Home > News

Ada Anomali Struktur Pajak, Pakar: Harus Segera Diperbaiki

Anomali ini kemungkinan dipengaruhi kebijakan pengenaan PPh final dan berbagai insentif pajak.
Baliho imbauan membayar pajak. 
Baliho imbauan membayar pajak.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.357,71 triliun untuk 2026.

Target itu naik 13,51 persen dibanding target APBN 2025 senilai Rp2.076,9 triliun.

Menanggapi sistem pajak saat ini, Pakar menjelaskan ada anomali pada struktur penerimaan pajak sebuah industr jika disandingkan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Konsultan Pajak dari Tax Center, Darussalam mengatakan ketidakseimbangan ini adalah persoalan serius yang harus segera diperbaiki.

Ia menyebut, kontribusi pajak industri konstruksi hanya 4,69 persen padahal terhadap PDB sektor ini mencapai 10,25 persen.

Di sektor pertanian, kontribusi pajak hanya 1,48 persen, sementara terhadap PDB mencapai 13,17 persen.

Ia menegaskan, anomali ini kemungkinan dipengaruhi kebijakan pengenaan PPh final dan berbagai insentif pajak, sehingga beberapa sektor strategis tidak memberikan kontribusi optimal.

Ia menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pajak agar rasio pajak lebih seimbang, kontribusi sektor industri dan pertanian sesuai kapasitas ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.

Evaluasi ini dinilai krusial untuk memastikan kebijakan perpajakan tidak hanya menguntungkan beberapa sektor tertentu, tetapi juga mendukung penerimaan negara secara adil dan berkelanjutan.

“Kondisi ini menandakan ada anomali dalam struktur pajak Indonesia,” ujarnya, Selasa (26/8/2025).

Di sektor pertanian, perbedaan kontribusi juga semakin mencolok. Menurut Danny, kontribusi pajak sangat minim dibandingkan peran sektor ini terhadap PDB.

“Apabila kita bandingkan dengan kontribusinya kepada PDB-nya yang sebesar 13,17 persen, sementara hanya 1,48 persen rilis kontribusinya terhadap penerimaan pajak,” jelasnya.

Andalkan Coretax

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemerintah akan mengandalkan implementasi Sistem Coretax guna memperluas basis perpajakan.

“Kita lihat bahwa dari sisi administrasi kita masih akan terus memanfaatkan Coretax melalui sinergi pertukaran data, kemudian sistem pertukaran transaksi digital luar negeri dan dalam negeri,” ujarnya.

Selain itu, Yon menyebut DJP juga akan berfokus pada program bersama (joint program) dalam analisis data, pengawasan, pemeriksaan, intelijen dan kepatuhan perpajakan. Pemerintah pun menyiapkan insentif untuk menjaga daya beli, mendorong investasi, serta hilirisasi industri.

Dari sisi kepabeanan dan cukai, ia menjelaskan pemerintah akan memaksimalkan kebijakan Cukai Hasil Tembakau, ekstensifikasi Barang Kena Cukai, dan intensifikasi Bea Masuk Perdagangan Internasional.

Begitu juga dengan kebijakan Bea Keluar yang akan diarahkan untuk mendukung hilirisasi produk, sekaligus diiringi dengan penegakan hukum guna memberantas peredaran barang ilegal.

“Di sisi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), kita berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga yang terkait untuk melakukan perbaikan tata kelola, inovasi, pengawasan dan pengawasan dari sistem administrasi dari sisi SIMBARA (Sistem Informasi Minerba),” imbuhnya.

Adapun sebelumnya, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai target tinggi penerimaan pajak pada RAPBN 2026 bisa tercapai dengan syarat adanya intervensi yang mampu menambah pendapatan negara.

Menurutnya, hal serupa pernah terjadi pada 2022 ketika tambahan penerimaan pajak mencapai Rp438,16 triliun.

Capaian itu dipengaruhi pertumbuhan ekonomi 5,31 persen, kenaikan harga komoditas, serta implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Namun, Fajry menyoroti tidak adanya intervensi serupa pada 2023 dan 2024 sehingga tambahan pajak hanya tercatat Rp152,47 triliun dan Rp63,17 triliun.

Republika

× Image