Celah Korupsi Koperasi

Center of Economic and Law Studies (Celios) mempublikasikan riset bertajuk: Dampak Ekonomi Koperasi Merah Putih. Publikasi itu berisi 27 laman.
Presiden Prabowo resmi meluncurkan Koperasi Merah Putih, Senin silam. Program ini diharap membawa semangat nasionalisme tinggi, serta memunculkan harapan sebagai penggerak ekonomi lokal.
Sebanyak 80 ribu Koperasi Merah Putih secara serentak resmi diluncurkan.
Peluncuran ini tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang berlaku sejak 27 Maret 2025.
Sekilas, ini menjadi angin segar. Di Kaltim saja, berdiri 1.037 Koperasi Merah Putih, di Kaltara 482 unit. Secara umum, koperasi ini berdiri dengan pelbagai fasilitas pendukung.
Mulai kantor koperasi, gerai sembako, ruang penyimpanan, unit simpan pinjam, klinik serta apotek desa, sampai layanan distribusi logistik.
Ini memunculkan harapan baru, tapi terselip pula potensi ancaman.
Celios mengingatkan, Koperasi Merah Putih dinilai memiliki potensi masalah yang kompleks dan serius.
Dalam publikasi risetnya, Celios mengingatkan, ada potensi masalah krusial yang patut menjadi perhatian bersama. Celios menemukan, bahwa:
Mayoritas koperasi di Indonesia masih memiliki omzet tahunan yang sangat rendah, dengan 59,42 persen koperasi hanya mencatat omzet di bawah Rp 300 juta per tahun.
Terdapat opportunity cost atau biaya kehilangan kesempatan yang dialami perbankan karena menyalurkan pembiayaan ke Koperasi Merah Putih mencapai Rp 76,51 triliun secara akumulatif dalam 6 tahun masa pinjaman.
Terdapat risiko gagal bayar Koperasi Merah Putih selama 6 tahun masa pinjaman sebesar Rp 85,96 triliun, dan risiko tersebut ditanggung Pemerintah Desa, sekitar 20 persen total dana desa selama enam tahun.
Terdapat potensi penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 9,85 triliun, pengurangan pendapatan masyarakat Rp 10,21 triliun. Dan penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 824.121 tenaga kerja.
Surplus usaha akan naik Rp 1,19 triliun dan pajak bersih pemerintah meningkat Rp 360 miliar dalam enam tahun, relatif lebih kecil dibanding kerugian PDB.
“Jika beban makroekonomi mengalahkan potensi manfaat, apakah model Koperasi Merah Putih perlu dirancang ulang dengan kerangka evaluasi kelayakan yang lebih ketat?” tulis laporan Celios.
Menurut Celios, laporan ini hadir sebagai seruan bagi pemerintah untuk melakukan refleksi kebijakan. Kebijakan seharusnya disusun bijaksana, memperhitungan dampak yang akan diterima masyarakat. Tak hanya semata menggunakan semangat nasionalisme untuk memvalidasi kepentingan elit semata.
Korupsi dan Kepentingan Suara
Sorotan utama Koperasi Merah Putih, ada pada potensi celah korupsi dan penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan politik mendatang. Selama ini kasus korupsi di koperasi lazim dijumpai.
Studi Celios menjelaskan risiko korupsi dan kebocoran anggaran di program Koperasi Merah Putih mencapai Rp 48 triliun, dari 80 ribu koperasi yang ditargetkan pemerintah.
Angka Rp 48 triliun ini hitungan dari risiko kebocoran anggaran di tingkat desa sebesar 20%. Dengan perhitungan taksiran sesuai studi Bank Dunia, dari total potensi pembiayaan bank milik negara Rp 3 miliar.
Dengan asumsi seluruh Koperasi Merah Putih mendapat pembiayaan yang sama, nilai risiko kebocoran per unit koperasi ada di kisaran Rp 600 juta dalam 10 tahun. Kalikan dengan 80 ribu koperasi maka diperoleh Rp 48 triliun.
Celah korupsi, masih mengutip studi Celios, berpeluang ditemukan di semua tahapan koperasi.
Misalnya, saat pencairan modal awal, yang berasal dari dana desa ataupun pinjaman bank, rawan korupsi berupa mark-up biaya pendirian ataupun koperasi fiktif.
Di tahap ini, pelaku korupsi bisa berasal dari kepala desa, pejabat daerah, maupun notaris.
Permasalahan koperasi secara umum akan turut serta berdampak pada potensi permasalahan Koperasi Desa Merah Putih. Selain itu, terdapat tumpang tindih peran Koperasi Merah Putih dengan BUMDes yang telah lebih dulu ada di banyak desa.
