Tolak Ambisi Trump Rampok Gaza
Di sisi lain, negara-negara Arab menolak ambisi Presiden Amerika, Donald Trump yang mau merampok dan menyulap Gaza menjadi real estat.
Sebelumnya, Trump menyebut Amerika harus mengambil alih kepemilikan Gaza dan memindahkan dua juta penduduk Palestina secara permanen.
Negara-negara Arab, yang ingin mempertahankan hubungan dekat dengan Trump sebagai presiden, telah menolak pemindahan warga Palestina dari Gaza, meski tidak langsung mengutuk ambisi Trump. Mesir dan Yordania menganggap rencana itu bakal mengguncang stabilitas keamanan mereka dan kawasan.
Uni Emirat Arab (UEA) yang memiliki hubungan dekat dengan Israel telah menekankan, rekonstruksi Gaza harus dikaitkan pembentukan negara Palestina.
Pada Jumat (21/2/2025) sebuah foto yang menunjukkan para pemimpin Arab dirilis. Mereka berdiri bahu-membahu di Arab Saudi untuk pertemuan persaudaraan informal, meski dengan diskusi yang tinggi tentang masa depan Gaza, Palestina.
Tingkat kerahasiaan yang tidak biasa dalam pertemuan tingkat tinggi itu menunjukkan betapa sensitifnya pembicaraan bagi putra mahkota Arab Saudi, para pemimpin dari negara-negara Teluk, presiden Mesir dan raja Yordania. Yang semuanya hadir, dikutip dari halaman NPR, Sabtu (22/2/2025).
Rekonstruksi Gaza akan membutuhkan dukungan Arab untuk menanggung biaya pembangunan kembali dan kemungkinan pengerahan pasukan untuk keamanan.
Surat kabar Al-Ahram pemerintah di Kairo melaporkan rencana itu, termasuk mengukir daerah aman bagi warga Palestina di Gaza untuk ditinggali. Perusahaan-perusahaan Mesir dan internasional membersihkan reruntuhan dan membangun kembali infrastruktur.
Associated Press melaporkan rencana multi-fase itu mencakup penyerahan pemerintahan Gaza kepada Hamas, seperti yang dikatakan kelompok tersebut kepada NPR bahwa mereka bersedia melakukannya.
Hamas bersikeras mereka tetap memiliki hak mempertahankan persenjataan untuk melawan Israel. AP melaporkan bahwa rencana Mesir juga menyerukan restrukturisasi kepolisian Gaza.
Otoritas Palestina di Tepi Barat yang dijajah Israel mengatakan mereka memiliki visinya sendiri untuk Gaza yang akan dipresentasikan awal Maret, dalam pertemuan Liga Arab yang lebih luas di Kairo.
Republika