Ketidakharmonisan ini berpotensi menjadi pemicu kebingungan administratif dan bisa menimbulkan konflik kewenangan. Di sisi lain, masih banyak koperasi yang terbentuk tanpa model bisnis jelas, hanya untuk mengakses bantuan.
Sehingga berisiko menjadi koperasi “papan nama” tanpa ada aktivitas ekonomi nyata. Minimnya literasi digital dan akses teknologi juga jadi penghambat membangun sistem koperasi yang modern dan efisien.
Tanpa rencana komprehensif, penguatan regulasi, dan pembinaan berkelanjutan, program Koperasi Merah Putih berisiko gagal memenuhi tujuan utamanya. Bahkan, berpotensi memperburuk fragmentasi kelembagaan ekonomi di tingkat desa.
Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa pendirian koperasi ini bisa dimanfaatkan elit lokal dan atau pusat sebagai alat mobilisasi massa dan elektoral. Tidak lagi murni sebagai wadah ekonomi rakyat.
“Ditambah lagi, belum ada sistem transparansi dan pelaporan yang komprehensif untuk tetap menjaga transparansi dan akuntabilitas tata kelola,” ingat Celios.
Perbankan mendapat mandat menyalurkan modal bagi Koperasi Merah Putih yang saat ini berjumlah 47.207 (per Juni 2025).
Setiap koperasi dapat meminjam permodalan dari perbankan sebesar Rp 3 miliar per koperasi dengan jangka selama enam tahun harus dikembalikan dengan bunga pinjaman sebesar 3 persen per tahun.
Future value menggunakan asumsi faktor diskonto tingkat suku bunga surat berharga negara (SBN) sebesar 7,10 persen berdasarkan asumsi di APBN 2025.
Ada opportunity cost sebesar Rp 76 triliun yang ditanggung perbankan Himbara karena memilih mendanai koperasi Merah Putih alih-alih menempatkan dana di SBN.
Bisa Ganggu Stabilitas Pembiayaan Jangka Panjang
Ada pula potensi kerugian yang terus membesar dari Rp 10,06 triliun di tahun pertama hingga mencapai Rp 15,17 triliun pada tahun keenam. Pola ini mencerminkan tren penurunan esiensi pemanfaatan dana perbankan yang seharusnya bisa digunakan untuk pembiayaan produktif lainnya.
Jika dana ini dialokasikan untuk sektor-sektor dengan tingkat pengembalian tinggi maka opportunity cost itu bisa berkurang.
Kecenderungan meningkatnya opportunity cost ini menjadi sinyal, bahwa intervensi terhadap program koperasi melalui skema pembiayaan perbankan tanpa melalui perhitungan keekonomian matang, dapat menjadi beban tersembunyi.
Serta berpotensi mengganggu stabilitas pembiayaan jangka panjang sektor perbankan.
Dengan menggunakan dasar asumsi tingkat risiko gagal bayar koperasi sama dengan pelaku UMKM, muncul pula risiko pembiayaan Koperasi Merah Putih sebesar Rp 28,33 triliun di tahun ke-6 pembayaran.
Celios juga mengingatkan adanya eskalasi risiko pembiayaan Koperasi Merah Putih dari tahun ke tahun, dengan tren yang memburuk secara signikan.
Jika program koperasi ini dibiayai dari sumber perbankan Himbara atau dana publik lainnya, maka risiko gagal bayar bukan hanya akan membebani koperasi dan anggotanya. Akan tetapi juga berpotensi menimbulkan efek domino terhadap stabilitas keuangan nasional.
Terlebih, koperasi yang tidak berbasis kebutuhan lokal dan dipaksakan secara seragam ke seluruh desa rawan mengalami mismatch usaha, lemahnya loyalitas anggota, hingga praktik ktif.
Dalam jangka panjang, akumulasi kerugian ini dapat menjadi beban fiskal yang signikan, serta merusak kepercayaan publik terhadap skema koperasi dan pemberdayaan desa yang berbasis ekonomi kerakyatan.
Di fase penyelenggaraan koperasi, Celios mengingatkan, potensi korupsi jauh lebih banyak. Ada di delapan tahapan. Mulai pembesaran nilai proyek hingga penggunaan dana koperasi untuk kepentingan pemilu. Penyelewengan bisa melibatkan elit desa dan partai politik.
Sekitar 65% responden menurut studi Celios, yang melibatkan 108 kepala desa di 34 provinsi, mengindikasikan ada celah besar di tata kelola Koperasi Merah Putih. Singkatnya, program ini rentan disusupi praktik kecurangan dan potensi korupsi terselubung.
Celios juga menemukan sebanyak 76% responden menolak skema pembiayaan Koperasi Merah Putih. Dan menyebut skema ini berisiko menciptakan korupsi terstruktur dan sistematis.
Kekhawatiran korupsi menyelimuti implementasi Koperasi Merah Putih dapat berkaca dari pengelolaan dana desa. Apalagi, Pemerintahan Prabowo menggunakan pendekatan top-down untuk mengerjakan Koperasi Merah Putih.
Peran pemerintah pusat membentuk dan mengarahkan Koperasi Merah Putih begitu dominan. Negara, dengan mengeluarkan instruksi presiden, surat edaran antarkementerian, serta pengkondisian kepala desa sebagai ketua koperasi, berpotensi menjadikan koperasi perpanjangan tangan kebijakan pusat.
Yang kelak, bisa menjadi celah jualan untuk mendulang suara di Pemilu. Sebab, pembiayaan koperasi bisa melahirkan simbiosis kuasa antara aktor negara dan elit desa.
Ada transaksi menguntungkan, yang membuka pintu patronase dan kroni. Bahkan, juga membuka celah pintu monopoli baru terkait akses sumber daya ekonomi.
Menukil data Indonesia Corruption Watch (ICW), tren korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun 2021 sampai 2023. Jumlahnya telah menembus 187 kasus. Kerugian yang dialami negara mencapai Rp 162 miliar. Lebih dari 800 perangkat desa ditetapkan sebagai tersangka.
Berkaca Kasus-kasus Besar Gagal Bayar
Pada tahun 2023, publik juga pernah dihebohkan dengan kasus gagal bayar di tubuh koperasi. Seperti kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya yang menyebabkan kerugian Rp 15 triliun. Ada pula kasus KSP Sejahtera Bersama, yang menimbulkan kerugian sebesar Rp 8,8 triliun.
Data KemenkopUKM menyebut setidaknya ada delapan kasus koperasi bermasalah yang menyebabkan nilai kerugian menembus Rp 26 triliun.
Maka tak menutup kemungkinan, kasus serupa juga bisa terjadi dalam pengoperasian Koperasi Merah Putih. Pun celah korupsi bisa terbuka dari pintu pengurus Koperasi Merah Putih, perangkat desa, elit lokal dan elit pusat.
Praktik yang mungkin terjadi potensi kekacauan dalam simpan pinjam. Warga meminjam uang, sulit mengembalikan, sedangkan koperasi harus tetap membayar ke perbankan. Kalau terjadi kredit macet, pengurus bakal kelimpungan. Bisa berpotensi berhadapan dengan hukum.
Di sisi lain, tanpa pengawasan ketat, kita hanya menggali sumur korupsi lanjutan di kedalaman tanah, bernama: Koperasi Merah Putih. Selain itu, penyalahgunaan wewenang untuk menahan dana koperasi sebagi kartu truf, dan atau menukar suara di Pemilu, juga menjadi celah yang sangat terbuka lebar.
Apalagi, saat ini Indonesia tengah dihantui badai korupsi gila-gilaan. Nyaris, di semua tingkatan. Nyaris di seluruh lini pembiayaan.
Apakah Koperasi Merah Putih akan mengulang hal sama, atau menjadi harapan baru? Semua, bisa dijawab dengan waktu. Faktanya, baru saja diresmikan: sudah banyak pihak yang pesimis dengan koperasi ini. Anggaran lebih baik untuk hal yang krusial.
Tak pula mengherankan, sejak dini Celios memberi peringatan. Serta memberi rekomendasi berupa:
(1) membatalkan pembentukan Koperasi Merah Putih dan dibutuhkan persiapan yang matang sebelum pembentukan.
(2) memanfaatkan badan usaha yang ada di desa untuk pembangunan desa yang berkelanjutan, serta
(3) memberikan stimulus fasilitas kredit bagi koperasi yang eksisting dan berkinerja baik.
Hasil analisis Celios sangat apik menjadi renungan bersama. Setiap kebijakan, pasti ada plus minus. Setiap hal baru tentu memantik pro kontra.
Pertanyaan mendasarnya: mungkinkah celah korupsi, bisa ditutup? Mungkinkah potensi pemanfaatan koperasi sebagai alat pendulang suara, bisa dicegah? Dengan cara apa?
Kita meyakini, riset Celios, bukanlah kebencian terhadap program pemerintah. Tak perlu dituding sebagai sebuah nyinyiran. Atau tudingan sebuah pesanan antek -antek asing.
Sebaliknya, riset ini seperti ajakan berpikir kita bersama untuk meramu formulasi solusi peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat koperasi: di tengah badai korupsi dan kepercayaan publik yang mulai tergerus.
Shalaallahu alaa Muhammad
Rudi Agung